Dialog Damai Harus Terus Dihidupkan untuk Menyelesaikan Akar Konflik Papua
Dialog harus terus dihidupkan dan diwujudkan sebagai ruang untuk menyelesaikan lebih mendalam masalah Papua. Dialog menjadi pintu masuk untuk mendalami konflik dan menemukan solusi terbaik.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·4 menit baca
PALU, KOMPAS — Dialog antara pemerintah pusat serta pemerintah daerah dengan berbagai elemen masyarakat di Papua harus terus dihidupkan dan diwujudkan sebagai ruang untuk memahami lebih dalam akar masalah di Papua. Hal itu agar konflik di Tanah Papua dapat segera diselesaikan sehingga terwujudlah perdamaian.
Demikian intisari pemaparan antropolog Universitas Papua, Monokwari, Papua Barat, I Ngurah Suryawan, dalam webinar bertema ”Pastor Neles Tebay dan Dialog Papua Tanah Damai”, Minggu (18/9/2022) malam, yang diikuti Kompas dari Palu, Sulawesi Tengah. Webinar tersebut diselenggarakan Lembaga Justice, Peace, and Integraty of Creation (JPIC) Ordo Fratrum Minorum (OFM) Indonesia.
Pastor Neles Tebay adalah rohaniwan dan aktivis yang aktif memperjuangkan dialog damai Jakarta-Papua untuk menyelesaikan konflik kekerasan di Papua. Dia meninggal pada 2019 dan merupakan pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) Fajar Timur, Jayapura. Bersama Ketua Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang sekarang bernama Badan Riset Nasional/BRIN) Muridan S Widjojo (alm), ia mendirikan Jaringan Damai Papua. Lembaga sosial itu mempromosikan dialog damai untuk penyelesaian lebih komprehensif masalah Papua.
Selain mendirikan jaringan tersebut, Pastor Neles Tebay juga banyak memublikasi artkel dan buku yang berintikan pemahaman terkait masalah Papua dan jalan keluarnya melalui dialog dengan berbagai pihak. Salah satu artikel yang dirujuk oleh Ngurah dalam webinar adalah ”Transformasi Konflik Papua” yang dimuat di Jurnal Limen, jurnal Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Fajar Timur, Jayapura.
Memudar
Ngurah menyatakan, wacana dialog damai Papua sebagaimana dipromosikan Pastor Neles Tebay hilang atau menemui jalan sunyi di tengah tak terputusnya mata rantai kekerasan. Wacana itu hilang di tengah berbagai bentuk kekerasan, baik yang dilakukan TNI/Polri maupun Organisasi Papua Merdeka (OPM/kelompok kriminal bersenjata/KKB) yang tak hanya memakan korban di antara mereka, tetapi juga warga sipil.
Dialog juga memudar di tengah masih terus adanya rasisme terhadap orang Papua, gegap gempita pemekaran provinsi yang tak didahului konsultasi publik, dan masuknya investasi yang merampas ruang hidup masyarakat Papua.
Ngurah menyampaikan, sebagaimana diimpikan Pastor Neles Tebay, dialog harus terus dihidupkan dan diwujudkan sebagai ruang untuk menyelesaikan lebih mendalam masalah Papua. Dialog menjadi pintu masuk untuk mendalami konflik dan menemukan solusi terbaik.
Dialog juga membuka tabir pola berbagai relasi yang terjadi dalam masyarakat Papua sehingga solusi yang muncul betul-betul menyelesaikan akar masalah atau metransformasi konflik yang ada. “Dialog bukan solusi, tetapi dengan dialog semua pihak mendalami konflik, mempelajarinya, dan mencari solusi,” katanya.
Menurut dia, konflik Papua langgeng karena berbagai pihak melihatnya secara artifisial. Ia mencontohkan masalah ketertinggalan pembangunan di Papua. Pemerintah mencarikan solusinya dengan pembangunan masif di daerah atau kantong investasi. Hal itu berdampak pada pola relasi sosial dan kultural yang timpang di Papua. Pola relasi tersebut harusnya diperhitungkan dalam menyelesaikan masalah Papua.
Mewujudkan perdamaian di Papua harus menghimpun sebanyak mungkin orang.
Ngurah meyakini dialog damai tak serta-merta membuka jalan untuk Papua merdeka. Dialog medium untuk membicarakan hal-hal esensial tentang Papua, termasuk pengakuan adanya konflik di Papua dan solusi untuk menyelesaikannya. ”Pater Neles tak membayangkan soal merdeka setelah dialog tersebut. Saya kira langkah maju kalau kita melakukan dialog ini,” ujarnya.
Agar dialog Jakarta-Papua terselenggara dengan baik, lanjut Ngurah, semua pihak harus mengakui adanya konflik di Papua. Ia bahkan menyebutnya ”perang rahasia”.
Bentuk konflik di Papua yang harus diakui antara lain penembakan oleh aparat TNI/Polri atau KKB atau keduanya terhadap masyarakat sipil; adanya tuntutan pembebasan; pengibaran bendera Bintang Kejora; tuntutan referendum, dan kecurigaan antarorang Papua dengan non-Papua dan dengan pemerintah daerah.
Ngurah menegaskan, semua pihak harus memaksa pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk memikirkan dialog meskipun hal itu sulit diwujudkan karena banyaknya kepentingan politik-ekonomi dan sikap yang apriori terhadap masyarakat Papua. Legasi Pastor Neles Tebay adalah imajinasinya tentang Papua Tanah Damai melalui dialog. ”Gagasan ini harus tetap dihidupkan dan diwujudkan,” katanya.
Pengajar pada STFT Timur Jayapura yang hadir dalam webinar, Pastor Daniel W Gobai, menyatakan, Pastor Neles Tebay berikhtiar kuat untuk memutus mata rantai konflik di tanah Papua. Konflik tersebut seperti tembok yang memisahkan orang Papua dengan orang Papua, Papua dengan non-Papua, dan OPM dengan TNI/Polri. Pastor Neles semata memperjuangkan perdamaian dengan jalan dialog.
Untuk mewujudkan dialog menuju perdamaian itu, lanjut Daniel, ada sejumlah aktor yang terlibat, yakni pemerintah pusat dan pemerintah daerah, TNI/Polri, OPM, perusahaan baik nasional maupun global yang beroperasi di Papua, orang Papua dan non-Papua yang tinggal di Papua, serta diplomat Papua di luar negeri. ”Mewujudkan perdamaian di Papua harus menghimpun sebanyak mungkin orang,” katanya.