Merry Utami, terpidana mati dalam kasus peredaran narkoba, berencana mengajukan peninjauan kembali atas hukuman yang dijatuhkan kepadanya. Tim kuasa hukumnya berharap permohonan itu diterima. Jawaban grasi juga ditunggu.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·4 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Terpidana mati kasus narkotika, Merry Utami (48), akan mengajukan peninjauan kembali atas hukuman yang dijatuhkan kepadanya. Hingga kini, Merry masih belum mendapatkan kejelasan terkait permohonan grasi yang ia ajukan kepada Presiden Joko Widodo pada 2016 silam.
Pada Kamis (22/9/2022), tim kuasa hukum Merry mendatangi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Perempuan Semarang, Jawa Tengah, untuk meminta surat pengantar pengajuan peninjauan kembali ke Pengadilan Negeri Tangerang. Sejak November 2021, Merry dipindahkan dari Lapas Nusakambangan di Cilacap, Jateng, ke Lapas Perempuan Semarang. Perkara yang menjeratnya disidangkan di Pengadilan Negeri Tangerang.
Sebelumnya, Merry dijatuhi hukuman mati setelah ditangkap petugas Bandara Soekarno-Hatta di Tangerang membawa heroin seberat 1,1 kilogram di dalam tas tangan pada tahun 2001. Pekerja migran Indonesia asal Kabupaten Sukoharjo, Jateng, itu mengaku bahwa tas tersebut bukan miliknya, melainkan milik salah seorang teman dari kekasihnya. Merry juga tidak tahu bahwa tas itu disisipi heroin.
Awalnya, Merry ditahan di Lapas Perempuan Tangerang. Jelang eksekusi mati, Merry dipindahkan ke Lapas Nusakambangan pada 25 Juli 2016. Merry dan kuasa hukumnya sempat mengajukan peninjauan kembali yang pertama atas vonis tersebut. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung, hasil peninjauan kembali itu masih sama, yakni hukuman mati.
Sehari setelah itu, Merry mengajukan grasi kepada Presiden Joko Widodo. Enam tahun berlalu, Merry belum juga mendapatkan jawaban terkait pengajuan grasi tersebut.
”Pada 29 Juli 2016, pihak kejaksaan menyampaikan bahwa eksekusi mati terhadap Merry ditunda. Sembari menanti penundaan eksekusi mati dan menanti jawaban grasi, Merry tetap ditahan. Sejauh ini, Merry telah 21 tahun menjalani pemenjaraan. Baginya, ini merupakan bentuk penyiksaan dan penghukuman yang merendahkan harkat dan martabat manusia,” kata Aisya Humaida, anggota tim kuasa hukum Merry Utami.
Melebihi undang-undang
Aisya mengatakan, pemenjaraan Merry selama 21 tahun melebihi durasi hukuman penjara yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yakni 20 tahun. Keabsahan hukuman yang dijalani Merry itu lantas dipertanyakan oleh tim kuasa hukumnya.
Selama menjalani pemenjaraan, Merry berkelakuan baik. Berbagai kegiatan dalam program pembinaan pemasyarakatan juga telah dijalani Merry. Bahkan, ia sempat membangun gereja di Lapas Nusakambangan, Cilacap. Hal itu tidak pernah dipertimbangkan.
Aisya menyebut, ditinjau dari obyektivitas kasus, Merry merupakan korban yang diperdaya dalam sindikat peredaran gelap narkotika. Posisinya berada di rantai paling bawah dalam kasus peredaran narkoba, yakni sebagai pembawa atau kurir, bukan sebagai pelaku utama.
”Kami meyakini, Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung memiliki pemahaman yang kuat terhadap pentingnya perlindungan terhadap kelompok rentan sebagaimana yang dialami klien kami. Kejaksaan Agung telah memiliki instrumen hak asasi manusia tentang akses keadilan bagi perempuan dan anak dalam perkara pidana. Sementara itu, Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Hadirnya kerangka legal tersebut merupakan angin segar bagi perempuan, termasuk Merry, untuk menghadirkan perspektif jender dalam kasusnya,” ucapnya.
Tim kuasa hukum Merry meminta Kementerian Hukum dan HAM memberikan bantuan teknis dan substansi terhadap permohonan peninjauan kembali kedua yang diajukan Merry. Mereka juga mendorong Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali dan mendesak Kejaksaan Agung menggunakan Pedoman Kejaksaan Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana dalam memeriksa Merry di hadapan persidangan peninjauan kembali yang kedua nantinya.
Aspek jender
Dalam diskusi yang digelar Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, 9 Oktober 2021, Merry, melalui sambungan video mengungkapkan harapannya supaya bisa mendapatkan grasi dan dibebaskan. ”Dan, saya boleh bilang sama orang-orang bahwa jangan sampai menjadi manusia bodoh kayak saya, yang mau dibohongi. Dan akhirnya masuk penjara,” ujar Merry (Kompas, 6/12/2021).
Dalam Laporan Situasi Kebijakan Hukuman Mati di Indonesia 2020 yang diterbitkan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), aspek jender memang jarang menjadi pertimbangan saat mengadili perempuan. Laporan Cornell Center on the Death Penalty Worldwide menyebut, perempuan sebagai terdakwa mendapatkan hukuman yang berat ketika tidak ada pengakuan tentang bagaimana aspek jender dan patriarki memengaruhi mereka saat melakukan tindak pidana. Proses peradilan dalam kasus dengan pelaku perempuan cenderung mengabaikan aktor lain yang memengaruhi perempuan melakukan tindak pidana.
Di Indonesia, laporan ICJR menyatakan bahwa secara umum peradilan pidana gagal mempertimbangkan kekerasan jender dan bukti lain yang dapat meringankan hukuman, misalnya untuk menentukan derajat kesalahan, apakah ada paksaan atau niat jahat.