BSU Dinilai Tak Berdampak Signifikan bagi Pekerja di Jatim
Bantuan subsidi upah atau BSU untuk pekerja sebesar Rp 600.000 per orang tak berdampak signifikan bagi kehidupan pekerja dibandingkan dengan dampak kenaikan harga bahan bakar minyak yang menyentuh segala lini kehidupan.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Bantuan subsidi upah atau BSU untuk pekerja sebesar Rp 600.000 per orang secara nilai cukup besar mengingat upah minimum Provinsi Jatim hanya Rp 1,9 juta per pekerja per bulan. Namun, bantuan itu dinilai tak berdampak signifikan bagi kehidupan pekerja dibandingkan dengan dampak kenaikan harga bahan bakar minyak yang menyentuh segala lini kehidupan.
Ketua Eksekutif Komite Partai Buruh Jatim Jazuli mengatakan, berdasarkan informasi yang diterima oleh serikat pekerja, pendataan penerima bantuan subsidi upah (BSU) masih berlangsung. Uang sebesar Rp 600.000 bagi mayoritas pekerja di Jatim memiliki nilai besar jika dibandingkan dengan nilai UMP yang hanya Rp 1,9 juta per pekerja setiap bulan.
Namun, uang itu sebenarnya tidak signifikan bagi kehidupan pekerja karena tidak sebanding dengan kenaikan harga bahan pokok, biaya transportasi, hingga biaya pendidikan akibat naiknya harga bahan bakar minyak (BBM). BSU juga dinilai tidak efektif karena sasarannya terbatas, yakni pekerja dengan gaji maksimal Rp 3,5 juta per bulan per orang.
Di wilayah Ring Satu Jatim yang meliputi Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, dan Pasuruan, upah pekerja formal sudah di atas Rp 3,5 juta per bulan per pekerja. Upah kurang dari Rp 3,5 juta diterima oleh pekerja paruh waktu atau pekerja kontrak. Jumlah pekerja kontrak ini tidak sampai 40 persen dari total pekerja di wilayah ring satu.
”Namun, mereka juga kesulitan memenuhi syarat sebagai pekerja yang memiliki BPJS Ketenagakerjaan aktif sampai dengan Juni 2022. Persyaratan makin sulit dipenuhi karena ada ketentuan berada di wilayah PPKM level 3 dan level 4,” ujar Jazuli, Rabu (14/9/2022).
Pekerja paruh waktu atau kontrak mayoritas tidak diikutkan BPJS Ketenagakerjaan oleh pemberi kerja. Bahkan, mayoritas pekerja kontrak ini bernaung di perusahaan outsourcing. Jika pernah diikutkan pun, pekerja tidak aktif membayar iuran karena upahnya yang sedikit.
Menurut Jazuli, kebijakan BSU hanya ”gula-gula” pemerintah untuk menghibur pekerja. Kebijakan itu hanya untuk meredam gejolak di masyarakat. Oleh karena itulah, kelompok pekerja dengan tegas menolak kebijakan kenaikan harga BBM karena semakin menyengsarakan kehidupan mereka.
Kebijakan BSU hanya ”gula-gula ” pemerintah untuk menghibur pekerja.
Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia DPD Jatim Achmad Fauzi mengatakan, pihaknya menuntut kenaikan harga BBM diikuti kenaikan upah pekerja agar mereka bisa menyesuaikan dengan dampak inflasi di sektor pangan, transportasi, bahkan pendidikan. Tanpa diikuti kenaikan upah, kehidupan pekerja semakin memprihatinkan.
Seiring diberlakukannya UU Cipta Kerja, kenaikan upah tahunan sangat minim, bahkan jauh di bawah nilai inflasi dan pertumbuhan ekonomi regional. Saat pandemi Covid-19 melanda, banyak pekerja yang dirumahkan atau dipotong gajinya hingga 50 persen. Setelah itu, kehidupan mereka berangsur membaik.
”Kini sudah kena pukulan lagi akibat dampak kenaikan harga BBM. Bagi buruh, lebih baik pemerintah menyubsidi harga BBM daripada memberikan bantuan sosial yang tidak signifikan,” ucap Fauzi.
Salah satu pekerja pabrik plastik di Sidoarjo, Albar Beni (25), mengatakan, setiap bulan dirinya hanya menerima upah Rp 1.700.000. Dalam sepekan, dia hanya bekerja empat hari karena kapasitas produksi perusahaan tempatnya bekerja belum maksimal. Menurut pemilik pabrik, permintaan pesanan masih sedikit karena dampak pandemi Covid-19.
Beni mengatakan, meski gajinya jauh di bawah Rp 3,5 juta per bulan, dia tidak termasuk penerima BSU. Alasannya, sejak bekerja dua tahun lalu, perusahaannya tidak pernah mendaftarkan karyawannya menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan.
”Waktu itu sempat ditawari daftar BPJS Kesehatan, tetapi secara mandiri. Saya dan para pekerja menolak karena upah kami terlalu kecil dan semakin menipis jika harus bayar iuran,” ucap Beni.
Kisah serupa disampaikan Widianto (42), karyawan pabrik sandal karet yang ditemui di warung bakso dekat kompleks pergudangan di kawasan Gedangan, Sidoarjo. Widi sudah menikah, tetapi belum memiliki anak. Istrinya dulu rekan sepabrik, tetapi kini menganggur.
Karyawan asal Mojokerto itu mengatakan, gajinya Rp 3,5 juta per bulan jika bekerja secara penuh ditambah lembur. Namun, saat pekerjaan sepi, dia hanya menerima Rp 2,5 juta per bulan. Uang itu dipakai membayar kamar kos Rp 500.000 per bulan dan angsuran sepeda motor Rp 1 juta per bulan. Sisanya Rp 1 juta untuk makan dan memenuhi kebutuhan harian, seperti bayar listrik, air, serta membeli BBM untuk akomodasi kerja.
Widianto juga tak memiliki BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Dia menginduk pada perusahaan alih daya dan menjadi pekerja kontrak dengan skema perjanjian yang diperbaiki setahun sekali. Menurut dia, dampak kenaikan harga BBM sudah pasti dirasakan buruh, tetapi bantuan subsidi upah masih jauh dari jangkauan.
”Sulit rasanya menyiasati kenaikan harga kebutuhan dengan gaji yang tidak menentu. Kalau saya boleh memilih, lebih baik pemerintah menyubsidi harga BBM agar rakyat kecil seperti buruh ikut merasakan manfaatnya,” ucap Widianto.