Petani Tuntut Penyelesaian Konflik Agraria dan Kelangkaan Pupuk Bersubsidi
Peringatan Hari Tani Nasional 2022 menjadi momentum bagi petani untuk menyampaikan aspirasinya. Hingga kini, petani masih berjibaku dengan berbagai persoalan klasik, yakni perebutan lahan dan kelangkaan pupuk bersubsidi.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Ratusan petani dari sejumlah kabupaten dan kota di Lampung berunjuk rasa di depan Tugu Adipura, Kota Bandar Lampung, Lampung, Selasa (27/9/2022). Mereka menuntut pemerintah menyelesaikan berbagai konflik agraria dan persoalan kelangkaan pupuk yang menyusahkan petani.
Unjuk rasa ini digelar dalam momentum peringatan Hari Tani Nasional pada 24 September 2022. Petani menyampaikan aspirasi dengan membawa spanduk berisi sejumlah tuntutan, antara lain penyelesaian konflik agraria, pemberantasan mafia tanah, serta kepastian pasokan dan distribusi pupuk bersubsidi untuk petani.
Daryuti (43), petani asal Desa Sidodadi, Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Pesawaran, menyampaikan, hingga kini petani masih kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi. Penyaluran pupuk yang tidak merata juga memaksa petani membeli pupuk nonsubsidi yang harganya semakin mahal.
Selain itu, semakin banyak pengembangan perumahan yang mencaplok lahan di area persawahan dan perkebunan yang dikelola petani. Kawasan pertanian yang mulai banyak dialihfungsikan menjadi kawasan perumahan membuat petani kehilangan ruang bercocok tanam. Petani kecil yang tak punya lahan terpaksa menjadi buruh tani dengan upah kecil.
Sementara itu, Sugeng (45), petani asal Desa Malang Sari, Kecamatan Tanjung Sari, Lampung Selatan, mengatakan, saat ini petani di wilayahnya masih menghadapi sengketa tanah. Lahan seluas 10 hektar milik 34 warga tiba-tiba diklaim secara sepihak oleh seseorang.
Sugeng berharap pemerintah dan aparat penegak hukum bisa mengusut dugaan adanya mafia tanah yang membuat tanah warga di kawasan itu direbut secara sepihak. Selain itu, pemerintah diharapkan menyelesaikan berbagai persoalan lain yang dihadapi petani setiap tahun.
”Saya tidak pernah merasakan bantuan bersubsidi. Program pemerintah di sektor pertanian masih banyak yang tidak sampai ke petani,” katanya.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung Irfan Tri Musri mengatakan, hingga saat ini konflik agraria di berbagai sektor masih terus terjadi. Padahal, masih banyak konflik agraria di masa lalu yang belum tuntas diselesaikan oleh pemerintah.
Konflik agraria di Lampung pada masa lalu yang belum tuntas antara lain kasus Register 45 Kabupaten Mesuji, konflik petani singkong di Tulang Bawang dengan perusahaan pemegang konsesi lahan, dan konflik petani karet di Kabupaten Lampung Selatan dengan perusahaan BUMN. ”Secara historis, konflik agraria yang terjadi di Lampung adalah konflik lama yang sudah ada sejak tahun 1980-an. Ibarat bom waktu, konflik agraria ini bisa meledak lagi,” kata Irfan.
Dia menilai, maraknya konflik agraria membuat nasib petani semakin terpinggirkan. Perampasan tanah petani membuat keluarga petani kehilangan mata pencariannya.
Dalam jangka panjang, konflik agraria juga bisa memicu krisis pangan yang berkepanjangan.
Untuk itulah, berbagai organisasi yang peduli kepada petani ikut berunjuk rasa memperingati Hari Tani Nasional 2022. Pihaknya ingin mengajak masyarakat untuk melihat nasib petani yang selama ini menjadi penopang penyediaan pangan di Tanah Air.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Bandar Lampung Sumaindra Jawardi mengatakan, konflik agraria juga rentan memicu konflik horizontal antarwarga. Hal ini lantaran akar masalah terkait tata kelola pertanahan tidak pernah diselesaikan secara tuntas oleh pemerintah.
Selain mengancam kesejahteraan petani, dalam jangka panjang konflik agraria juga bisa memicu krisis pangan berkepanjangan. Saat petani tak lagi punya ruang untuk bercocok tanam secara mandiri, penyediaan pangan dialihkan ke arah industrialisasi.
Di sisi lain, peralihan fungsi kawasan hutan menjadi kawasan perkebunan bisa semakin mempercepat krisis iklim. Dalam jangka panjang, krisis iklim ini membuat upaya penyediaan pangan, seperti beras dan sayuran, semakin sulit dan mahal.