Kekeruhan Sungai Kabupaten Paser Mengkhawatirkan
Pembukaan lahan yang masif di sektor perkebunan dan pertambangan punya andil besar mengurangi kejernihan air di Kabupaten Paser, Kaltim.

Tumpukan sampah plastik bercampur sampah lainnya di sekitar aliran Sungai Kandilo, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, Senin (19/9/2022).
Dari pemeriksaan rutin seluruh daerah aliran sungai di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, kondisi air sungai secara umum tercemar ringan dengan tingkat kekeruhan yang mengkhawatirkan. Pembukaan lahan yang masif di sektor perkebunan dan pertambangan punya andil besar mengurangi kejernihan air.
Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, memiliki luas wilayah 7.730,88 kilometer persegi dengan kepadatan penduduk 36 jiwa per kilometer persegi. Tak ada kemacetan dengan kepadatan penduduk seperti ini. Sebagai gambaran, luas wilayah DKI Jakarta hanya 664 kilometer persegi. Jumlah penduduknya sekitar 11 juta jiwa. Kemacetan, kesumpekan, dan sungai yang terkontaminasi adalah keniscayaan di kota dengan kepadatan penduduk 16.937 jiwa per kilometer persegi seperti Jakarta.
Kendati demikian, ternyata kepadatan penduduk bukan satu-satunya faktor yang membuat kualitas dan kejernihan air menurun. Kabupaten Paser punya masalah yang diam-diam timbul. Dari pemeriksaan rutin dua kali dalam setahun, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Paser menyimpulkan seluruh daerah aliran sungai di kabupaten ini tercemar ringan.
”Walaupun tercemar ringan, faktor kekeruhannya yang mengkhawatirkan. Faktor penyebabnya, bisa dipastikan akibat pembukaan lahan secara besar-besaran. Terjadi erosi yang kemudian mengalir ke sungai-sungai di Paser,” ujar Kepala DLH Kabupaten Paser Achmad Safari, saat dihubungi, Rabu (21/9/2022).

Kelompok Studi Konservasi Hutan dan Sungai SMAN 1 Batu Sopang bersama tim Ekspedisi Sungai Nusantara mengukur kualitas Sungai Setiu di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, Sabtu (17/9/2022).
Kesimpulan itu didapat dari pemeriksaan rutin di 30 titik pemantauan di hulu, tengah, dan hilir sungai. Air diuji dengan berbagai parameter, beberapa di antaranya seperti total suspended solid atau total padatan tersuspensi, kadar pH, dan tingkat kekeruhan.
Bahkan, dalam kondisi tertentu, seperti di musim hujan atau masa pembukaan lahan oleh perusahaan perkebunan dan tambang batubara, kualitas air menurun. Misalnya, pada 2016 terdapat 10 titik sungai yang tercemar berat. Pada 2019, meningkat menjadi 16 titik sungai yang cemar berat.
Dengan kepadatan penduduk yang relatif lengang, tingkat kekeruhan dan kualitas air di Kabupaten Paser ternyata dipengaruhi oleh pembukaan lahan yang besar oleh industri perkebunan dan pertambangan, dua sektor tertinggi penopang ekonomi kabupaten ini.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F02%2F02%2F9017182f-976b-49b3-99cb-bb2e9e8d7d8b_jpeg.jpg)
Ilustrasi. Tambang batubara
Dalam terbitan Badan Pusat Statistik bertajuk Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Paser Menurut Lapangan Usaha 2017-2021, struktur perekonomian Paser dalam rentang itu selalu didominasi oleh lima kategori lapangan usaha. Secara berurutan, kelimanya adalah pertambangan dan penggalian; pertanian, kehutanan, dan perikanan; industri pengolahan; perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil, dan sepeda motor; serta konstruksi.
Peranan terbesar dalam pembentukan PDRB Kabupaten Paser pada 2021 dihasilkan oleh lapangan usaha pertambangan dan penggalian, yakni di angka 70,95 persen. Setelahnya, diikuti lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan sebesar 12,02 persen.
Pemerintah sudah memberikan izin pertambangan batubara di Kabupaten Paser dengan luas lahan 104.956 hektar. Adapun izin perkebunan sawit yang sudah diberikan kepada sejumlah perusahaan seluas 183.575 hektar. Artinya, sekitar 40 persen lahan di Kabupaten Paser sudah digunakan untuk kebun sawit dan tambang batubara. Jumlah itu masih di luar sektor perkebunan, pertambangan, dan penggalian lainnya.
Baca juga: Mului, Pemburu-Peramu yang Tergerus Zaman

