Dilema Memilih Air Bersih Terbaik di Cekungan Bandung
Polemik BPA pada kemasan air galon membuka peliknya penyediaan air bersih di Kota Bandung. Kondisi ini butuh solusi agar dampaknya tidak memicu beragam kerentanan di kemudian hari.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA, CORNELIUS HELMY HERLAMBANG
·5 menit baca
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Warga di Kelurahan Andir, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, membawa panci, galon air, dan penanak nasi untuk mengungsi, Selasa (28/1/2020). Meskipun banjir akibat luapan Sungai Citarum dan anak sungainya berangsur surut, lebih dari 1.000 warga di Kecamatan Baleendah, Dayeuhkolot, dan Bojongsoang masih mengungsi.
Potensi munculnya Bisphenol A dalam air galon menguak sulitnya mendapat air bersih bagi warga perkotaan, termasuk di Kota Bandung, Jawa Barat. Keterbatasan pilihan itu membuat hidup warga dibayangi berbagai kerentanan saat ini dan nanti.
Setiaji (31), warga Gedebage, Kota Bandung, galau. Kabar munculnya Bisphenol A (BPA) dalam kemasan galon air minum membuatnya cemas. BPA merupakan bahan yang sering digunakan dalam produksi plastik polikarbonat dan resin epoksi. Bahan kimia ini yang digunakan sebagai pengeras plastik untuk air minum dalam kemasan galon.
Padahal, sudah sejak lama dia bergantung pada air galon. Setiap bulan, Aji menghabiskan lima galon air mineral. Harganya Rp 20.000 per galon. Kebutuhan terbesar untuk minum dan memasak bagi enam anggota keluarganya.
Cara mendapatannya relatif mudah. Pemesanan cukup dilakukan lewat telepon dan langsung diantar penjual menggunakan sepeda motor. Meski muncul risiko galon terbentur dan terpapar matahari dalam perjalanan, Setiaji menganggapnya bukan persoalan besar. Terpenting ia bisa segera mengonsumsinya.
”Dulu saya anggap biasa. Namun, setelah ada kabar proses itu memicu munculnya BPA, khawatir juga meski dampaknya belum bisa saya buktikan sendiri,” katanya di Bandung, Senin (19/9/2022).
Cari alternatif
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Perbukitan di Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, terlihat gundul, Senin (25/11/2019). Rusaknya kawasan Bandung utara yang berfungsi menjadi daerah resapan air rentan memicu banjir di Kota Bandung dan sekitarnya saat musim hujan.
Dari literatur yang ia dapatkan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan kandungan BPA dalam air minum kemasan polikarbonat melebihi ambang batas 0,6 bagian per sejuta (ppm) per liter pada periode 2021-2022 di sejumlah daerah. Lokasinya di Bandung, Jakarta, Medan, Manado, Banda Aceh, dan Aceh Tenggara.
Proses pascaproduksi, seperti transportasi dan penyimpanan galon dari pabrik menuju konsumen melalui berbagai media dan ruang yang tidak sesuai prosedur, diduga bisa memicu kandungan BPA dalam kemasan galon polikarbonat bermigrasi dalam air. Contohnya, saat galon terbanting atau terpapar matahari langsung.
Dampaknya tidak ringan. BPA rentan mengganggu sistem reproduksi, diabetes, obesitas, kanker serta kesehatan mental. Ke depan, kerentanan masyarakat bisa jadi tetap tinggi. BPOM menyebut baru 20,69 persen warga dari total penduduk Indonesia sekitar 272 juta yang sudah mendapat akses perpipaan air bersih pada tahun 2021. Dengan begitu, air galon masih menjadi andalan.
Kota-kota di negara maju, seperti Jepang dan Jerman, cakupan air pipa juga tidak 100 persen. Namun, prioritasnya tetap bisa diberikan pada daerah padat penduduk. (Sri Maryati)
Akan tetapi, warga yang mendapat jaringan perpipaan air bersih tidak lantas membuat semua menjadi lebih praktis. Bagi Setiaji, misalnya, pindah ke lain hati bukan perkara mudah.
Selama ini ia tidak pernah mengandalkan air pipa untuk minum. Dia kerap mencium bau karat. Saat musim hujan, ia kerap menemukan airnya keruh, seperti bercampur tanah.
”Selama belum ada alternatif lain, saya sepertinya masih akan pakai air galon, minimal dari merek tepercaya. Sejauh ini, lebih khawatir kalau anak saya minum dari air pipa,” katanya.
Bencana baru
PAPARAN BPOM MEDAN
Peta sebaran kontaminasi bisphenol-A dari kemasan air minum galon ke dalam air minum.
Dekan di Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung Sri Maryati menyebut, air bersih menjadi poin penting membangun daerah.
Untuk kota besar, ia menyebut, kebutuhan itu idealnya dipenuhi lewat air pipa. Alasannya, air tanah di perkotaan yang padat penduduk sulit diandalkan karena mudah tercemar limbah rumah tangga.
”Pipa air bersih sangat dibutuhkan, terutama bagi daerah dengan kepadatan 200-400 jiwa per hektar,” kata Sri. Untuk kota sekelas Bandung, kepadatan penduduknya tercatat 155 jiwa per hektar.
