Jangan Terulang Lagi Kisah Pilu Albar Mahdi...

Pengusutan kasus kematian Albar Mahdi, santri Pondok Pesantren Gontor, yang tengah berjalan hendaknya jadi pelecut semangat menyusun regulasi yang mampu memitigasi kekerasan, terutama dalam sistem pendidikan pesantren.

KOMPAS/RHAMA PURNA JATI

Pimpinan dari Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, mendatangi makam Albar Mahdi (17), di TPU Sei Selayur Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (9/9/2022). Albar adalah santri yang meninggal diduga karena tindak kekerasan oleh seniornya di dalam ponpes.

Kekerasan yang dialami Albar Mahdi (17), santri Pesantren Modern Darussalam Gontor, tak boleh terulang lagi di lembaga pendidikan mana pun di negeri ini. Pengusutan kasusnya yang tengah berjalan hendaknya jadi pelecut semangat menyusun regulasi yang mampu memitigasi kekerasan, terutama dalam sistem pendidikan pesantren.

Kepala Polres Ponorogo Ajun Komisaris Besar Polisi Catur Cahyono Wibowo mengatakan, penyidikan untuk mengungkap penyebab meninggalnya santri AM (17) di Gontor pada 22 Agustus 2022 terus mengalami kemajuan. Penyidik telah memeriksa saksi-saksi yang mengetahui peristiwa tersebut, mengolah tempat kejadian perkara, melakukan prarekonstruksi, dan mengumpulkan alat bukti pendukung.

”Sampai dengan sore ini, total 25 saksi yang sudah diperiksa. Jumlah saksi tersebut terus bertambah dari sebelumnya, sesuai dengan perkembangan penyidikan,” ujar Catur, Jumat (9/9/2022).

KOMPAS/RHAMA PURNA JATI

Rusdi (47) memegang foto anak sulungnya, Albar Mahdi (17), yang meninggal dunia diduga akibat dianiaya oleh seniornya di Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, Jumat (9/9/2022). Rusdi meminta keadilan agar pelaku ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku.

Sebanyak 25 saksi yang diperiksa itu berasal dari kalangan santri di pesantren, tim medis pesantren, dan pengasuh atau ustaz. Berdasarkan hasil penyidikan sementara, terdapat dua santri yang diduga terlibat sebagai pelaku kekerasan terhadap AM (17). Selain itu, jumlah korban kekerasan diduga kuat lebih dari satu orang.

Selain memeriksa saksi, penyidik juga telah mengotopsi jenazah korban. Sebelumnya, penyidik melakukan olah tempat kejadian perkara di dalam Pesantren Modern Darussalam Gontor di Ponorogo. Untuk mendapatkan gambaran detail tentang kronologi kejadian, juga telah dilakukan prarekonstruksi.

Catur mengatakan, kekerasan yang menimpa santri AM bermula dari kegiatan perkemahan rutin yang digelar pada Kamis-Jumat atau perkajum, 18-19 Agustus 2022. Seusai kemah, korban mengembalikan perlengkapan yang dipinjam dari bagian perlengkapan perkemahan.

Namun, setelah diperiksa, terdapat sejumlah alat perkemahan yang tidak lengkap. Santri senior yang bertugas di bagian perlengkapan alat perkemahan memberi waktu kepada korban untuk melengkapi kekurangannya. Korban diduga tidak bisa mengembalikan alat tersebut yang memicu terjadinya kekerasan.

MARINA EKATARI

Pengurus Pondok Modern Darusalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, meminta maaf atas meninggalnya santri Albar Mahdi (17) asal Palembang. Dalam rilis pihak pesantren, Selasa (6/9/2022) pagi, pengurus santri menemukan dugaan penganiayaan dalam kematian santri Albar Mahdi. Atas kejadian ini, pengurus pondok meminta maaf dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku, yaitu mengeluarkan pelaku dari pondok secara permanen dan mengembalikan santri kepada keluarga.

Juru Bicara Pesantren Modern Darussalam Gontor (PMDG) Noor Syahid mengatakan, pihaknya sama sekali tidak punya niatan untuk menutup-nutupi kasus dugaan penganiayaan yang berujung wafatnya santri AM. Pesantren juga tidak menghalang-halangi proses hukum dalam upaya pengungkapan kasus ini.

”Sebaliknya, kami justru berharap kasus ini dapat diselesaikan dengan terbuka dan transparan sesuai aturan hukum yang berlaku,” ujar Noor Syahid dalam pernyataan resminya.

Dia menambahkan, pesantren berkomitmen kuat menyelesaikan kasus ini sampai tuntas dengan mengikuti setiap proses hukum. Pesantren tidak memungkiri terkait adanya dugaan tindakan penganiayaan terhadap santri AM. Namun, mengenai detail kejadiannya diserahkan sepenuhnya kepada pihak kepolisian, termasuk terkait motif di balik penganiayaan tersebut.

Sebagai wujud komitmen pesantren terhadap kasus kekerasan, semua pelaku yang diduga terlibat sudah dikeluarkan dari pondok pada hari yang sama ketika santri AM dinyatakan meninggal. Mereka dikembalikan kepada orangtua masing-masing.

