Tak Ada Urgensi dan Minim Transparansi, Anggota DPRD Sultra Tolak Pembangunan Kantor Baru Gubernur
Pembangunan kantor baru Gubernur Sultra senilai Rp 400 miliar mendapat penolakan dari anggota DPRD Sultra. Pembangunan dinilai tidak berdasar di tengah beban berat APBD, minimnya infrastruktur dasar, dan lainnya.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·5 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Pembangunan kantor Gubernur Sulawesi Tenggara senilai Rp 400 miliar mendapat penolakan dari sejumlah anggota DPRD Sultra. Pembangunan dinilai tidak ada urgensi, proses pengusulan tidak transparan, dan infrastruktur dasar masyarakat belum terpenuhi.
Anggota Badan Anggaran DPRD Sultra, Salam Sahadia, mengatakan, pembangunan kantor baru ini tidak ada urgensi sama sekali. Saat kondisi masyarakat terdampak pandemi Covid-19 hingga inflasi, Pemerintah Provinsi Sultra malah membangun gedung baru.
Tidak hanya itu, infrastruktur dasar masyarakat juga belum terpenuhi. Jalan rusak di sejumlah daerah menjadi persoalan menahun yang tidak kunjung ada perubahan. Belum lagi dengan adanya kenaikan harga BBM dan kondisi sosial ekonomi masyarakat.
”Gedung yang ada saja masih bagus. Jadi, kami dari Fraksi Demokrat tidak sepakat dengan rencana pembangunan kantor gubernur ini,” ucapnya, di Kendari, Senin (12/9/2022).
Menurut Salam, APBD Sultra saja telah dibebani untuk membayar utang daerah dari sejumlah program prioritas Gubernur Ali Mazi dan Wakil Gubernur Lukman Abunawas. Di antaranya pembangunan jalan Toronipa, Rumah Sakit Jantung, dan perpustakaan. Setiap tahun, Sultra harus membayar bunga pinjaman dari PT Sarana Multi Infrastruktur, setelah meminjam Rp 1,2 triliun pada 2019.
Di satu sisi, pendapatan asli daerah hanya sekitar Rp 1,3 triliun, dengan total APBD Rp 4,7 triliun. Pembayaran utang saja telah menggerus PAD. Hal ini belum dengan rencana pembangunan kantor gubernur baru tersebut.
”Yang saya ingat juga, tidak pernah ada pembahasan pembangunan kantor gubernur baru. Yang ada hanya pembenahan lebih dari Rp 27 miliar. Karena itu, kami kaget juga saat ada ground breaking kantor gubernur baru dengan estimasi Rp 400 miliar,” katanya.
Saat pembahasan anggaran untuk APBD 2022, ia melanjutkan, Pemprov Sultra hanya mengajukan rehabilitasi gedung yang ada saat ini. Perbaikan meliputi sejumlah hal yang dianggap rusak dan mendesak untuk dibenahi. Namun, saat ini Pemprov Sultra malah telah memulai pembangunan kantor gubernur baru dengan anggaran di tahap awal senilai Rp 27 miliar. Total anggaran diestimasikan mencapai Rp 400 miliar.
Anggota DPRD Sultra, Sudirman, menuturkan, pada prinsipnya semua program itu ada dalam APBD. Namun, untuk pembangunan kantor baru gubernur senilai Rp 400 miliar, dengan tahap awal Rp 27 miliar, tidak ada dalam APBD.
”Ini yang mau kami pertanyakan juga nantinya. Yang jelas, PKS di DPRD Sultra akan menolak jika ada pembangunan lanjutan kantor baru ini,” tuturnya.
La Ode Frebi Rifai, anggota DPRD Sultra dari PDI-P, menyampaikan, pembangunan kantor gubernur ini juga merupakan kelalaian dari pihak DPRD. Sebab, usulan dari Pemprov Sultra tidak dibahas dengan detail untuk pelaksanaan ke depannya.