Ilustrasi. Bongkahan batubara dari aktivitas tambang ilegal di Taman Hutan Raya Bukit Soeharto, Kalimantan Timur, Jumat (25/3/2022).
Penguasaan dan pembukaan lahan yang besar diakui Achmad Safari sebagai faktor terbesar yang membuat sungai di Kabupaten Paser keruh. Sejumlah perusahaan, ujar Achmad, tak menjaga vegetasi di sekitar sungai tempat mereka beroperasi. Kondisi itu membuat sisa tanah galian, lumpur, dan pasir larut ke sungai yang membuat kejernihan air berkurang drastis.
Sungai Kandilo, salah satu sungai penting di Kabupaten Paser, bahkan pernah tercatat yang tertinggi dalam tingkat erosi atau pelarutan tanah se-Kaltim dan Kaltara. Tingkat erosinya setiap tahun mencapai 29 ton per tahun menurut catatan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Hutan Lindung Mahakam Berau.
Pelibatan masyarakat
Kondisi sungai yang keruh dan sudah tercemar membuat sejumlah warga yang sebelumnya memanfaatkan air sungai untuk minum beralih ke air tanah atau bahkan membeli air kemasan. Hal itu ditemukan oleh tim Ekspedisi Sungai Nusantara yang menyusuri Sungai Kandilo dan salah satu anak sungainya, yakni Sungai Setiu, pada 17-19 September 2022.
Ekspedisi Sungai Nusantara adalah program penelusuran sungai yang dilakukan Prigi Arisandi dan Amirudin Muttaqin menggunakan sepeda motor. Keduanya berkeliling ke 68 sungai nasional dan penting dengan tujuan mengukur kualitas sungai sekaligus mendata potensi keanekaragaman hayati sungai.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F06%2F02%2Fbef2440d-3bd8-43af-9f3c-ff6b15c92707_jpg.jpg)
Prigi Arisandi, peneliti dari tim Ekspedisi Sungai Nusantara, juga mengidentifikasi sampah yang dibuang sembarangan di area permukiman di Desa Lambaro Neujid, Kecamatan Pekan Bada, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Kamis (2/6/2022).
Pada 17 September 2022, mereka mengajak Kelompok Studi Konservasi Hutan dan Sungai SMAN 1 Batu Sopang untuk menyusuri sungai. Para siswa belajar mengukur kualitas sungai secara langsung dengan beberapa metode, parameter, dan alat.
Pengukuran kualitas air dilakukan dengan parameter TDS (total disolved solid), kandungan oksigen, klorin, fosfat, dan juga logam berat berupa besi dan mangan. Selain itu, pelajar juga meneliti mikroplastik dan serangga air (makroinvertebrata) untuk mengetahui kesehatan sungai.
Melalui serangga air, kata Prigi, siswa bisa menilai kualitas air sungai tanpa perlu menggunakan alat yang rumit. Mereka hanya perlu memantau jenis serangga apa saja yang ada di aliran sungai. Serangga sungai ini dibagi menjadi empat kategori, yakni yang sangat sensitif, sensitif, toleran, dan sangat toleran terhadap pencemaran lingkungan.
”Yang sangat sensitif, misalnya anak kunang-kunang dan anak capung. Mereka sekitar 80 persen siklus hidupnya di air dan tak bisa hidup kalau air sungainya cemar,” kata Prigi saat ditemui di Balikpapan, beberapa waktu lalu.

