Penduduk Sangihe-Filipina Tanpa Kewarganegaraan Rentan Jadi Korban Perbudakan di Kapal Perikanan
Penduduk tanpa kewarganegaraan dari Filipina di Sulut rentan dipekerjakan secara ilegal tanpa jaminan di kapal perikanan di Indonesia. Pemerintah didesak segera membuat kebijakan untuk menjamin hak-hak mereka.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
MANADO, KOMPAS — Penduduk tanpa kewarganegaraan dari Filipina di Sulawesi Utara rentan dipekerjakan secara ilegal tanpa jaminan di kapal perikanan di Indonesia. Pemerintah didesak segera membuat kebijakan untuk memperjelas status dan menjamin hak-hak sipil mereka serta menyepakatinya dengan Pemerintah Filipina.
Dihubungi dari Manado, Jumat (23/9/2022), Ketua Serikat Awak Kapal Perikanan Bersatu Sulawesi Utara Arnon Hiborang mengatakan, dirinya sangat sering mendapati kasus perusahaan perikanan tangkap di Kota Bitung mempekerjakan orang tanpa dokumen kependudukan resmi sebagai anak buah kapal (ABK).
Mereka sebagian lahir di Indonesia, pindah ke Filipina, kemudian kembali ke Indonesia tanpa dokumen kewarganegaraan mana pun. Sebagian lainnya kelahiran Filipina, lalu pindah ke Indonesia demi mencari kehidupan yang lebih baik, dengan ataupun tanpa membawa tanda kependudukan Filipina.
”Mereka biasanya punya keluarga di Sulut dan di Filipina. Kalau kebetulan cari kerja, kemudian ada keluarganya yang kerja di kapal di Indonesia, mereka disuruh berlayar dengan perahu, lalu dijemput di tengah laut, kemudian dibawa ke Indoensia dan didaftarkan di perusahaan kapal perikanan,” kata Arnon.
Menurut dia, perusahaan kemudian membuatkan KTP palsu, sering kali dengan blanko asli. ”Ini supaya mereka bisa dapat izin berlayar. (Mereka) lalu diintimidasi perusahaan agar mau bekerja tanpa jaminan apa pun. Kalau, misalnya, mereka meninggal, akhirnya (jaminan) BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial)-nya tidak bisa diklaim,” ujarnya.
Menurut data Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kanwil Kemenkumham Sulut), anggota komunitas Sangihe-Filipina, atau yang lebih dikenal sebagai ”Sanger-Pilipin”, ini mencapai 445 orang di Kota Bitung, sedangkan di Kepulauan Sangihe dan Kepulauan Talaud 43 orang.
Adapun Pemprov Sulut memperkirakan ada sekitar 1.500 orang. Namun, Arnon memperkirakan jumlahnya jauh lebih banyak karena banyak yang telah memiliki KTP palsu dan tak tercatat oleh Divisi Keimigrasian Kanwil Kemenkumham Sulut. ”Banyak dari mereka yang berkeliaran bebas dan tidak diawasi,” katanya.
Akibatnya, Arnon menyebut tak sedikit para pendatang dari Filipina, baik kelahiran Indonesia maupun Filipina, yang sudah 15-20 tahun tinggal di Indonesia tak memiliki catatan sipil. Sebagian telah menikah dengan warga negara Indonesia (WNI) meski tak secara resmi dan memiliki anak-anak.
Ia khawatir akan semakin banyak undocumented persons yang dipekerjakan secara ilegal sebagai ABK di Bitung. Karena itu, ia mendorong pemerintah untuk meningkatkan pengawasan serta menciptakan kebijakan yang melindungi penduduk ”Sangihe-Filipina” dari perbudakan di laut.
”Kalau kebetulan mereka tercatat sebagai warga Filipina, buatkan kartu identitas bahwa mereka bekerja di sini sehingga mereka bisa memberi pemasukan untuk Indonesia. Yang tidak punya identitas, terutama yang sudah lama tinggal di sini dan berkeluarga, bisa ditawari menjadi WNI,” kata Arnon.
Kalau, misalnya, mereka meninggal, akhirnya BPJS-nya tidak bisa diklaim.
