Ada kekhawatiran perubahan pola berladang dengan penyeragaman jalan pangan jika melihat program pemerintah yang memberikan benih padi unggulan dan disamakan di semua tempat, termasuk di Kalimantan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Benih pangan lokal, mulai dari padi, jagung, sorgum, hingga kacang-kacangan, ditunjukkan dalam pesta benih peringatan Hari Tani Nasional di Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Sabtu (24/9/2022).
KUALA KURUN, KOMPAS — Kian lunturnya tradisi berladang pada masyarakat Dayak di Kalimantan tak hanya membuat produksi padi berkurang, tetapi juga melunturkan budaya bertani. Petani di Kabupaten Gunung Mas menyiasatinya dengan menjaga benih lokal beserta budayanya dengan menciptakan rumah benih.
Dalam peringatan Hari Tani Nasional pada Sabtu (24/9/2022), ratusan petani Kabupaten Gunung Mas berkumpul di Desa Tumbang Oroi, Kecamatan Manuhing Raya, Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Mereka tak hanya bertukar pengetahuan tentang berladang dan budayanya, tetapi juga bertukar benih pangan lokal.
Acara yang berlangsung selama tiga hari, Jumat-Minggu (23-25/9/2022), itu digagas oleh Borneo Institute (BIT) dan diikuti beberapa petani dari luar daerah Gunung Mas, seperti Desa Kubung, Kabupaten Lamandau. Uniknya, unsur pemerintah yang hadir dalam kegiatan itu bukan sebagai pembicara, melainkan pendengar.
Dalam kegiatan itu setidaknya terkumpul 44 jenis benih padi lokal yang berhasil diselamatkan dari kepunahan. Kepunahan benih padi lokal itu disebabkan banyak faktor, mulai dari larangan membakar hingga alih fungsi lahan.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Pawai petani di Desa Tumbang Oroi, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Sabtu (24/9/2022). Pawai itu dilaksanakan dalam acara pesta benih yang digagas oleh para petani didampingi Yayasan Borneo Institute (BIT).
RK Maladi, petani asal Desa Kubung, mengungkapkan, di desanya, berladang masih terus berjalan karena merupakan pekerjaan utama masyarakat. Tak hanya itu, berladang juga budaya Dayak Tomun yang merupakan subsuku Dayak di wilayah Lamandau.
”Tapi, penghasilan utama kami tidak hanya dari ladang. Ladang itu lumbung pangan kami, tetapi kehidupan utama kami ada di hutan. Bagi kami, hutan itu ibu,” ungkap Maladi di Desa Tumbang Oroi, Minggu (25/9/2022).
Ironinya, di lima desa di Kecamatan Manuhing Raya, berladang sudah jadi barang langka. Dari ribuan keluarga yang tinggal di lima desa itu, hanya 16 keluarga yang masih berladang. Sisanya mencari pekerjaan lain, mulai dari sedot emas hingga bekerja di luar kampung, termasuk di perusahaan. Hal itu terungkap dalam diskusi yang didasari hasil identifikasi para petani bersama BIT.
Salah seorang petani yang masih tetap berladang adalah Yurti (43), asal Desa Tumbang Samui. Ia mengaku tahu larangan membakar dari pemerintah, tetapi tidak bisa meninggalkan ladangnya. Tanpa berladang, ia tidak bisa memberi makan keluarga karena ladang jadi sumber hidup, pun penghasilan.
”Kalau gak berladang, dari mana kami makan?” ujar Yurti.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Benih pangan lokal yang dikumpulkan dan dipertukarkan oleh para petani pada acara peringatan Hari Tani Nasional di Tumbang Oroi, Kabupaten Gunung Mas, Kalteng, Sabtu (25/9/2022).
Sekali berladang, Yurti bisa tinggal hingga enam bulan di ladang bersama suami dan dua anaknya. Saat anaknya sekolah, ia baru pulang ke rumah atau kadang berangkat dari ladang untuk pergi ke sekolah.
Direktur BIT Yanedi Jagau mengungkapkan, kegiatan itu mulai dari menjadi panitia pelaksana hingga narasumber dilakukan oleh warga atau masyarakat di Desa Tumbang Oroi. Bersama masyarakat, BIT kemudian membangun rumah benih.
”Tanah hilang di Kalteng itu bukan hal baru, tapi sudah tanah gak ada, benih juga gak ada, itu bencana,” ujarnya.
Menurut Jagau, tanah bisa direbut atau diambil kembali jika memang beririsan dengan konflik. Namun, benih yang merupakan produk teknologi ratusan tahun para leluhur Dayak sulit didapat kembali ke bentuk sempurnanya.
”Kami ada kekhawatiran, ada perubahan pola berladang dengan penyeragaman jalan pangan jika melihat program pemerintah yang memberikan benih padi unggulan dan disamakan di semua tempat, termasuk di Kalimantan,” kata Yanedi.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Direktur Borneo Institute Yanedi Jagau menunjukkan rumah benih milik masyarakat yang merupakan tempat penyimpanan benih di Tumbang Samui, Kabupaten Gunung Mas, Kalteng, pada Minggu (25/9/2022).
Produksi padi turun
Bupati Gunung Mas Jaya S Monong yang hadir dalam kegiatan itu mengungkapkan, sejak larangan membakar tahun 2015, produksi padi di wilayahnya menurun drastis. Karena itu, untuk memenuhi kebutuhan, pihaknya banyak bergantung dari wilayah hilir yang merupakan daerah penghasil padi sawah. Selain itu, larangan membakar juga membuat petani malas berladang.
”Mereka tak mau berladang kalau tidak membakar. Selain biaya tinggi, dengan membakar itu mengurangi hama. Kalau tidak membakar, tidak menguntungkan bagi mereka,” ujar Jaya.
Ia pun mengakui bahwa kebijakan itu tak hanya membuat benih padi lokal hilang, tetapi juga beragam jenis benih pangan lokal lainnya. ”Kami saat berladang itu tak hanya padi yang ditanam, ada ketan dan berbagai sayuran,” katanya.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Bupati Gunung Mas Jaya S Monong disambut oleh masyarakat adat Dayak di Tumbang Orori, Kabupaten Gunung Mas, Kalteng, pada Sabtu (25/9/2022).
Jaya menambahkan, pihaknya akan berupaya untuk berkoordinasi kembali dengan banyak pihak terkait larangan membakar agar masyarakat bisa berladang tanpa dihantui rasa takut.
”Ini perlu pembicaraan lebih dalam lagi. Dalam waktu dekat saya akan bertemu dengan pihak kepolisian, kejaksaan, hingga ke pemerintah provinsi untuk membahas hal ini,” katanya.
Ia menyebutkan, sebelumnya pemerintah sudah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pengendalian Kebakaran. Dalam kebijakan itu, pemerintah sudah membolehkan membakar dengan beberapa syarat. ”Kami akan minta perda ini disosialisasikan agar petani tidak takut lagi,” ujar Jaya.