Dugaan Korupsi Pembangunan Puskesmas Bungku dan Perbedaan Audit Dua Lembaga
Penyidik menggunakan pendapat lembaga tak berwenang menyatakan kerugian negara untuk menjerat tujuh warga di Batanghari menjadi tersangka.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
Ada dua perbedaan mencolok dalam hasil audit dua lembaga negara terkait dengan pembangunan Puskesmas Bungku di Kabupaten Batanghari, Jambi, tahun 2020. Salah satu hasil audit berbuntut penetapan tujuh tersangka. Tanda tanya menggelayut di balik penanganan kasus ini.
Puskesmas Bungku di Kabupaten Batanghari digadang-gadang menjadi layanan medis 24 jam. Layanan ini strategis untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di sekitar pedalaman Jambi.
Lewat Dana Alokasi Khusus Tahun 2020, gedung puskesmas dibangun dengan anggaran Rp 7,2 miliar. Proyeknya ditargetkan memakan waktu 150 hari kerja, berakhir pada 14 Desember 2020.
Pengerjaan proyek itu sempat tersendat. Hingga 17 Desember 2020, penyelesaiannya baru mencapai 83 persen. Proyek pun dikebut.
Melihat keterlambatan pembangunan itulah, penyidik Kepolisian Resor Batanghari mulai menelusuri. Belakangan, penanganan kasus diambil alih oleh Kepolisian Daerah Jambi.
Di sini ada dua versi penilaian terkait dengan pembangunan Puskesmas Bungku. Versi pertama, tim penyidik yang menangani kasus tersebut menyimpulkan hingga 28 Desember, progres pengerjaan baru mencapai 88,76 persen. Namun, dilakukan serah terima kepada pengguna meskipun sebenarnya belum selesai.
Versi kedua, setelah proyek diketahui belum selesai, pelaksana diberi kesempatan menyelesaikannya. Mereka pun kena sanksi denda sesuai dengan klausul kontrak. Pekerjaan selesai 100 persen pada 28 Desember.
Puskesmas itu akhirnya resmi beroperasi, 13 Juli 2021. Hingga kini, gedung puskesmas masih beroperasi dengan baik. Beberapa kali telah dilangsungkan pelayanan vaksinasi massal di sana. Pemerintah juga telah mengeluarkan sertifikat laik pakai pada gedung tersebut.
Namun, Direktur Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Jambi Komisaris Besar Christian Tory mengatakan, ada dugaan korupsi yang menyebabkan kerugian negara senilai Rp 6,3 miliar dari total nilai proyek sebesar Rp 7,2 miliar itu. Angkanya diperoleh dari penilaian ahli konstruksi ITB dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Jambi. Ahli berkesimpulan terjadi gagal konstruksi sehingga bangunan tidak bisa digunakan.
Atas dasar itulah, tujuh orang ditetapkan tersangka. Salah satu, di antaranya, adalah Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Batanghari Elfie Yenni. Selain itu, ada enam orang lainnya yang merupakan pelaksana proyek dan konsultan.
Kejanggalan
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Jambi, Usman, mengkritik adanya kejanggalan di balik kasus tersebut. Ia menyebut dua audit lembaga negara memaparkan hasil berbeda. Namun, mengapa audit BPKP yang dipakai untuk menyatakan adanya kerugian negara?
Padahal, berdasarkan hukum, tugas BPKP hanya menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan keuangan negara atau daerah dan pembangunan nasional, tetapi tidak berwenang menyatakan ada atau tidaknya kerugian negara.
”Untuk kewenangan menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah BPK. Itu mengacu pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016. Instansi seperti BPKP atau inspektorat berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan negara, tetapi tidak berwenang menyatakan adanya kerugian keuangan negara,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia sertakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Pada Pasal 10 disebutkan bahwa BPK menilai dan atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai, yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.
Terkait dengan hasil audit pembangunan Puskesmas Bungku, lanjut Usman, BPK tidak menyebutkan adanya kerugian negara. BPK menyebut ada kelebihan bayar. Nilainya sebesar Rp 260 juta.
Penekanan itu disampaikan Usman untuk mengingatkan aparat penegak hukum agar jangan salah menerapkan hukum. Penjelasan ini sekaligus untuk menunjukkan betapa pentingnya kepastian hukum bagi masyarakat. Jangan sampai ada warga tercederai karena kesalahan menerapkan hukum.
Berdasarkan hukum pula, disebutkan bahwa jika ada perbedaan hasil audit antara BPK dan BPKP, menurt dia, hasil audit BPK-lah yang harus digunakan.
Jika terjadi kelebihan bayar dalam sebuah proyek, lanjut Usman, dapat selesai dengan pengembalian dana. Kelebihan bayar itu pun telah direspons. Dari laporan Inspektorat Kabupaten Batanghari, sudah ada pengembalian sebesar Rp 260 juta dari pelaksana pembangunan ke kas negara.
”Setelah kelebihan bayar dikembalikan, maka tidak ada lagi kerugian keuangan negara,” katanya.
Sementara dugaan total loss hasil audit BPKP tidak dapat digunakan sebagai dasar penentuan kerugian keuangan negara dan proses hukum tindak pidana korupsi. Jika tetap digunakan, sama saja bertentangan dengan peraturan pemerintah tentang ganti kerugian.
Kepala Dinkes Batanghari Elfie Yenni mengatakan, pembangunan puskesmas itu selesai dan mulai dimanfaatkan untuk melayani publik sejak 13 Juli 2021. Ia menyebut, gedung itu lolos uji teknis kelaikan fungsi bangunan gedung.
”Gedung sudah difungsikan sebagai sarana pelayanan kesehatan selama setahun lebih dan kondisinya baik hingga kini,” katanya.
Kepala Kepolisian Resor Batanghari Ajun Komisaris Besar Hasan mengatakan, kasus itu telah diambil alih Polda Jambi. Kasus itu awalnya ditangani pihaknya mulai Oktober 2021. Namun, sudah tujuh kali berita acara pemeriksaan dari penyidik polres dikembalikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Batanghari karena dinilai buktinya belum lengkap.
Pada pekan ini, kata Tory, berkas pada lima tersangka sudah dinyatakan lengkap. Menyusul dua tersangka lainnya masih berproses.