Menanti Lesatan ”Komodo Merah”
Lesatan si ”Komodo Merah” sangat dinantikan. Kereta cepat Jakarta-Bandung terus dinanti. Sensasi kereta yang lebih cepat ketimbang Shinkansen, bahkan mendekati mobil F1, ini ditunggu segera hadir.
Tahun depan, ”Komodo Merah” (Red Komodo) ditargetkan akan meluncur menyusuri Jakarta-Bandung. Kecepatannya diklaim mencapai 350 kilometer per jam atau menjadi yang tercepat, setidaknya di Asia Tenggara. Namun, sejumlah infrastruktur pendukung di daerah sekitar yang bakal dilewatinya juga mendesak segera dituntaskan.
Komodo Merah adalah julukan bagi kereta cepat Jakarta-Bandung (KCJB), CR400AF. Tubuh kereta yang memiliki lebar 3,36 meter dan tinggi 4,05 meter dengan panjang hingga 208,95 meter itu bakal diberi kelir dominasi merah.
Sementara penamaan komodo terinspirasi dari satwa komodo (Varanus komodoensis). ”Kadal raksasa” itu punya rumah liar terakhirnya hanya di Indonesia. Hewan dari zaman purba itu tinggal di Pulau Komodo, Rinca, Gili Motang, dan Pulau Flores.
Seperti komodo yang bisa berlari sangat cepat, laju KCJB disebut fantastis. Dia bakal menyalip kereta legendaris Shinkansen asal Jepang yang memiliki kecepatan maksimal 320 kilometer (km) per jam. Bahkan, kecepatannya nyaris mendekati mobil balap Formula 1. Saat ini, kecepatan tertinggi mobil F1 terdata maksimal 379 km per jam. Tidak heran, apabila perjalanan Jakarta-Bandung sejauh 142,3 kilometer bisa ditempuh hanya dalam 36-48 menit.
Ketangguhan CR400AF, yang memiliki masa penggunaan hingga lebih dari 30 tahun sejak tahun produksi, itu jelas bisa memangkas banyak waktu. Jika menggunakan kereta konvensional, perjalanan Jakarta-Bandung harus ditempuh lebih dari 180 menit.
Tidak hanya cepat, sejumlah teknologi untuk menjelajahi jalur khas Indonesia dibenamkan dalam CR400AF. Kereta ini diklaim piawai melintasi Jakarta-Bandung yang cenderung menanjak. Daya di setiap rangkaian mencapai 9.750 kilowatt, mampu memberikan akselerasi yang bagus melintasi dua daerah berbeda ketinggian itu.
Kereta ini juga disebut mampu beroperasi di empat iklim. Salah satunya iklim tropis dengan kondisi suhu dan kelembaban tinggi seperti Indonesia.
Selain itu, setiap rangkaiannya dilengkapi dua lightning arrester (penangkal petir) untuk meningkatkan keamanan terhadap sambaran petir, terutama di sisi peralatan tegangan tinggi.
Kereta juga didukung sistem pendeteksi gempa. Teknologi itu penting. Setidaknya empat sumber gempa di kawasan yang bakal dilintasi KCJB pernah memicu gempa merusak. Empat sumber gempa ini ialah Sesar Baribis, Sesar Lembang, Sesar Cimandiri, dan zona subduksi lempeng di Samudra Hindia.
Baca juga : Progres Pembangunan Kereta Cepat Dinilai Sesuai Rencana
Sejauh ini, 11 rangkaian kereta penumpang electrical multiple unit (EMU) telah selesai diproduksi di Shandong, China. Satu rangkaian EMU terdiri atas delapan kereta.
Dua EMU sudah tiba di Tanah Air dan kini ditempatkan di Tegalluar, stasiun terakhir di Kota Bandung, bersama satu kereta inspeksi atau comprehensive inspection train (CIT), pertengahan September 2022. Selanjutnya, akan dikirim lagi masing-masing tiga train set EMU secara bertahap, pada 25 Desember 2022, 25 Februari 2023, dan 15 Maret 2023.