Seharusnya, ia melanjutkan, sejak awal usulan ini ditelaah dan dibedah terkait urgensi dan manfaat. Sebab, anggaran estimasi Rp 400 miliar sangat besar, di tengah kondisi APBD yang terbatas dan beban berat masyarakat saat ini yang terdampak kenaikan harga bahan bakar minyak.
”Oleh karena itu, saya pribadi menyatakan menolak pembangunan kantor tersebut. Selanjutnya, saya akan membahas hal ini bersama rekan-rekan dari PDI-P dan lainnya,” ucapnya.
Pembangunan tahap awal kantor baru gubernur Sultra telah dimulai pada Jumat (2/9/2022). Hingga Senin siang, sejumlah alat berat terlihat bekerja meratakan tanah. Plang pekerjaan proyek terpampang dengan anggaran Rp 27 miliar.
Kepala BPKAD Sultra Basiran menuturkan, pembangunan kantor baru ini bukan hal yang tiba-tiba muncul. Namun, telah dibahas sebelumnya bersama DPRD. Rencana pembangunan hingga detail anggaran telah dikaji sebelum dimasukkan dalam APBD 2022.
Pembangunan kantor baru diusulkan karena menganggap gedung lama telah banyak yang rusak. Selain itu, sentralisasi perkantoran akan memudahkan dalam pelayanan masyarakat.
”Saat itu malah dibahas dengan usulan pembangunan Kantor DPRD Sultra. Tapi, mereka menolak dan mengalihkan anggaran untuk sejumlah program. Jadi, saya heran kalau dibilang tidak pernah dibahas karena ini masuk dalam APBD 2022. Kalau terkait nomenklaturnya, apakah ini disebut bertahap itu saya tidak tahu pasti,” katanya.
Secara penganggaran, Basiran menambahkan, alokasi pendanaan dilakukan secara bertahap. Jika tahun ini sebesar Rp 27 miliar, akan dibahas lagi berapa nilai yang akan dialokasikan pada 2023.
”Kalau dibilang membebani APBD, ini kan tidak dilakukan sekaligus, tapi bertahap. Seperti pembayaran utang, tahun ini pokok utang diporsikan Rp 58 miliar. Untuk bunganya, dibayar per bulan sesuai penggunaan anggaran. Untuk infrastruktur jalan juga begitu. Sudah dianggarkan sesuai kemampuan daerah,” katanya.
Menurut Ali Mazi, pembangunan kantor baru tidak membebani APBD karena menyangkut infrastruktur. Suasana perkantoran harus dibuat baik agar pelayanan semakin maksimal ke masyarakat.
Di sisi lain, pembangunan infrastruktur dasar juga terus dilakukan. Dari total 1.009 kilometer jalan tanggung jawab provinsi, telah 800 kilometer yang dalam kondisi baik. Lebih dari 200 km jalan lainnya terus diupayakan untuk ditingkatkan.
Dalam rapat paripurna DPRD Sultra dengan Pemprov Sultra terkait perubahan anggaran pada Senin sore, Pendapatan Asli Daerah Sultra turun dibandingkan dengan proyeksi. Dari Rp 1,393 triliun, menjadi Rp 1,382 triliun.
Pembangunan kantor baru gubernur ini mendapat penolakan juga dari masyarakat sipil. Kisran Makati dari Pusat Studi HAM Sultra berpendapat, pembangunan gedung yang tidak mendesak menegaskan hasrat Pemprov Sultra untuk terus membangun proyek mercusuar. Mulai dari jalan wisata Toronipa senilai triliunan hingga gedung baru saat ini. Proyek-proyek tersebut tidak mengindahkan kepentingan masyarakat umum yang masih berkutat dengan permasalahan dasar.
Salah satu permasalahan utama masyarakat adalah akses jalan yang rusak berat di banyak tempat. Mulai dari Konawe Selatan, Kolaka Timur, Konawe, hingga Buton Utara, dan daerah kepulauan lainnya.
Anggaran sebesar Rp 400 miliar adalah angka yang sangat besar dan seharusnya bisa dimanfaatkan untuk sektor yang lebih mendesak. Hanya saja Pemprov Sultra tidak memiliki kepekaan untuk berbuat sesuatu yang lebih berpihak kepada rakyat.