Keluhan dan Harapan dari Bilik Hunian Sementara di Palu
Masalah penyediaan hunian tetap untuk penyintas gempa, tsunami, dan likuefaksi di Kota Palu, Sulteng, masih menjadi pekerjaan besar setelah empat tahun berlalunya bencana.
Empat tahun berlalu, ratusan penyintas gempa, tsunami, dan likuefaksi di Kota Palu, Sulawesi Tengah, masih tinggal di hunian sementara yang serba terbatas. Meskipun hari-hari penuh keluhan, para penyintas menyimpan harap agar pemerintah segera merealisasikan hunian tetap supaya mereka bisa hidup lebih nyaman.
Asmina (38), dengan sigap membuka pintu sebuah kamar. Tak jauh dari pintu masuk, ia menunjuk papan berukuran 40 sentimeter (cm) x 50 cm. Papan lapis tersebut menutupi bagian papan lapis lain yang sudah jebol.
“Untung posisinya agak di pinggir sehingga tidak terlalu menggangu ketika kami masuk dan keluar kamar,” tutur ibu tiga anak itu di Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Sulteng, Rabu (28/9/2022).
Tak jauh dari titik tersebut, satu papan lapis juga ditambal untuk menutupi lubang lantai papan kamar yang ditempati Asmina bersama enam anggota keluarganya. Lagi-lagi beruntung, posisinya agak di pinggir dari jalur utama masuk dan keluar kamar.
Saat menunjuk dua papan tambalan di dalam kamar berukuran 3,5 meter x 4 meter dengan tinggi ke atap seng 3 meter tersebut, wajah Asmina berpeluh. Butir keringat terlihat sangat jelas meski hanya berada di dalam bilik hunian tak sampai dua menit. Matahari juga tidak terlalu terik. “Kalau siang memang kami seperti ikan yang dibakar,” tuturnya.
Keringat juga membasahi wajah Intan (18), putri Asmina, yang berbaring di samping bayinya yang berumur satu minggu di sudut lain kamar. Kipas angin pendek tak mempan menyejukkan hawa ruangan. Beruntung, sang bayi tidur dengan nyenyak tanpa butiran keringat di wajahnya.
Baca juga: Jokowi: Hunian Tetap di Sulteng Rampung 2020
Begitulah kondisi di salah satu kamar atau bilik hunian sementara (huntara) di Hutan Kota, Kelurahan Talise. Asmina bersama enam anggota keluarganya merupakan penyintas gempa dan tsunami yang sudah tiga tahun menempati bilik huntara itu. Asmina menempati huntara pada Agustus 2019 atau hampir satu tahun pascabencana pada 28 September 2018 tersebut.
Ia menghuni huntara bersama dengan 92 keluarga lainnya di Talise. Selain di Talise, huntara juga masih ditempati penyintas likuefaksi di Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan. Tak kurang dari 400 keluarga masih menempati kamar-kamar huntara. Kondisi huntara hampir sama, yakni papan lapis untuk lantai mulai jebol, dinding juga sebagian jebol. Panas dan pengap juga jadi hal biasa di huntara.
Asmina, penyintas tsunami di Jalan Komodo, Kelurahan Talise, tak menyangka akan selama itu ia menempati huntara. Seperti namanya, hunian itu seharusnya tak terlalu lama ditempati. “Ini sementara lama jadinya,” tuturnya.
Huntara penyintas gempa, tsunami, dan likuefaksi berbentuk panggung dengan papan lapis untuk lantai dan dindingnya. Huntara ditempati penyintas sembari menunggu pembangunan hunian tetap (huntap).
Huntap dibangun oleh pemerintah di lahan baru (relokasi) yang diberikan secara gratis kepada penyintas yang rumahnya hancur dan tak bisa ditempati lagi karena gempa, tsunami, dan likuefaksi. Selain itu, lokasi hunian awal warga telah ditetapkan sebagai zona terlarang untuk pembangunan rumah sehingga tak bisa dibangun ulang.
Saya dan mungkin banyak orang lainnya tak menyangka empat tahun di pengungsian. Ini menyedihkan.
Sebagaimana direncanakan, pembangunan huntap ditargetkan rampung pada akhir 2020 atau dua tahun pascabencana. Namun, sebagian huntap tak kunjung dibangun karena lahan untuk pembangunannya dipersengketakan warga setempat.
“Saya dan mungkin banyak orang lainnya tak menyangka empat tahun di pengungsian. Ini menyedihkan,” ujarnya yang memilih hunian tetap di Kelurahan Talise, sekitar 3 kilometer dari kompleks huntara.
Tiga lokasi pembangunan hunian tetap untuk penyintas gempa, tsunami, dan likuefaksi di Kota Palu bermasalah karena adanya klaim warga. Tiga lokasi tersebut berada di Kelurahan Talise, Kelurahan Tondo di Kecamatan Mantikulore, dan Kelurahan Petobo di Kecamatan Palu Selatan.