Apalagi, berdasarkan catatan Kompas, terus mengeksploitasi air tanah di Kota Bandung juga bukan langkah bijaksana. Selain memakan biaya tinggi karena harus mencarinya hingga belasan meter, eksploitasi air tanah juga rentan memicu penurunan tanah.
Pada 2019, Badan Geologi menyebutkan, sebagian kawasan cekungan Bandung memiliki potensi penurunan muka tanah dengan laju 15-20 sentimeter per tahun.
Daerah itu berada di Kecamatan Dayeuhkolot, Majalaya, Banjaran, dan Kecamatan Rancaekek di Kabupaten Bandung serta Kota Cimahi. Sementara penurunan muka tanah 5-10 sentimeter per tahun terjadi di Kecamatan Gedebage (Kota Bandung) serta Kecamatan Banjaran dan Rancaekek (Kabupaten Bandung).
Setiap tahun, laju penurunan tanah bisa jadi terus terjadi. Kondisi itu dapat membuat Bandung mudah dihadang bencana alam, mulai dari banjir hingga gerakan tanah. Saat itu tiba, air bersih jelas mustahil mudah didapatkan.
Biaya tinggi
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
Seorang petugas Dinas Pekerjaan Umum Kota Bandung menggunakan jaring untuk mengangkut sampah dari saluran air di Jalan Raya Kopo, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (3/11/2021).
Akan tetapi, Sri mengakui, pemenuhan jaringan pipa air bersih tidak mudah atau tidak murah. Kontur Kota Bandung yang berada dalam cekungan bisa jadi contoh nyata.
Kondisi itu membuat sebagian warga tinggal di tempat yang lebih tinggi dibandingkan dengan lainnya. Semua berpengaruh pada biaya instalasi, sambungan, hingga biaya operasional.
”Kota-kota di negara maju, seperti Jepang dan Jerman, cakupan air pipa juga tidak 100 persen. Namun, prioritasnya tetap bisa diberikan pada daerah padat penduduk,” ujarnya.
Direktur Utama Perusahaan Umum Daerah Tirtawening Kota Bandung Sonny Salimi memaparkan tingginya biaya pemasangan jaringan pipa air bersih itu. Di Kota Bandung saja dibutuhkan biaya hampir Rp 6 triliun. Jumlah itu nyaris setara APBD Kota Bandung di tahun 2022 sebesar Rp 6,6 triliun.
Dengan menghitung jumlah penduduk sekitar 2,5 juta orang, Sonny mengatakan, idealnya ada 500.000 pelanggan di Kota Bandung. Rasionya, satu pelanggan bisa terdiri atas lima jiwa. Baru melayani 170.000 pelanggan, masih ada 330.000 calon pelanggan lagi yang perlu mendapatkan perlakuan serupa.
”Hal paling vital adalah penyediaan infrastruktur, mulai dari instalasi pengolahan air hingga saluran perpipaan hingga ke rumah pelanggan. Itu tidak murah,” ucapnya.
Berbagai penyakit hingga kimia berbahaya bisa muncul jika distribusi air bersih tidak diawasi. ( Irvan Afriandi)
Sonny menjelaskan, investasi untuk instalasi pengolahan air minum mencapai Rp 250 juta per liter per detik atau setara dengan 80 pelanggan. Jika ingin memenuhi 330.000 pelanggan, butuh Rp 1 triliun untuk pengolahan saja.
Selanjutnya, apabila biaya sambungan pipa mencapai Rp 15 juta per pelanggan. Jika dihitung jumlah pelanggan yang belum diakses, Kota Bandung butuh setidaknya Rp 4,9 triliun.
”Ini hanya hitung-hitungan kasar, belum lagi biaya pengelolaan. Dengan biaya sebesar itu, kami tidak mungkin bisa memenuhinya sendirian. Butuh dukungan dari berbagai pihak,” paparnya.
Pakar kesehatan masyarakat dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Irvan Afriandi, menyebut, apa pun alasannya, kuantitas ataupun kualitas air bersih adalah hak dasar manusia. Semua mutlak dipenuhi.
”Berbagai penyakit hingga kimia berbahaya bisa muncul jika distribusi air bersih tidak diawasi,” ujarnya.
Oleh karena itu, Irvan mengatakan, semua pihak perlu menjaga kebersihan dan keamanan sumber air. Apabila sejak awal mengandung bahan kimia berbahaya, ujungnya bakal tetap seperti itu.
Kondisi ini rentan membuat warga terjebak. Bertahan dengan air galon berpotensi tidak lagi menjamin kesehatan. Menggantungkan pada minimnya air pipa juga bukan solusi. Kondisinya kian runyam jika memaksa menggali air tanah yang semakin menipis.
Apabila sudah begini, stigma air bersih sulit didapatkan warga di pedalaman sepertinya tidak tepat lagi. Bahkan, bagi orang kota, mengonsumsi air bersih yang benar-benar terjamin kualitasnya pun tidak mudah didapatkan begitu saja.