Pengembangan 49 Obyek Wisata Potensial dalam Kawasan Hutan Masih Terkendala
Sebanyak 49 obyek wisata alam yang ada di dalam kawasan hutan di Sumsel akan dikembangkan untuk menggerakkan perekonomian masyarakat. Selama ini, banyak obyek wisata yang tidak tergarap optimal karena beragam kendala.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Sebanyak 49 obyek wisata alam yang ada di dalam kawasan hutan di Sumatera Selatan akan dikembangkan untuk menggerakkan perekonomian masyarakat setempat. Selama ini, banyak obyek wisata yang tidak tergarap optimal karena beragam kendala, mulai dari kurangnya modal hingga promosi.
Hal ini mengemuka dalam diskusi bertajuk Pemanfaatan Hutan Lindung sebagai Investasi Hijau pada Sektor Pariwisata di Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (15/9/2022). Kepala Seksi Pengembangan Hutan Hak Dinas Kehutanan Sumatera Selatan Trisia Ranti Fani mengatakan, dari total 3,4 juta hektar lahan hutan di Sumsel, sekitar 17 persen atau sebesar 577.327 hektar merupakan kawasan hutan lindung.
Namun, dari jumlah tersebut, hanya sekitar 97.485 hektar yang berizin atau untuk dimanfaatkan baik untuk perhutanan sosial maupun Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH). ”Masih banyak yang belum tergali, terutama untuk sektor pariwisata,” ujarnya.
Hal itu disebabkan sudah adanya stigma bahwa kawasan hutan tidak bisa dimanfaatkan. Padahal, berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 8 dan Nomor 9 tahun 2021, pemanfaatan kawasan hutan terbuka tentu dengan sejumlah syarat utamanya izin dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. ”Pemda dalam hal ini hanya sebagai pengawas di lapangan dan juga pemberi rekomendasi,” ucap Trisia.
Ada beberapa hal yang diperhatikan dalam pemanfaatan hutan lindung, seperti tidak mengubah atau menghilangkan fungsi utamanya, tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi.
Dalam proses pembangunan juga tidak boleh menggunakan alat berat serta membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam dan tidak merusak keseimbangan unsur lingkungan.
Berdasarkan hasil identifikasi di 14 Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesatuan Pengelolaan Hutan Kesatuan Pengelolaan Hutan (UPTD KPH), setidaknya ada 49 obyek wisata potensial yang bisa dikembangkan.
Beberapa di antaranya ialah wisata migrasi burung di Taman Nasional Sembilang, air panas Gemuhak di Kabupaten Ogan Komering Ulu, dan Ekowisata Hutan Adat Tebat Benawa Kota Pagar Alam.
Masih banyak yang belum tergali, terutama untuk sektor pariwisata.
Seperti di Hutan Adat Tebat Benawa, di sana ada wisata susur hutan dan adopsi unglen, di mana dengan memberikan donasi Rp 200.000 mereka bisa memberikan nama tanaman unglen dengan nama mereka.
Skema ini menarik minat para wisatawan dalam dan luar negeri, bahkan masuk dalam 100 Desa Wisata yang dicanangkan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Namun, Trisia mengakui, saat ini pengelolaan obyek wisata di kawasan hutan lindung kurang optimal karena berbagai tantangan, yakni kurangnya modal, masih minimnya dukungan dari pemangku kepentingan terkait, dan aksesibilitas yang sulit menuju ke lokasi.
Skema konsorsium
Beragam cara bisa dilakukan, misalnya dengan membina kerja sama dengan investor yang melibatkan badan usaha milik daerah (BUMD) serta kelompok masyarakat setempat, atau dengan melibatkan investor skema konsorsium.
Tujuannya, agar pengelolaan obyek wisata di kawasan hutan bisa berkelanjutan dan meningkatkan taraf perekonomian masyarakat dan pemerintah daerah. ”Dalam waktu dekat diharapkan dapat terbentuk kelompok kerja agar pola kerja sama seperti ini dapat segera terealisasi,” ucap Trisia.
Kepala Bidang Promosi Penanaman Modal Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Sumatera Selatan Rahmat Fitriansyah menyebut potensi wisata di dalam kawasan hutan di Sumsel belum tergarap lantaran belum pernah ditawarkan kepada para investor.
Perlu ada kajian dan analisis lebih lanjut mengenai potensi investasi di dalam kawasan tersebut sehingga menarik minat para investor.
”Kalau perlu ada kajian akademik, termasuk studi kelayakan untuk meyakinkan para investor mengenai peluang investasi tersebut,” ucap Rahmat.
Hanya memang perlu usaha lebih untuk meyakinkan para investor untuk berinvestasi di dalam kawasan hutan karena kejelasan status lahan menjadi satu hal yang menjadi bahan pertimbangan bagi mereka.
”Biasanya investor utamanya penanam modal asing tidak ingin berinvestasi di lahan yang belum jelas statusnya (clen and clear),” ucapnya. Karena itu, Rahmat menyarankan agar pemanfaatan kawasan hutan untuk sektor wisata lebih ditawarkan kepada investor domestik.
Sekretaris Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Sumsel Rima Febrianti menilai, tidak optimalnya obyek wisata di dalam kawasan hutan tidak lepas dari kurangnya kolaborasi dan sinergi antarpihak.
Selama ini tidak ada informasi yang menyeluruh tentang obyek wisata tersebut sehingga promosi yang dilakukan pun kurang gencar. Padahal, beberapa tamunya merupakan investor yang tertarik dengan kekayaan alam di Sumsel.
Kini, peluang wisata alam, terutama di kawasan hutan, menjadi incaran para pelancong dari dalam dan luar negeri. ”Bagi wisatawan Eropa, berwisata di dalam hutan itu menjadi keunikan tersendiri. Inilah yang menjadi nilai jual,” ucap Rima. Karena itu, perlu ada sinergi dan kolaborasi agar promosi obyek wisata di dalam kawasan hutan bisa lebih gencar.