Kelompok Studi Konservasi Hutan dan Sungai SMAN 1 Batu Sopang bersama tim Ekspedisi Sungai Nusantara mengukur kualitas Sungai Setiu di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, Sabtu (17/9/2022).
Dari pengukuran kualitas air Sungai Setiu, Amirudin mengatakan, biota serangga airnya masih bagus. Kendati demikian, ditemukan klorin sebesar 0,14 ppm. Artinya, di atas baku mutu sesuai PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang Perlindungan Sungai. Adapun kandungan fosfat 0,44 ppm, di atas baku mutu 0,3 ppm.
”Kandungan klorin dan fosfat kemungkinan besar berasal dari aktivitas perkebunan dan rumah tangga yang masuk ke Sungai Setiu,” ujar Amirudin.
Pola pelibatan masyarakat ini, menurut Amirudin, bisa menguatkan pemantauan kualitas sungai. Perubahan lingkungan akibat alih fungsi hutan bisa diawasi langsung oleh warga dan bisa dilaporkan kepada pemerintah jika sewaktu-waktu terjadi perusakan hutan yang parah dan berdampak ke sungai.
Pemerintah kabupaten sudah meminta perusahaan pertambangan dan perkebunan untuk turut serta dalam memulihkan dan menjaga kualitas sungai. Achmad mengatakan, sejumlah perusahaan sudah melakukan upaya pengelolaan limbah dengan baik. Beberapa juga sudah melakukan reboisasi di sempadan sungai.
Baca juga: Hutan Mangrove Teluk Balikpapan yang Rentan Alih Fungsi
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F12%2F03%2F667a430c-560f-4ffd-bb12-ee7567e3bf94_jpg.jpg)
Material recovery facility (MRF), fasilitas pemilahan sampah non-organik, ini dimiliki Pemkot Balikpapan, Kaltim. Minimal 100 kg sampah plastik dipilah dan dikelola di sini.
Sejumlah perusahaan juga didorong membuat program tanggung jawab sosial dalam pengurangan sampah. Beberapa bank sampah dikelola masyarakat dengan pembiayaan dan pendampingan dari perusahaan sawit dan tambang. ”Tetapi, ada juga pelaku usaha yang cuek dan tidak perhatian ke masyarakat,” kata Achmad.
Ia mengatakan, pemantauan terhadap kualitas air sungai di Kabupaten Paser akan terus ditingkatkan. Khususnya terhadap perusahaan yang membuka lahan secara luas. Sejalan dengan itu, pihaknya menggandeng masyarakat untuk mengurangi sampah plastik yang dibuang ke sungai.
Yang sangat sensitif, misalnya anak kunang-kunang dan anak capung. Mereka sekitar 80 persen siklus hidupnya di air dan tak bisa hidup kalau air sungainya cemar.
Saat DLH Kabupaten Paser dan tim Ekspedisi Sungai Nusantara memeriksa air Sungai Kandilo, beberapa waktu lalu, terdapat kandungan mikroplastik. Hal itu diperkirakan berasal dari aktivitas manusia di daratan, seperti mencuci baju yang terdapat kandungan plastiknya.

Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Paser dan tim Ekspedisi Sungai Nusantara menemukan sampah plastik di sekitar aliran Sungai Kandilo, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, Senin (19/9/2022).
Potensi bahaya mikroplastik pada kesehatan manusia adalah memicu pertumbuhan tumor, penghambat sistem imun, dan mengganggu sistem reproduksi. Adapun bagi ikan dapat merusak organ pencernaan jika dikonsumsi dalam jumlah banyak. Sampah plastik yang dibuang ke sungai juga menjadi masalah di sungai Kabupaten Paser.
”Kita bisa minimalkan dengan memasang jaring di saluran yang bermuara ke sungai sehingga sampah plastik bisa terperangkap di jaring. Setelahnya, sampah-sampah itu bisa diambil oleh petugas kebersihan,” ujar Achmad.
Melihat permasalahan di Kabupaten Paser ini, agaknya orang-orang berpendidikan dan kaya yang menguasai tanah luas untuk perkebunan dan pertambangan itu perlu belajar dari masyarakat adat Mului. Suku yang hidup terpencil di kaki Gunung Lumut, Kabupaten Paser, itu menanami kembali hutan mereka yang pernah dikuasai perusahaan kayu. Salah satu tujuannya untuk mencegah tanah di daratan larut ke sungai.
Bahkan, saat berpindah kampung, mereka menanam sejumlah pohon untuk menghijaukan kembali kampung lama dari bibit tumbuhan sekitar. Saat Kompas berkunjung ke Mului pada Maret 2021, kampung lama itu sudah rindang. Beberapa pohon menggeris sudah menjulang lebih dari 10 meter dan menjadi sarang lebah yang siap dipanen warga.