Korban Berjatuhan, Sebagian Warga Flores-Lembata Masih Terpenjara Rabies
Rabies pada anjing di Flores-Lembata masih terjadi. Seorang warga Flores Timur tewas setelah digigit anjing rabies.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
Luka bekas gigitan anjing milik tetangga di kaki Agus Kelen (65) itu tidak besar. Bentuknya seperti tusukan gigi anjing biasa. Awalnya, dampaknya tidak terasa. Namun, tiga bulan kemudian atau Kamis (15/9/2022), semuanya berujung duka. Warga Desa Blepanawa, Kecamatan Demon Pagong, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, itu meninggal. Anjing yang mengigitnya diduga kuat menderita rabies. Di era yang kian modern ini, ironi kematian akibat rabies masih terus terjadi.
Agus sempat memeriksakan diri ke RSUD dr Hendrikus Fernandez Larantuka pada 13 September. Keluhannya, dia mendadak takut air (hydrophobia) dan takut udara (aerophobia). Saat ditanya apakah pernah pernah digigit anjing, Agus membenarkannya. Dia digigit anjing sekitar tiga bulan sebelumnya.
Sekretaris Forum PenanggulanganRabies Flores-Lembata Asep Purnama di Maumere, Jumat (16/9/2022), mengatakan, takut air dan udara itu adalah gejala khas rabies. Fase itu adalah masa berbahaya bagi orang yang tertular rabies.
Hingga kini, belum ada obat atau cara mengobatinya. Oleh karena itu, mitigasi seperti membasuh luka dengan air mengalir hingga membawa ke pusat kesehatan terdekat untuk vaksin antirabies setelah tergigit menjadi langkah yang harus secepatnya dilakukan.
”Sangat disayangkan kematian akibat rabies masih terjadi. Padahal, tata laksana setelah gigitan anjing sudah sering disampaikan,” kata Purnama.
Rabies menjadi hantu menakutkan di Flores-Lembata. Ratusan nyawa melayang sejak pendataan dilakukan tahun 1976. Setiap tahun 5-30 orang tergigit anjing rabies. Meski kini relatif berkurang, selama Januari-September 2022, total empat warga Flores Timur meninggal akibat gigitan anjing.
Jumlahnya berpotensi lebih tinggi karena berpotensi ada kasus yang tidak dilaporkan. Kasus di daerah terpencil di Flores Timur, misalnya, sulit terdeteksi. Pos kesehatan hewan tidak selalu ada di setiap kecamatan.
Salah satu kasus yang menghanguskan masa depan, misalnya, menimpa Angela Perada, warga Lamika, Demon Pagong, Flores Timur, dua bulan lalu. Siswa SD berusia delapan tahun ini tidak lama hidup di dunia. Dia tewas setelah lima hari sebelumnya tiga kali digigit anjing rabies saat hendak pergi ke sekolah. Seperti Agus, dia tidak segera dibawa ke pusat kesehatan.
Sejauh ini belum ada data valid terkait jumlah anjing di Flores-Lembata. Namun, diperkirakan ada 450.000-500.000 ekor di sembilan daerah di dua kawasan itu. Setiap kabupaten memiliki rata-rata 50.000 anjing per tahun. Setiap tahun populasi relatif tetap sama meski terjadi kelahiran sekitar 5.000 anjing per tahun. Hal itu terjadi karena kematian akibat penyakit dan disembelih sebagai menu makan.
Koordinator Jaringan Lembaga Swadaya Masyarakat Flores Timur Markus Tonu Wujo sangat menyayangkan masih ada kasus rabies di Flores-Lembata. Dia mendesak semua pihak bergerak meminimalkannya. Selain membatasi pemeliharaan dan tidak sembarangan membawa anjing keluar masuk daerah, pengadaan vaksin antirabies juga harus dilakukan.
Menurut dia, salah satu peran yang ditunggu berasal dari pemerintah desa. Penanganan rabies terbuka ikut diselesaikan lewat penggunaan dana desa. Dana desa bisa disisihkan 2-3 persen saja untuk pengadaan vaksin antirabies. Dengan begitu, setiap anjing bisa mendapatkan vaksin sekali setahun. Jika anjing sehat, masyarakat bisa bergerak bebas.
Budaya
Wujo tidak asal bicara. Hanya mengandalkan pemerintah kabupaten dan provinsi tidak cukup. Tahun 2021, Pemkab Sikka, misalnya, mendapat alokasi vaksin 3.500 dosis dari Pemerintah Provinsi NTT. Padahal, populasi anjing diduga 50.000 ekor. Akibatnya, vaksinasi hanya terpusat di Kota Maumere. Tahun anggaran 2022, Pemprov NTT mengalokasikan lagi sekitar 8.000 dosis. Jumlah ini jelas jauh dari kebutuhan ideal.
”Anjing di dua pulau itu hadir sejak nenek moyang sebagai bagian dari budaya setempat. Anjing di Flores-Lembata memberi andil besar dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, sudah seharusnya dirawat dan dicegah kematiannya. Beri pakan yang tepat dan vaksinasi untuk kesehatan anjing itu sendiri, terutama masyarakat di sekitarnya,” kata Wujo.
Tokoh masyarakat Desa Mewet, Kecamatan Wotan Ulumado, Flores Timur, Frans Duli Poli, mengatakan, anjing dipelihara warga turun-temurun. Anjing digunakan untuk menjaga rumah, menemani pemilik berburu hama babi, hingga dijual untuk menambah ekonomi keluarga.
Rabies itu muncul pada anjing ketika anjing tersebut hilang beberapa hari dari rumah atau desa itu. Setelah kembali, tiba-tibaanjing menyerang orang, termasuk tuannya. ”Virus rabies kemungkinan muncul saat anjing itu bergaul dengan anjing rabies desa tetangga,” ujarnya.
Anggota Badan Permusyawaratan Desa Mewet itu pun mendukung wacana dana desa dimanfaatkan untuk pemberantasan rabies di setiap desa di Flores dan Lembata. ”Kami dukung asal kebijakan ini berlaku bagi semua desa,” kata Frans.
Sulit menekan kasus kematian jika masih memandang rabies sebagai isu parsial. Kerelaan semua pihak dibutuhkan untuk menjaga nyawa dan satwa secara bersamaan.