Pengembang di Jatim Berharap Harga Rumah Bersubsidi Naik 7 Persen
Naiknya berbagai barang, termasuk suku bunga acuan, membuat pengembang berharap ada kenaikan harga rumah bersubsidi.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
BATU, KOMPAS — Pengembang industri perumahan di Jawa Timur berharap ada kenaikan harga rumah bersubdisi sebagai imbas situasi perekonomian akhir-akhir ini, mulai dari kenaikan harga bahan bakar minyak, inflasi, hingga yang terbaru peningkatan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia menjadi 4,25 persen.
Peningkatan harga rumah bersubsidi diharapkan mencapai 7 persen dari harga semula di Jawa Timur (Jatim) Rp 150,6 juta menjadi sekitar Rp 165 juta. Peningkatan ini disesuaikan dengan harga berbagai barang dan kondisi sekitar, termasuk bahan baku dan sulitnya mencari lahan perumahan.
Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia (REI) Jatim EC Soesilo Efendy mengatakan hal itu di sela-sela rapat kerja daerah (rakerda) tahun 2022 di Batu, Jatim, Rabu (28/9/2022) sore.
Kegiatan yang mengambil tema ”Bangkit Bersama di Era Digitalisasi Perizinan yang Semakin Mudah dan Lancar” ini dihadiri, antara lain, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, Wali Kota Batu Dewanti Rumpoko, dan ratusan perwakian DPD REI Jatim.
Menurut Soesilo, pihaknya masih menunggu kebijakan dari pemerintah soal kenaikan harga rumah bersubdisi. Sudah dua-tiga tahun terakhir, menurut dia, tidak ada kenaikan rumah bersubdisi di Jatim.
”Kami berharap, kami berjuang selain melalui REI juga melalui organisasi yang lain, ke pemerintah untuk ada kesesuaian (harga)-lah. Kenaikan. Kabar itu masih kita tunggu. Kelihatannya di tahun ini belum ada tanda-tanda kenaikan,” ujarnya.
Soesilo menambahkan, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), inflasi, dan terakhir BI Rate sangat berpengaruh pada dunia real estat. Bukan hanya pengembang, melainkan juga industri dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) terkait, seperti perajin genteng, batu bata, kosen, dan lainnya.
Di satu sisi, permintaan rumah bersubdisi masih banyak. ”Hanya saja, para pengembang saat ini masih menunggu kenaikan harga tersebut. Bagi pengembang yang sudah laku, mereka tinggal membangun saja sesuai komitmen,” katanya.
Minat masyarakat lebih tinggi sekitar 20 persen dibandingkan dengan tahun lalu. (EC Soesilo Efendy)
Disinggung soal peningkatan daya beli masyarakat terhadap rumah saat ini, Soesilo menyatakan, minat masyarakat lebih tinggi sekitar 20 persen dibandingkan dengan tahun lalu. Saat ini banyak lahan dan lokasi baru dibuka. Sementara tahun 2021 angkanya mulai membaik sejak Agustus-Desember setelah selama pandemi angkanya agak melandai.
Adapun harga rumah nonsubsidi tergantung pada permintaan pasar. Saat ini perkembangan rumah nonsubdisi mulai ramai lagi setelah pandemi.
”Kalau komersial (nonsubsidi) terserah, tergantung dia (pengusaha) ngolah lokasinya seperti apa. Kenaikan harga rumah nonsubdisi tidak perlu nunggu kenaikan harga BBM, tergantung permintaan pasar,” katanya.
Sementara itu, Khofifah mengatakan, sektor perumahan yang ditangani REI masuk dalam 10 besar pendapatan domestik regional bruto (PDRB) Jatim. Kegiatan mereka membuka lapangan kerja karena rata-rata padat karya.
Seiring dengan hal itu, mereka pun mendapatkan kemudahan melalui pengajuan perizinan secara digital. ”Perzinan sudah secara digital (online single submission/OSS). Namun, jika ada satu masalah di OSS tidak bisa lanjut. Biasanya, kemudian ada kaitanya dengan RDTR (rencana detail tata ruang),” katanya.
Terkait dengan RDTR, menurut Khofifah, REI mesti berkomunikasi dengan kabupaten/kota yang memiliki kewenangan. Melalui komunikasi, mereka akan bisa berjalan bersama.
Begitu pula pemerintah biasa menggunakan pendekatan pentahelix yang melibatkan sejumlah pihak. Jika pendekatannya pentahelix, kolaborasi oleh pihak terkait perlu dibangun bersama. ”Kalau ada kolaborasi pentahelix, maka dari awal sudah dibangun kolaborasi yang intensif, produktif, efektif,” ujarnya.