Dengan rangkaian besarnya, potensi penumpangnya disebut bisa menyentuh lebih kurang 61.000 orang per hari dengan pemberhentian di empat stasiun, yaitu Stasiun Halim (Jakarta), Karawang, Padalarang, dan Tegalluar (Bandung). Adapun total penumpang dalam setiap perjalanan mencapai 601 orang, yang bakal duduk di kelas kedua, pertama, dan very important people (VIP).
Kelas kedua menurut rencana akan memiliki enam kereta berkapasitas 555 penumpang dengan pengaturan tempat duduk 3-2. Desain tempat duduknya berbahan suede (kulit halus) dan motif cetak batik mega mendung khas Cirebon dengan detail warna biru dan abu-abu.
Selanjutnya, ada satu kereta kelas pertama akan menampung 28 penumpang dengan pengaturan tempat duduk 2-2. Desain tempat duduk menggunakan faux leather (kulit sintetis) dengan motif laser cut batik mega mendung berwarna merah.
Sementara itu, kelas VIP akan berjumlah satu kereta berkapasitas 18 penumpang dengan pengaturan tempat duduk 1-2. Desain tempat duduk menggunakan faux leather dengan bordir motif batik mega mendung warna abu-abu.
Menurut rencana, kereta ini akan melaju perdana mengisi rangkaian G20 pada November 2022. Presiden Joko Widodo dan Presiden China Xi Jinping akan melihat perkembangan pekerjaan sekaligus mencoba KCJB.
Mereka akan menjajal perjalanan sejauh 15 kilometer dari titik DK 127 di daerah Kopo, Kabupaten Bandung, Jabar, menuju Stasiun Tegalluar dengan kecepatan maksimal 80 km per jam.
Akan tetapi, publik tampaknya masih harus bersabar jika ingin mencobanya. Selain menunggu kedatangan EMU lainnya, pembangunan konstruksi fisik masih berjalan. Proyeksinya, Komodo Merah akan beroperasi untuk umum pada Juni 2023.
Sebelumnya, Direktur Utama PT KCIC Dwiyana Slamet Riyadi mengatakan, proyek ini memiliki 237 titik (work points), yaitu 156 titik jembatan, 68 titik subgrade, dan 13 titik terowongan.
Hingga awal September 2022, pengerjaan konstruksi fisik KCJB mencapai 77,34 persen, dengan kemajuan investasi 86,30 persen. Jalur KCJB melalui 82,7 km jalur layang yang sudah terbangun 96 persen. Lalu, ada jalur timbunan sepanjang 23,6 km yang baru selesai 82 persen.
Selain itu, ada 13 terowongan sepanjang 16,6 km yang pembangunannya sudah 99,48 persen. Terowongan kedua atau tunnel 2 dengan panjang sekitar 1 km menjadi yang terakhir dibangun.
Tidak hanya konstruksi jalan, pembangunan jalur akses menuju stasiun KCJB yang terintegrasi dengan moda transportasi lain juga dikerjakan. Pembangunan akses jalan membutuhkan dana sekitar Rp 500 miliar.
Baca juga : Dua Rangkaian Kereta Cepat Jakarta-Bandung Tiba di Pelabuhan Tanjung Priok
Masalah baru
Akan tetapi, kerinduan pada Komodo Merah juga harus diimbangi dengan kesiapan sarana pendukung lainnya. Pengamat transportasi dari Institut Teknologi Bandung, Sony Sulaksono Wibowo, berpendapat, moda transportasi kereta cepat ini harus bisa mendatangkan keuntungan, baik dari segi bisnis maupun kebermanfaatan bagi publik. Karena itu, berbagai sektor perlu memberikan dukungan.
Tidak hanya dari segi teknologi kereta cepat, lanjut Sony, kesiapan dari segi moda pendukung hingga peluang bisnis dengan pembangunan simpul ekonomi di sejumlah daerah juga perlu diperhitungkan. Apalagi, frekuensi perjalanan yang cukup sering dari kereta cepat akan memberikan beban operasional yang tinggi.
”Kalau nanti ada frekuensi 68 kali perjalanan sehari, jumlah kereta yang melintas 34 kali dari Jakarta-Bandung dan 34 kali sebaliknya. Bisa dihitung kira-kira 15 menit sekali ada kereta yang membawa penumpang ke Padalarang,” paparnya.
Menurut Sony, frekuensi perjalanan yang tinggi ini akan tidak maksimal jika tujuan perjalanan hanya ke Bandung. Karena itu, adanya simpul ekonomi baru di wilayah yang dilintasi jalur kereta cepat menjadi solusi.
Sarana pendukung
Sebelumnya, ujar Sony, bakal dibangun tiga daerah simpul ekonomi berupa pembangunan kawasan terpadu berbasis transit (transit oriented development/TOD). Daerah ini meliputi Karawang, Walini di Kabupaten Bandung Barat, hingga Tegalluar di Kabupaten Bandung.
Akan tetapi, hingga saat ini, pembangunan ketiga daerah tersebut belum mendapatkan kejelasan. Bahkan, pembangunan TOD di Walini pun terancam gagal karena tidak memiliki kejelasan.
”Walini sudah tidak jadi prioritas, Karawang juga. Tegalluar saat ini hanya jadi depo akhir. Artinya, tiga calon kota baru ini tidak akan ada dalam waktu dekat. Jadinya, ini (kereta cepat) tidak begitu efektif,” ujarnya.
Selain itu, ia melihat adanya permasalahan baru yang timbul di Kota Bandung jika kereta cepat mulai beroperasi. Adanya kereta pengumpan dari Padalarang menuju Bandung dan sebaliknya akan berdampak pada penutupan pelintasan sebidang yang lebih sering.
”Ada empat pelintasan sebidang yang bakal terdampak jika frekuensi kereta api ditambah dari Padalarang menuju Stasiun Bandung. Hal ini bakal berujung pada kemacetan. Apakah Bandung siap? Ini juga perlu diperhatikan,” lanjutnya.
Adanya mobilitas masyarakat yang bertambah ke Kota Bandung dengan angkutan umum ini juga menjadi catatan. Sony berujar, informasi dan integrasi angkutan umum di Kota Bandung perlu dibenahi untuk menghadapi kedatangan pengunjung dari Jakarta.
”Yang menarik, kereta cepat akan membuka fenomena ke Bandung tidak usah pakai mobil (pribadi). Jadi, ini bisa mendorong Kota Bandung untuk berbenah. Selama ini, yang menjadi keluhan pengunjung adalah rute angkutan umum di Bandung yang masih belum jelas,” paparnya.
Persiapan matang
Sebelumnya, Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia Didiek Hartantyo memaparkan akan mengintegrasikan KCJB dengan kereta api. Stasiun Padalarang, misalnya, akan dikembangkan menjadi stasiun konektivitas kereta cepat dengan kereta api. Bakal ada sejumlah persimpangan sebidang antara Stasiun Padalarang dan Stasiun Bandung.
Menurut Didiek, setidaknya ada sejumlah pelintasan sebidang yang akan terdampak sehingga perlu dibangun jalan layang atau terowongan untuk lalu lintas. Pelintasan ini antara lain Jalan Sriwijaya, tepatnya di dekat Rumah Sakit Dustira (Cimahi), Jalan Gatot Subroto di dekat Pusat Persenjataan Artileri Medan TNI AD (Cimahi), dan Jalan Garuda di dekat Bandara Husein Sastranegara (Kota Bandung).
Gubernur Jabar Ridwan Kamil juga berharap pelintasan sebidang ini bisa segera rampung. Karena itu, dia menyatakan siap membantu asal dengan persiapan matang. ”Saya akan ingatkan dan bantu dalam pelintasan sebidang. Tapi, saya mohon disiapkan secara matang,” ujarnya.
Naik kereta dengan kecepatan kilat seharusnya bukan mimpi. Namun, mampu membawa banyak manusia dari satu ke daerah ke daerah lain tentu butuh sektor pendukung yang ideal. Semua harus dipikirkan agar tidak memicu masalah di kemudian hari.
Baca juga : Jelang Pengujian, Faktor Keselamatan Kereta Cepat Jakarta-Bandung Menjadi Perhatian Utama