Warga sekitar mengklaim lahan untuk pembangunan huntap di tiga lokasi tersebut pada awal 2021. Karena dana pembangunan huntap berasal dari pinjaman Bank Dunia yang mensyaratkan tak boleh ada masalah sosial, pemerintah bernegosiasi dengan warga untuk mencarikan jalan keluar.
Tarik-menarik kepentingan terjadi terkait solusi hingga akhirnya semua pihak menerima skema konsolidasi lahan. Warga yang mengklaim lahan diberikan lahan pengganti di luar lahan untuk pembangunan huntap.
Sementara sengketa diurus, tak ada pekerjaan apa pun di dua lokasi huntap selama 1,5 tahun. Padahal, saat itu lahan sudah diratakan dan sudah berbentuk tapak siap bangun. Karena lama tak ada pekerjaan, dua lahan tersebut kini ditumbuhi rumput liar.
Cukuplah empat tahun kami sengsara dengan target atau janji-janji manis pembangunan huntap selama ini.
Di Talise, direncanakan dibangun 599 unit huntap di lahan seluas 46,83 hektar. Sementara di Tondo II, akan didirikan 1.055 unit huntap di lahan 65,31 hektar. Di Petobo akan dibangun sedikitnya 800 unit huntap di lahan 70 hektar.
Di luar yang bermasalah, sekitar 3.500 huntap di Palu sudah ditempati. Huntap tersebut tersebar di Kelurahan Tondo atau Huntap Tondo I, Kelurahan Duyu di Kecamatan Tatanga, dan di Kelurahan Balaroa, Kecamatan Palu Barat.
Selain di Palu, huntap juga dibangun di Kabupaten Sigi dan Donggala. Sebagian besarnya sudah dibangun dan ditempati, sebagian lagi masih dilelang. Kebutuhan huntap pascagempa, tsunami, dan likuefaksi di Sulteng sekitar 8.000 unit.
Setelah lama tak ada kemajuan, angin segar berembus pada Senin (26/9/2022). Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang melaksanakan pembangunan huntap dan infrastruktur pelengkpanya melalui sejumlah balai di Sulteng melakukan peletakan batu pertama pembangunan fasilitas di Huntap Talise. Pembangunan jalan di dalam kompleks hunian, drainase, ruang terbuka hijau, dan fasilitas pengolahan limbah domestik dimulai.
Kepala Balai Prasarana Permukiman Wilayah Sulteng Sahabuddin menyatakan, Huntap Talise dan Tondo ditargetkan mulai dibangun pada November 2022. Saat ini paket pekerjaan tersebut dilelang. Sementara untuk huntap di Petobo, pihaknya masih membereskan sejumlah administrasi untuk proses lelang. Secara keseluruhan huntap ditargetkan rampung dibangun pada 2023 atau paling lambat awal 2024.
Baca juga: Status Lahan Sempat Bermasalah, Hunian Tetap di Palu Dibangun pada November
Asmina berharap target pembangunan huntap tersebut tak lagi molor. Ia bersama dengan anggota keluarganya ingin kembali menjalani hidup di hunian yang nyaman. Ia tak tahan disengat panas dan kekhawatiran lantai huntara jebol.
“Kami sangat ingin untuk segera menempati huntap. Cukuplah empat tahun kami sengsara dengan target atau janji-janji manis pembangunan huntap selama ini,” tuturnya yang menjual air minum kemasan galon untuk penghuni huntara lainnya guna menambah penghasilan keluarga.
Taufik (43), penyintas likuefaksi yang menempati huntara di Kelurahan Petobo, juga memiliki asa yang sama. Ia memilih huntap di Petobo. Ia sudah dua kali mengikuti sosialisasi terkait huntap. “Sebelumnya tak ada sosialisasi terkait huntap. Artinya, kali ini huntap memang akan segera dibangun. Saya berharap sudah bisa menempati huntap pada 2023,” tuturnya yang tinggal di huntara bersama istri dan satu anaknya.
Wali Kota Palu Hadianto Rasyid memastikan tak ada lagi masalah klaim di lahan pembangunan huntap sehingga pembangunan tak terkendala. “Warga yang mengklaim lahan huntap telah diberi lahan pengganti. Tak ada lagi masalah,” ujarnya.
Baca juga: Sengkarut Lahan Hunian Tetap Penyintas Gempa Palu
Ia meminta maaf kepada penyintas karena berlarutnya penyelesaian masalah lahan tersebut. Mempertemukan keinginan berbagai pihak tak gampang. Atas inisiatif dan kerja sama dengan para pemangku kepentingan, skema pembanguan lahan (konsolidasi lahan) akhirnya menjadi solusi dan diterima semua pihak.
Pemerintah diharapkan memenuhi target pengerjaan huntap untuk penyintas tersebut. Kehidupan penyintas di huntara selama empat tahun tak seharusnya terus “diperpanjang” karena itu menjadi bentuk bencana lainnya pascabencana besar empat tahun lalu tersebut.