”Inilah sanksi terberat di dalam pendidikan Gontor. Nantinya, jika terkait hukum negara, tentunya kami serahkan kewenangannya kepada pihak kepolisian,” tegas Noor.

Noor mengatakan, baginya seluruh santri adalah anak-anaknya, amanah, dan titipan dari para orangtua untuk diasuh dan didik. Demikian pula dengan santri AM. ”Almarhum adalah anak kami. Wafatnya almarhum karena kasus penganiayaan pada dasarnya adalah dukacita bagi kami,” ucap Noor.

Mitigasi kekerasan

Kasus kekerasan santri di pesantren Gontor menambah panjang deretan kasus kekerasan yang terjadi di pesantren. Pengadilan Negeri Surabaya, misalnya, saat ini tengah menyidangkan perkara kekerasan seksual terhadap santriwati yang dilakukan oleh pengasuh Pesantren Shiddiqiyyah, Jombang.

Sebelum itu, seorang santri bernama MZ (15) meninggal setelah dianiaya oleh santri lainnya di salah satu pesantren di Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo, Jatim. Peristiwa memilukan itu terjadi pertengahan Oktober 2021 lalu.

MARINA EKATARI

Dalam video, Minggu (4/9/2022), tangis seorang ibu bernama Siti Soimah pecah saat mengadu ke pengacara Hotman Paris Hutapea. Sang ibu mengungkapkan kecurigaan atas kematian anaknya, Albar Mahdi (17), yang merupakan santri di Pesantren Gontor I, Ponorogo, Jawa Timur. Pada jenazah Albar ditemukan beberapa ketidakwajaran berupa kain kafan yang penuh darah saat dipulangkan dan dimakamkan pada 22 Agustus 2022.

Berulangnya kasus kekerasan di pesantren menunjukkan santri dan santriwati rentan menjadi korban kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Fenomena itu juga menandakan perlunya memperkuat upaya perlindungan terhadap santri agar mereka bisa mengenyam pendidikan dengan baik serta tumbuh menjadi generasi baru yang berakhlak mulia (akhlakul karimah).

Kepala Bidang Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kanwil Kemenag Provinsi Jawa Timur Muhammad As’adul Anam mengatakan, upaya memperkuat perlindungan terhadap santri di pesantren harus dilakukan secara terstruktur, masif, dan sistematis. Hal itu karena banyaknya jumlah pesantren dan jumlah santri yang diasuh.

”Di Jawa Timur saja terdapat lebih dari 6.500 pesantren yang terdaftar di Kemenag Jatim. Jumlah itu belum termasuk pesantren yang tidak terdata karena masih ikut pondok induk. Jumlah santrinya sekitar 1 juta orang,” kata Anam.

Anam mengakui pihaknya tidak mampu mengawasi aktivitas di seluruh pesantren tersebut selama 24 jam. Kemenag Jatim lebih fokus pada aktivitas belajar mengajar yang dikembangkan oleh pesantren atau aspek kurikulumnya. Hal itu agar kurikulum yang dikembangkan bisa sejalan dengan kurikulum nasional dan nilai-nilai agama.

Menurut dia, pola pengasuhan santri dan kemusyrifan (pengawasan) menjadi tanggung jawab penuh pengelola atau pengasuh pesantren. Oleh karena itulah, perlu adanya regulasi untuk mendorong terciptanya pola asuh santri yang transparan dan pengawasan yang efektif sehingga seluruh kegiatan bisa dipantau disetiap ruang dan waktu.

Selain itu, metode atau pola pengasuhan di pesantren harus disusun dengan konsep ramah santri. Anam mencontohkan perlunya komunikasi yang intens antara pengasuh dan santri serta wali santri. Alasannya, di pesantren, pengasuh juga merangkap wali santri sehingga memiliki peran sangat besar dalam membangun karakter sekaligus mengawasi perilaku mereka.

Anam menyoroti pola hubungan antara santri senior dan yuniornya. Pemberian kewenangan yang besar kepada santri senior berpotensi memicu terjadinya pembulian dan kekerasan. Menurut dia, hal itulah yang terjadi di Gontor. Kekerasan yang berujung pada kematian santri AM murni merupakan persoalan antarsantri.

Menurut Anam, penerapan konsep Pesantren Ramah Anak sangat mendesak di Jatim sebagai langkah mitigasi terhadap kerawanan kekerasan di dunia pendidikan. Kemenag Jatim telah membuat pedoman penanganan kekerasan pada anak melalui program Pesantren Ramah Anak. Saat ini, ada dua pondok pesantren di Jawa Timur yang telah membuat buku pedoman penanganan kekerasan pada anak, yakni Ponpes Darul Ulum Jombang serta Ponpes Hidayatulloh Trenggalek, yang menjadi pionir pesantren ramah anak.

Anak merupakan aset yang tidak ternilai bagi orangtua dan generasi penentu bagi masa depan bangsa. Oleh karena itulah, mereka harus mendapatkan pendidikan dan pengasuhan terbaik serta perlindungan optimal agar tumbuh menjadi pribadi berakhlak mulia.