Mencari Jalan Tengah Polemik Perpanjangan Izin PT Vale
Polemik terkait izin pertambangan PT Vale yang akan berakhir 2025 terus bergulir. Pengamat meminta dicari jalan tengah dan dilakukan berbagai kajian komprehensif serta audit.
Hampir sebulan terakhir, pembicaraan terkait kelanjutan perusahaan tambang nikel PT Vale mendadak ramai. Di media arus utama, media sosial, hingga warung kopi, perihal perusahaan yang beroperasi di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, ini cukup seksi sebagai bahan diskusi.
Bahkan, pada Jumat (23/9/2022), Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, juga menggelar diskusi publik dengan tema ”Kontroversi Perpanjangan Izin PT Vale”. Diskusi ini menghadirkan Rektor Unhas Jamaluddin Jompa sebagai pembicara kunci.
Selain itu, ada pula Tri Winarno, Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), yang menjadi pemateri. Pengamat ekonomi Marzuki dan Kepala Dinas ESDM Sulsel Bakti Haruna juga menjadi pembicara. Tak ketinggalan hadir tokoh masyarakat hingga mahasiswa Luwu Timur.
Memang soal perpanjangan izin inilah yang memantik kontroversi dan menjadi ramai. Hal ini bermula ketika dalam rapat dengar pendapat bersama anggota Komisi VII DPR di Jakarta, Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaiman dengan tegas menolak perpanjangan kontrak PT Vale. Kontrak karya perusahaan ini akan berakhir 2025 nanti.
Gubernur mengatakan, andil salah satu perusahaan tambang asing tertua di Indonesia ini sangat kecil bagi Sulsel, yakni 1,98 persen dari total penghasilan perusahaan ini. Dia mencuatkan wacana agar tambang nikel ini dikelola saja oleh badan usaha milik daerahBUMD atau perusahaan daerah. Gubernur mengatakan, BUMD di tiga provinsi siap mengambil alih PT Vale dan mendirikan pabrik pengolahan.
Poin-poin yang menjadi catatan sekaligus keberatan Pemerintah Provinsi Sulsel dijabarkan oleh Kepala Dinas ESDM Sulsel saat diskusi publik di Unhas. Poin ini di antaranya lahan yang dieksploitasi hanya sekitar 7.000 hektar selama 54 tahun beroperasi. Dengan kata lain, ada lebih dari 100.000 hektar lahan dalam wilayah konsesi perusahaan multinasional asal Brasil itu yang menganggur.
Sebagai catatan, PT Vale yang sebelumnya bernama PT Inco mulai beroperasi di Sulsel sejak 1967. Saat itu, mereka mengantongi kontrak karya dengan izin operasi selama 30 tahun. Izin ini diperpanjang dan akan berakhir 2025 mendatang. Sesuai kontrak karya, luas wilayah operasi PT Vale adalah 118.017 hektar. Jumlah ini meliputi 70.566 hektar di Sorowako, Sulsel; 22.699 hektar di Bahodopi, Sulawesi Tengah; serta masing-masing 4.466 hektar di Lasusua dan 20.286 hektar di Pomalaa (keduanya di Sulawesi Tenggara).
Baca juga : Menakar Strategi Pemanfaatan Nikel dan Industri Kendaraan Listrik Dunia
”Terjadi cedera janji sebagaimana yang termuat dalam kontrak karya bahwa PT Vale wajib membangun smelter (pabrik pengolah nikel) di wilayah Bahodopi dan Matarappe senilai 4 miliar dollar AS. Nyatanya, sampai sekarang belum ada. Masih terdapat puluhan pekerja asing. Adapun tenaga kerja lokal hanya ada di level menengah ke bawah,” kata Bakti.
Poin lain menyebut perusahaan ini tidak memenuhi komitmen meningkatkan kapasitas produksi. Sebagai gambaran, amendemen kontrak karya mengamanatkan perusahaan ini wajib meningkatkan kapasitas produksi sebesar 25 persen dari rata-rata produksi tahun 2009-2013 atau setara dengan sekitar 87.500 metrik ton. ”Komitmen ini belum terpenuhi. Ini dibuktikan dengan produksi tahun 2020 sebanyak 72.227 metrik ton dan pada tahun 2021 turun menjadi 55.388 metrik ton,” ujarnya.
Selain soal produksi, Bakti mengatakan, isu lingkungan juga menjadi sorotan masyarakat dan pemerhati lingkungan. Salah satunya soal kestabilan lereng pada saat penambangan dan pascatambang. Ada juga potensi pencemaran lingkungan akibat limbah beracun. ”Sejauh ini belum ada data kadar kandungan logam berat dalam darah karyawan,” ucapnya.
Namun, poin-poin keberatan Pemprov Sulsel itu dibantah pihak PT Vale melalui Head of Communications Bayu Aji. Dia mengatakan, PT Vale saat ini fokus dalam menyelesaikan sejumlah proyek pengembangan di tiga blok, yakni Blok Sorowako, Blok Bahodopi, dan Blok Pomalaa. Perseroan juga disebut tengah menyelesaikan semua yang menjadi kewajiban dalam kontrak karya (KK) yang telah diamanatkan Pemerintah Indonesia.
”PT Vale adalah perusahaan pertambangan terintegrasi yang tidak pernah mengekspor bijih sejak awal berdiri. Dalam satu dekade terakhir, yakni antara tahun 2011–2021, kontribusi PT Vale untuk kas negara melalui pembayaran pajak dan nonpajak sebesar 1,2 miliar dollar AS. Kami juga membuka kesempatan usaha untuk lokal dan regional rerata lima tahun sebesar sekitar 33,7 juta dollar AS,” kata Bayu.
