Luas Kawasan ”Food Estate” Terus Bertambah, Tenaga Kerja Masih Kurang
”Food estate” di Kalimantan Tengah sudah berjalan dua tahun. Pemerintah masih memiliki banyak pekerjaan rumah untuk bisa memenuhi target dan tidak berubah bencana. Salah satunya soal luas lahan dan tenaga kerja.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
KOMPAS/AHMAD ARIF
Tanaman singkong di food estate Desa Tewai Baru, Gunung Mas, yang dikelola Kementerian Pertahanan terlihat kurus dan tak terawat padahal sudah berumur lebih dari satu tahun, Minggu (24/7/2022),
PALANGKARAYA, KOMPAS — Luas lahan food estate di Kalteng terus bertambah, baik lahan intensifikasi maupun lahan cetak sawah baru. Pemerintah perlu menetapkan angka pasti kawasan food estate yang sampai saat ini masih sumir mengingat di lahan yang sudah ada pemerintah kesulitan mencari penggarap atau tenaga kerja.
Food estate atau program strategis nasional lumbung pangan di Kalimantan Tengah sudah berjalan dua tahun. Pada 2020 lalu, untuk lahan intensifikasi di komoditas padi, pemerintah membantu petani dengan mengelola lahan sawah seluas lebih kurang 31.000 hektar di Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Pulang Pisau. Luasan itu kini bertambah.
Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Peternakan Provinsi Kalteng Sunarti menjelaskan, saat ini lahan intensifikasi ditambah sehingga totalnya menjadi 44.000 hektar. Penambahan terjadi di Kabupaten Kapuas yang sebelumnya 21.000 hektar menjadi 34.000 hektar. Penambahan terjadi pada lahan sawah yang diintensifikasi seluas 13.000 hektar.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Tumpukan kapur dolomit untuk kelompok tani yang masuk dalam program ekstensifikasi food estate, Rabu (20/7/2022), masih terbengkalai.
”Jadi sebenarnya lahan masyarakat itu luas-luas, tetapi sayang tenaga kerjanya tidak ada, seperti di Kapuas itu lahannya ada pemiliknya, tapi yang kerja tidak ada,” kata Sunarti di sela-sela kegiatan ”Ngobrol Bareng” yang digagas Save Our Borneo (SOB) pada Kamis (22/9/2022).
Sunarti menjelaskan, pemerintah pusat memang memiliki target luas lahan mencapai 165.000 hektar sehingga perluasan lahan dilakukan bertahap dengan target berbeda setiap tahun. Saat ini, untuk perluasan lahan sawah baru atau ekstensifikasi luasnya mencapai 16.000 hektar dan jika ditotal dengan intensifikasi, luasnya sudah mencapai 60.000 hektar atau hampir seluas Provinsi DKI Jakarta.
”Memang ada kendala di pekerjaan, kami pernah kerja sama dengan perusahaan M-Tani, tapi mereka, kan, ambil pekerjanya dari luar juga, mereka juga kesulitan,” ungkap Sunarti.
Sunarti menambahkan, dalam dua tahun ini program strategis nasional itu dinilai memberi banyak manfaat ke daerah terutama kepada para petani. Petani yang awalnya ditargetkan tiga kali panen kini hampir mencapai target itu.
”Manfaatnya luar biasa untuk petani. Ada peningkatan dulu hanya dua kali panen setahun, saat ini dua setengah kali panen, karena masa tanam tiga kali, tapi panennya nyebrang ke tahun berikutnya,” ujar Sunarti.
Melihat hal itu, pemerhati tata ruang dan konsultan independen Kalteng Fatkhurohman mengungkapkan, pemerintah belum menentukan angka utama luas wilayah food estate ini, apalagi ada dua komoditas yang dikerjakan berbeda, yakni komoditas padi yang dipimpin Kementerian Pertanian dan komoditas singkong yang dipimpin Kementerian Pertahanan.
”Dalam KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) itu muncul angka luasan 771.000 hektar, sedangkan angka 165.000 hektar itu sebenarnya pendukung yang 30.000 hektar di awal, bukan target luasan,” ungkap Fatkhurohman di Palangkaraya, Jumat (23/9/2022).
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Para pekerja borongan asal Kalimantan Selatan sedang menanami padi jenis Impari-42 di sawah yang digarap pemerintah dalam program food estate di Desa Bentuk Jaya, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, Rabu (21/4/2021).
Fatkhurohman menjelaskan, program food estate dikerjakan di wilayah bekas proyek lahan gambut (PLG) satu juta hektar 25 tahun silam di mana program serupa food estate itu berakhir bencana dan gagal. Jika melihat KLHS, luas wilayah food estate untuk padi yang mencapai 771.000 hektar masuk ke dalam lima blok bekas PLG, yakni Blok A, Blok B, Blok C, Blok D, dan Blok E.
Sampai saat ini Blok E merupakan kawasan hutan yang paling baik tutupan hutannya dibanding yang lain dan terdapat tiga kubah gambut di Blok A, Blok E, dan Blok D.
”Jika itu diubah atau dialihfungsikan, potensi bencana semakin besar. Saya semakin ragu dengan keberhasilan program ini,” ungkap Fatkhurohman.
Dengan luas 60.000 hektar, lanjut Fatkhurohman, pemerintah mulai kewalahan mencari tenaga kerja, apalagi dengan angka 165.000 hektar. ”Mau cari di mana tenaga kerjanya,” kata Fatkhurohman.
Antropolog Dayak asal Kalteng, Marko Mahin, menjelaskan, orang Dayak pada mulanya tidak memakan padi. Padi dikenalkan ratusan tahun lalu sejak zaman kolonial, di saat itu bahkan di lokasi-lokasi yang digunakan food estate saat ini orang Dayak mulai mengenal ladang pasang surut, tetapi tetap dengan cara tebas-bakar.
”Ada cultural shock atau gegar budaya ketika pemerintah masuk dengan program ini. Kalau petani di Belanti Siam yang notabene adalah transmigran mungkin bisa panen 2,5 kali setahun, kalau orang Dayak hanya sekali,” ungkap Marko.
Orang Dayak, lanjut Marko, tidak mengenal konsep tahun baru. Pada mulanya, tahun baru hanya ditandai dengan panen sehingga dibuat pesta panen atau pesta gawai, diikuti berbagai ritual. Semua itu bisa terancam hilang ketika jalan pangan mereka diseragamkan dengan daerah lain.
”Kalau dicari tenaga kerja seperti transmigran memang pasti sulit, dan jika mau mengubah budaya atau pola tanam orang Dayak itu butuh mengubah cara berpikir satu generasi, setidaknya 25 tahun,” ungkap Marko.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah Bayu Herinata mengungkapkan, pada komoditas singkong pemerintah menggunakan kawasan hutan yang saat ini bisa digunakan khusus untuk program lumbung pangan tersebut.
Singkong, menurut Bayu, tidak menjawab kebutuhan pangan yang diinginkan masyarakat, melainkan untuk kebutuhan industri dan ekspor untuk pendapatan visa. ”Jadi enggak relevan alasan pencadangan lahan pangan singkong untuk ketersediaan dan ketahanan pangan,” ungkap Bayu.
Bayu menambahkan, penetapan kawasan hutan untuk pangan tidak berdasarkan kajian yang cukup dan tidak mempertimbangkan keberlanjutan dan dampak lingkungan. ”Kami melihat dua tahun ini proyek FE (food estate) singkong mangkrak dan menyisakan masalah di lapangan,” ujarnya.