Toleransi di Indonesia Masih Harus Terus Diperjuangkan
Masalah yang terjadi pada etnis Tionghoa di Singkawang, Kalimantan Barat, bisa terjadi pada etnis lain. Perlu kewaspadaan dan kesadaran dari semua orang untuk terus menjaga toleransi.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·2 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Diskriminasi masih kerap dialami berbagai etnis di Indonesia. Hal itu menunjukkan proses integrasi bangsa ini belum sepenuhnya berjalan baik.
Budayawan dan kurator Bentara Budaya Yogyakarta (BBY), Sindhunata, mengatakan, kesadaran terus memperjuangan toleransi dan kebinekaan harus disertai dengan kesadaran melihat dan membaca sejarah.
”Jika dalam sejarah tercatat upaya menjaga toleransi sulit dilakukan, kini tidak mungkin tiba-tiba berubah menjadi mudah. Toleransi butuh diperjuangkan terus-menerus,” ujarnya dalam diskusi bertema ”Keberagaman: Sebuah Refleksi dari Sejarah dan Kebudayaan Singkawang” di BBY, Minggu (11/9/2022).
Diskriminasi pada etnis Tionghoa di Singkawang, misalnya, diharapkan mampu menjadi pengingat. Setiap orang harus waspada, kelompok etnis lain juga berpotensi mengalami masalah serupa.
”Kelompok minoritas, kelompok etnis mayoritas, atau bahkan di luar kelompok etnis sekalipun, belum tentu aman dari masalah. Di mana pun, kelompok apa pun bisa menjadi obyek diskriminasi, tergantung sasaran dan tujuan yang diinginkan untuk terjadi,” ujarnya.
Akan tetapi, Sindhunata mengatakan, etnis Tionghoa memang kerap menjadi sasaran. Setiap ada kesempatan melakukan kekerasan, etnis ini kerap menjadi obyek penderita. Diduga, etnis Tionghoa memiliki ciri khas sangat unik, baik dari segi watak maupun kebudayaannya.
Jon Suryaatmadja, fotografer lepas yang karyanya diterbitkan dalam buku Memoar Orang-orang Singkawang, menuturkan, dirinya sempat memotret orang Tionghoa Singkawang yang memutuskan pergi ke China.
Tidak diterima di perkotaan, orang tersebut justru ”dibuang” pedalaman. Dia diminta bekerja di perkebunan dan membuka hutan.
Jon juga mengatakan, dirinya sempat memotret warga Tionghoa Singkawang di salah satu desa di sekitar Guangdong, China. Mereka sudah membawa semua harta bendanya dari Singkawang, termasuk mesin jahit.
Akan tetapi, tidak mendapatkan kenyamanan seperti yang diinginkan, mereka lantas memilih pergi ke Hong Kong.
”Banyak warga merasakan pengalaman tidak diterima hingga berkali-kali. Sebagian dari mereka yang sudah pindah ke Hong Kong hanya bisa mendapatkan kartu identitas sementara,” ujarnya.
Bina Bektiati, penulis yang terlibat dalam reportase dan penulisan buku Memoar Orang-orang Singkawang, mengatakan, di era tahun 2000-an, dia masih menemukan orang Tionghoa Singkawang yang tidak memiliki status warga negara mana pun.
Hal ini terjadi ketika orang itu sudah melepaskan kewarganegaraannya di Indonesia, tetapi tidak tertampung di kapal yang akan mengangkutnya ke China.
”Dari penuturan orang-orang yang saya temui di Singkawang, hal ini tidak hanya terjadi pada orang Singkawang. Bersama mereka terdapat pula orang Tionghoa dari daerah lain yang juga ketinggalan kapal, antara lain dari Semarang,” ujarnya.