Selain itu, memiliki peta jalan menuju pertambangan rendah karbon yang net zero di tahun 2050.
Dia juga menyebut persoalan lingkungan menjadi perhatian perusahaan. Beberapa aspek utama terkait keberlanjutan adalah perusahaan mendapatkan peringkat Proper Hijau. Selain itu, PT Vale selalu menjaga lahan terbuka tetap minimal setelah kegiatan penambangan. Ini dilakukan dengan selalu merehabilitasi lahan pascatambang. Perusahaan mengklaim telah menanam lebih dari 3,7 juta pohon dan mereforestasi area di luar kontrak karya sebesar lebih dari 10.000 hektar.
”Kami mengoperasikan PLTA (pembangkit listrik tenaga air) sebagai sumber energi utama sehingga memiliki intensitas karbon terendah. Selain itu, memiliki peta jalan menuju pertambangan rendah karbon yang net zero di tahun 2050,” ujar Bayu.
Dia menambahkan, PT Vale juga menjaga kualitas air limpasan menuju badan air dengan lebih dari 100 kolam sedimen sehingga kejernihan Danau Matano, danau di dekat lokasi tambang, tetap terjaga. Terkait lapangan kerja, PT Vale membuka lapangan kerja untuk sekitar 3.000 karyawan dan 6.000 tenaga kontraktor. Dari jumlah itu, komposisi karyawan 99,7 persen dari Indonesia dengan 89 persen di antaranya dari Luwu Timur.
Jamaluddin Jompa mengatakan, polemik PT Vale ini harus dilihat lebih jernih dan berhati-hati. Menurut dia, memang bukan kewenangan gubernur untuk memperpanjang izin atau tidak. Namun, keberatan mereka harus pula jadi perhatian. Indonesia adalah negara yang berdaulat, tetapi juga negara yang menghargai perjanjian-perjanjian universal.
Pengamat agraria dan sumber daya alam Unhas, Abrar Saleng, mengatakan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 4/2009, tak ada lagi kontrak dalam pengusahaan pertambangan. Sebelumnya, pada UU Nomor 11/1967, kontrak karya mencakup perizinan dan perjanjian usaha pertambangan (PUP) dengan kuasa pertambangan.
”Saat ini PUP tak ada lagi. Artinya, dasar hukum kontrak karya sudah tidak ada, tapi kontrak tetap berlanjut karena hukum tidak berlaku surut. Namun, berdasarkan Pasal 169a, disebutkan bahwa dalam perpanjangan kontrak karya dapat diberikan jaminan perpanjangan oleh menteri. Ini ditafsirkan oleh pemohon bahwa jaminan itu adalah otomatis,” katanya.
Baca juga : Nikel Indonesia Jantung Baterai Kendaraan Listrik Dunia
Namun, berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/2020 disebutkan bahwa perpanjangan itu tidak otomatis dan hanya dimaknai sebagai dapat diberikan perpanjangan. Adapun Pasal 169b menyebutkan bahwa pemegang kontrak karya dapat mengajukan permohonan kepada menteri untuk memperpanjang izin operasinya.
”Karena itu, harus diatur supaya adil dan profesional. Menteri harus berkoordinasi ke bawah dan gubernur berkonsultasi ke atas. Semua harus tahu. Asas hukum mengatakan, jika ada pengelolaan sumber daya alam di suatu tempat, maka orang yang berada paling dekat dengan lokasi harusnya paling sejahtera dibanding yang jauh. Karena saat ada bencana, yang paling dekat dulu kena, baru yang jauh,” katanya.
Sementara itu, pengamat ekonomi Unhas, Marzuki, mengatakan, selama ini semua terlena, seolah kalau tidak ada investor asing lalu sumber daya alam tidak bisa dikelola. ”Bukan berarti tidak menghargai dan tidak menganggap mereka ada. Karena investor asing juga keniscayaan dalam pembangunan," ujarnya.
Dia menambahkan, ada fakta bahwa pendapatan dari Vale naik terus, tetapi kemiskinan juga meningkat. Namun, ada fakta yang menarik karena tingkat pengangguran berkurang dan pendapatan per kapita di Luwu Timur juga tinggi. ”Berdasarkan data ini, berarti ada masalah jika pendapatan per kapita tinggi, tapi kemiskinan juga tinggi,” katanya.
Berdasarkan data, pendapatan per kapita dari sektor tambang di Luwu Timur pada 2021 adalah Rp 7,9 juta. Namun, di Sulsel, dari 24 kabupaten/kota, Luwu Timur berada di urutan kedelapan dalam kemiskinan. Sejauh ini, 46 persen produk domestik regional bruto (PDRB) Luwu Timur berasal dari pertambangan.
Baca juga : Nikel dan Kemajuan Ekonomi Daerah
”Artinya, ada kesenjangan, dan ini harus menjadi perhatian bersama. Secara langsung, Vale telah berkontribusi di Sulsel dan Luwu Timur, tapi berdasarkan beberapa fakta, masih banyak yang perlu jadi perhatian,” kata Marzuki.
Diskusi di Unhas merekomendasikan beberapa catatan, di antaranya melakukan kajian khusus mengenai proporsi ideal penerimaan negara antara pusat dan kabupaten. Selain itu, melakukan kajian komprehensif mengenai dampak program pemberdayaan di lingkar tambang oleh pihak independen. Audit lingkungan juga menjadi hal yang mendesak dilakukan. Jika negara memperpanjang izin, maka terdapat proporsi saham yang akan diberikan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten.