Alarm Darurat Kekerasan Antarsiswa di Kota ”Delta” Sidoarjo
Dunia pendidikan di Sidoarjo diwarnai rentetan kasus kekerasan antarsiswa yang berujung pada hilangnya nyawa. Mitigasi secara komprehensif diperlukan demi melindungi generasi kini dan nanti.
Dunia pendidikan formal ataupun informal di Sidoarjo, Jawa Timur, belakangan ini diwarnai rentetan kasus kekerasan antarsiswa yang berujung pada hilangnya nyawa. Mitigasi secara komprehensif diperlukan demi melindungi generasi kini dan nanti, serta menumbuhsuburkan sikap toleransi terhadap sesama.
Kepolisian Resor Kota Sidoarjo, Jawa Timur, menetapkan tiga siswa Sekolah Boarding Insan Cendekia Mandiri (JCM) sebagai pelaku kekerasan terhadap MTF (17). Mereka adalah MM (18), SJ (17), dan MK (17). Baik korban maupun pelaku merupakan siswa di sekolah yang sama.
Kepala Polresta Sidoarjo Komisaris Besar Kusumo Wahyu Bintoro mengatakan, ketiga pelaku diduga telah melakukan tindak pidana kekerasan yang menyebabkan korban MTF meninggal pada Selasa (13/9/2022). Korban meninggal saat dirawat di RSUD Sidoarjo.
”Dari RSUD, kami dapat laporan, kemudian langsung mendatangi sekolah,” ujar Kusumo kepada wartawan, Selasa (19/9/2022).
Baca Juga: Tersangka Kekerasan Seksual Santri di Jombang Segera Disidangkan
Berdasarkan hasil penyidikan sementara, para pelaku melakukan kekerasan terhadap korban karena diduga MTF sering mengambil barang milik siswa penghuni asrama. Pelaku menyuruh korban mengakui perbuatannya, tetapi tidak mau.
Sehari sebelum korban meninggal, yakni Senin (12/9) malam, pelaku menekan korban agar mengakui perbuatannya. Korban dibawa ke lantai tiga koridor asrama yang sedang direnovasi. Di tempat itulah, korban diduga dikeroyok hingga sakit dan dilarikan ke RSUD Sidoarjo.
Berdasarkan hasil olah tempat terjadinya perkara, penyidik tidak menemukan penjagaan atau pengawasan dari pengelola terhadap siswa penghuni asrama. Selain itu, kamera pengawas juga tidak berfungsi dengan baik. Penyidik pun berencana memeriksa pihak sekolah karena diduga lalai dalam mengawasi siswanya.
Belum lagi tuntas penanganan kekerasan di sekolah berasrama, Polresta Sidoarjo kembali menerima laporan dugaan kekerasan dari orangtua siswa salah satu perguruan silat. Dedik Hainul Akbar (43), orangtua AR (17), mendatangi Polresta Sidoarjo setelah anaknya meninggal saat dirawat di RSUD Sidoarjo.
Dedik menduga anaknya telah menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh seniornya di sebuah perguruan silat. Korban tiga bulan bergabung dalam perguruan silat tersebut. Pada Minggu (11/9) pagi, AR pamit kepada orantuanya mengikuti ujian kenaikan tingkat.
Baca Juga: Wapres Minta Kasus Kekerasan di Gontor Segera Ditangani
Sorenya, Dedik diberi tahu anaknya dirawat di RSUD Sidoarjo karena pingsan saat ujian kenaikan tingkat tersebut. Namun, dia mendapati anaknya dalam kondisi kritis dan akhirnya meninggal pada pukul 18.00. Dedik merasa ada kejanggalan dalam kematian putranya sehingga melapor ke Polresta Sidoarjo.
Menindaklanjuti laporan tersebut, Polresta Sidoarjo menetapkan empat penguji atau pelatih di perguruan silat tersebut sebagai pelaku. Mereka adalah koordinator kepelatihan di perguruan silat tersebut, EAN (25), beserta penguji kenaikan tingkat, yakni MAS (16), FLL (19), dan MRS (18).
”Pelaku sebagai tim penguji melakukan tindak kekerasan fisik dengan memukul dan menendang korban karena dianggap tidak serius mengikuti ujian kenaikan tingkat,” kata Kusumo.
Berdasarkan hasil pemeriksaan tim dokter, ditemukan luka memar pada wajah dan dada. Selain itu terjadi perdarahan pada perut dan memar di bagian organ hati.
Atas perbuatannya itu, pelaku terancam hukuman 15 tahun penjara. Mereka diduga melakukan kekerasan pada anak hingga mengakibatkan meninggal, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 Ayat (3) juncto 76 C UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak. Selain itu, mereka juga dijerat Pasal 170 Ayat (2) ketiga KUHP.
Selain dua kasus tersebut, masih banyak kasus kekerasan antarsiswa di Sidoarjo. Contohnya, kasus penganiayaan yang menyebabkan meninggalnya MZA (15), salah satu santri di sebuah pesantren di Kecamatan Tanggulangin pada Oktober 2021. Kasus ini belum tertangani dengan baik meski sudah hampir setahun.
Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Sidoarjo Aditya Rakatama mengatakan, sampai saat ini kasus kekerasan terhadap santri tersebut masih berada di tangan penyidik Polresta Sidoarjo. Kasusnya belum dilimpahkan ke penyidik kejaksaan sehingga belum bisa diajukan ke pengadilan.
”Dalam kasus penganiayaan terhadap santri tersebut, total terdapat 21 tersangka. Dari jumlah tersebut, sebanyak 20 tersangka merupakan anak-anak atau berusia di bawah 17 tahun. Hanya satu tersangka dewasa,” ucap Rakatama.
Raka mengatakan pihak kepolisian masih berupaya melengkapi berkas penyidikan, terutama terkait dengan pemeriksaan tersangka dan pengumpulan alat bukti. Dia berharap penyidikan segera tuntas dan segera disidangkan agar ada kepastian hukum di masyarakat.
Penyebab tingginya kekerasan terhadap anak dan perempuan di Sidoarjo beragam. Di antaranya masalah ekonomi, pengaruh negatif media sosial, hingga kurangnya kesadaran masyarakat untuk segera melapor saat menemukan kejadian atau bahkan mengalami kekerasan.
Kasus kekerasan di pesantren tersebut terjadi pada 11 Oktober 2021. Puluhan santri mengeroyok lima santri sehingga mereka mengalami luka-luka dan salah satu di antaranya meninggal. Pengeroyokan itu dipicu kasus pencurian uang yang diduga dilakukan oleh korban.
Intoleransi
Rentetan kasus kekerasan antarsiswa itu sejatinya hanya sebagian kecil dari kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan yang terjadi di Kota Delta, julukan Sidoarjo, karena berada di delta Sungai Brantas. Data Polresta Sidoarjo menyebutkan, sampai Agustus 2022, tercatat 77 kasus, sebanyak 24 kasus di antaranya kekerasan fisik.
Selain itu, 26 kasus kekerasan dalam rumah tangga, 4 kasus penelantaran anak, dan 23 kasus persetubuhan atau pencabulan. Selama 2021, kekerasan terhadap anak dan perempuan di Sidoarjo bahkan mencapai 123 kasus, sebanyak 25 kasus di antaranya kekerasan fisik. Selain itu, 43 KDRT, 10 penelantaran anak, dan 45 kasus persetubuhan atau pencabulan.
Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali mengatakan, penyebab tingginya kekerasan terhadap anak dan perempuan di wilayahnya beragam. Di antaranya masalah ekonomi, pengaruh negatif media sosial, hingga kurangnya kesadaran masyarakat untuk segera melapor saat menemukan kejadian atau bahkan mengalami kekerasan.
”Menyikapi fenomena tersebut, Pemkab Sidoarjo telah menyediakan pusat pelaporan 112. Selain itu, membentuk Satuan Tugas Perlindungan Perempuan dan Anak (Satgas PPA),” kata Muhdlor.
Satgas PPA ini menyinergikan berbagai institusi terkait, seperti kepolisian, dinas pemberdayaan perempuan dan anak, dinas sosial, dinkes, RSUD, Balai Pemasyarakatan, Pengadilan Agama Sidoarjo, Pengadilan Negeri Sidoarjo, dan Kejaksaan Negeri Sidoarjo.
Satgas ini tidak hanya turun tangan saat ada kejadian. Mereka juga melakukan upaya preventif untuk mencegah kekerasan. Caranya, menggelar sosialisasi langsung ke masyarakat di desa-desa dan lembaga pendidikan termasuk sekolah.
Toleransi merupakan budaya warisan nenek moyang yang bernilai tinggi. Oleh karena itulah, sikap toleran harus terus ditanamkan sejak dini kepada generasi muda agar mereka tidak mudah menghina atau membuli hanya karena hal kecil. Apalagi sampai melakukan kekerasan.
Upaya mencegah kekerasan terutama di lingkungan pendidikan juga dilakukan oleh komunitas. Salah satunya Komunitas Seni Budaya Brangwetan yang rutin menggelar kampanye toleransi di sejumlah sekolah menengah pertama dan menengah atas di Sidoarjo.
Ketua Komunitas Seni Budaya Brangwetan Hendri Nurcahyo mengatakan, kekerasan yang terjadi antarsiswa merupakan salah satu wujud dari sikap intoleransi. Sikap tersebut berkebalikan dari toleransi yang mengedepankan saling menghargai dalam keberagaman, menjunjung tinggi rasa persaudaraan, dan mengedepankan musyawarah dalam menyelesaikan persoalan.
“Toleransi merupakan budaya warisan nenek moyang yang bernilai tinggi. Oleh karena itulah, sikap toleran harus terus ditanamkan sejak dini kepada generasi muda agar mereka tidak mudah menghina atau membuli hanya karena hal kecil. Apalagi sampai melakukan kekerasan,” ucap Hendri.
Mencegah kekerasan terhadap anak, baik di lingkungan pendidikan, keluarga, maupun di masyarakat, sudah sepatutnya menjadi tugas bersama. Pekerjaan berat ini juga butuh komitmen tinggi di berbagai lini, termasuk konsistensi pada proses penegakan hukum agar masyarakat mendapatkan kepastian dalam memperoleh keadilan.
Baca Juga: Kekerasan Masih Membayangi Anak-anak