Calon Pendeta di NTT Setubuhi Enam Anak Terancam Hukuman Mati
Selama satu tahun, calon pendeta menyetubuhi enam anak di bawah umur. Ada korban yang disetubuhi sebanyak enam kali.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — SAS (36), calon pendeta dari Gereja Masehi Injil Timor di Nusa Tenggara Timur, berulang kali menyetubuhi enam anak di bawah umur selama satu tahun. Pelaku yang kini sudah ditahan itu terancam hukuman minimal sepuluh tahun penjara dan maksimal hukuman mati. Gereja mendukung proses hukum demi tegaknya keadilan bagi para korban.
Kepala Bidang Humas Polda NTT Komisaris Besar Ariasandy pada Kamis (8/9/2022) menuturkan, persetubuhan itu terjadi di Desa Waisika, Kecamatan Alor Timur Laut, Kabupaten Alor. Persetubuhan dilakukan selama satu tahun mulai Mei 2021 hingga Mei 2022 saat pelaku bertugas di sana.
Dalam kurun waktu itu, SAS yang berasal dari Kota Kupang itu menjalankan praktik sebagai vikaris atau sebutan bagi calon pendeta Kristen Protestan. Pelaku merupakan calon pendeta Kristen Protestan di bawah Gereja Masehi Injil Timor (GMIT). Komunitas Kristen Protestan tersebut dengan jumlah pengikut terbanyak di NTT.
Ariasandy mengatakan, para korban yang selama ini ketakutan baru berani melapor ke polisi setelah pelaku tidak lagi bertugas di sana. Korban yang berumur dari 13 tahun hingga 15 tahun itu datang ke kantor polisi didampingi keluarga dan tokoh agama setempat.
Kepala Bidang Humas Polda NTT Komisaris Besar Ariasandy.
”Yang melaporkan itu sembilan orang, enam di antaranya yang menjadi korban persetubuhan, sedangkan tiga orang lagi hanya chatting dan kirim foto telanjang lewat Whatsapp. Tiga orang ini diberi ruang untuk membuat laporan ITE (pelanggaran informasi transaksi elektronik),” katanya.
Menurut Ariasandy, pelaku memaksa korban melakukan persetubuhan di beberapa tempat di Desa Waisika. Tempat kejadiannya mulai dari konsistori di dalam kompleks gereja, toilet gereja, pastori atau rumah pendeta, posyandu, dan bahkan di rumah korban. Masing-masing korban mengalami persetubuhan dari pelaku lebih dari satu kali. ”Ada yang sampai enam kali,” ujarnya.
Saat menyetubuhi korban, pelaku merekam sendiri adegan itu. Akibatnya, para korban tidak bisa berbuat banyak dan terpaksa mengikuti kemauan pelaku lantaran pelaku mengancam akan menyebarkan video tersebut.
Bukan didoakan melainkan disetubuhi. (Ariasandy)
Pelaku pun dengan mudah memaksa korban untuk disetubuhi berulang kali.
Modus pelaku memperdayai korban adalah sengaja mengajak korban ke pastori atau konsistori. Di pastori, pelaku meminta korban masuk kamar atau meminta korban mencabut uban.
Sementara di konsistori, pelaku sengaja mengajak korban untuk didoakan. ”Bukan didoakan melainkan disetubuhi,” ucap Ariasandy.
Proses hukum
Melalui laman resmi www.sinodegmit.or.id, Majelis Sinode GMIT yang kini dipimpin Pendeta Merry Kolimon mengakui bahwa pihaknya sudah mendapatkan laporan atas kasus itu pada Juli 2022 lalu. Adapun kasus ini baru dilaporkan korban kepada polisi pada awal September 2022.
”MS (Majelis Sinode) GMIT sudah berkoordinasi dengan Ketua Majelis Klasis setempat untuk penanganan. Setelah mendapatkan laporan, kami menangguhkan penahbisan yang bersangkutan ke dalam jabatan pendeta untuk penyelidikan mengenai berita yang diterima,” tulis MS GMIT di laman tersebut.
Pihak MS GMIT juga menyatakan dukungannya terhadap proses hukum yang kini sedang berlangsung. GMIT menghormati hak para korban dan orangtua serta keluarga untuk menempuh jalur hukum.
”Kami tidak menghalangi proses hukum bagi oknum yang bersangkutan untuk menemukan keadilan dan kebenaran melalui mekanisme hukum di negeri kita.” Demikian penegasan MS GMIT.
Selain itu, MS GMIT juga mengutus tim dari Rumah Harapan GMIT untuk melakukan pendamping dan pemulihan terhadap psikologis para korban. Para korban masih duduk di bangku sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas mengalami tekanan mental.
Sementara itu, Grace Gracella dari Jaringan Antikekerasan terhadap Perempuan dan Anak (Jakpa) mengatakan, pihaknya mengecam perbuatan pelaku.
Mereka meminta polisi mengusut tuntas kasus tersebut dengan memberikan hukuman maksimal. Tidak boleh ada ruang untuk pendekatan restoratif justice dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual.
”Mendesak GMIT agar mengambil tindakan tegas dengan tidak hanya menangguhkan status vikaris pelaku, tetapi mencoret pelaku dari daftar calon pendeta GMIT yang akan ditahbiskan,” kata Grace menyebutkan salah satu poin tuntutan JPKPA.