Menurut Arnon, kebijakan ini telah lama dilakukan Filipina. Ia pernah datang untuk bekerja di kapal perikanan di Davao hanya dengan berbekal buku pelaut, bukan paspor. Namun, selama di sana, ABK asal Indonesia wajib membuat visa bekerja secara berkala sehingga berkontribusi pada pemasukan Pemerintah Filipina.
Hingga kini, Indonesia memang belum memiliki skema tetap dalam menangani keberadaan orang tanpa dokumen. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia memperbolehkan warga asing yang tinggal selama lima tahun berturut-turut atau 10 tahun secara tak berturut-turut dinaturalisasi menjadi WNI.
Namun, UU ini tidak mengatur skema pemberian kewarganegaraan bagi undocumented persons. Menurut Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Sigit Riyanto, pemberian kewarganegaraan bagi wagra tanpa dokumen resmi seharusnya menjadi prioritas pemerintah.
”Mereka sudah berada di negara kita, lalu mereka sudah menjadi bagian dari warga negara Indonesia. Dalam posisi seperti itu, negara wajib hadir untuk membantu menyelesaikan masalah dokumentasi itu serta memastikan pemenuhan semua hak dasar mereka karena dampak ikutannya akan sangat banyak,” katanya.
Sekalipun belum memiliki KTP sebagai tanda kewarganegaraan, banyak penduduk Sangihe-Filipina yang telah menikah dengan orang Indonesia dan memiliki anak. Akibatnya, banyak yang tidak bisa mendapatkan surat nikah dan kartu keluarga. Anak-anaknya juga tidak boleh bersekolah karena tidak memiliki akta kelahiran.
Karena itu, Sigit menyatakan, Pemerintah Indonesia mampu mencapai kesepakatan bersama Filipina untuk mengatasi masalah status kewarganegaraan dan menjamin hak-hak dasar penduduk Sangihe-Filipina di kedua negara. Menurut data Pemprov Sulut, saat ini ada 3.328 penduduk keturunan Sangihe tanpa identitas kependudukan Filipina di Pulau Sarangani, Pulau Balut, Davao, dan sekitarnya.
”Harus ada pembicaraan G2G (government to government) antara Pemerintah Indonesia dan Filipina untuk membuat kebijakan yang sifatnya sekali untuk selamanya, yaitu membuat kebijakan administratif yang reguler. Jadi, saat ada komunitas warga tanpa dokumen ditemukan, negara sudah bisa menghadapinya dengan kebijakan yang normal, tidak perlu mencari-cari skema baru,” katanya.
Sigit pun yakin, adanya kesepakatan serupa tidak akan menciptakan gelombang migrasi ilegal dari Filipina ke Indonesia. Pemerintah bisa berkaca di perbatasan antara Papua dan Papua Niugini, di mana warga dari dua negara dapat melintasi batas untuk melaut serta bertani, berbagi sumber daya tanpa menimbulkan konflik.
Sementara itu, Yakobus Lukas, Kepala Lingkungan 2 Kelurahan Batulubang di Pulau Lembeh, Kota Bitung, mengatakan, ada 20-an warga di wilayahnya yang masih belum memiliki kewarganegaraan. Sebagian termasuk dalam 158 orang yang masih menunggu surat keputusan penegasan kewarganegaraan dari Kemenkumham.
Demi menjamin hak mereka, ia pun berupaya membuatkan surat domisili bagi penduduk Sangihe-Filipina yang berlaku tiga hingga enam bulan. ”Ini supaya mereka bisa bekerja dan menghidupi keluarga mereka. Tetapi, kalau vaksin, bantuan sosial, pelayanan di KTP, mereka belum bisa dapat,” kata Yakobus.
Kepala Biro Hukum Pemprov Sulut Flora Krisen mengatakan, Sulut akan selalu terpapar risiko kedatangan warga tanpa dokumen dari Filipina. Apalagi, ada 12 pulau kecil terluar di Sulut, tiga di antaranya tidak berpenghuni.
Ia pun menyatakan, pemprov siap mengambil kebijakan inklusif bagi penduduk tanpa kewarganegaraan. Namun, pemprov akan berupaya meningkatkan pengawasan di wilayah tersebut dengan bekerja bersama kepolisian, TNI, dan Badan Keamanan Laut.