Nelayan di Natuna, Terdesak Kapal Asing dan Tercekik Harga Solar
Nelayan tradisional di Natuna, Kepulauan Riau, menjerit akibat kenaikan harga BBM. Hal ini membuat mereka semakin sulit bersaing dengan kapal ikan asing yang kian marak beroperasi di Laut Natuna Utara.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
KOMPAS/PANDU WIYOGA
Sebuah perahu nelayan ditambatkan di pesisir Desa Sepempang, Kecamatan Bunguran Timur, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, Jumat (25/3/2022).
BATAM, KOMPAS — Nelayan tradisional di Natuna, Kepulauan Riau, menjerit akibat kenaikan harga solar bersubsidi. Biaya untuk melaut jadi melejit, padahal kini mereka harus berlayar lebih jauh karena stok ikan merosot akibat maraknya penangkapan ikan secara ilegal.
Ketua Aliansi Nelayan Natuna, Hendri, Rabu (7/9/2022), mengatakan, kenaikan harga solar bersubsidi dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter sangat membebani nelayan. Kenaikan harga BBM itu menambah beban nelayan yang sejak awal tahun ini kesulitan mendapat solar bersubsidi.
”Sebentar lagi harga es batu (untuk mengawetkan ikan) dan bekal makanan untuk melaut pasti juga akan naik sebesar 20-30 persen mengikuti kenaikan harga BBM,” kata Hendri saat dihubungi dari Batam.
Pembelian solar bersubsidi di Natuna masih dibatasi 30 liter per hari untuk satu nelayan. Kuota itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar nelayan di Natuna.
KOMPAS/PANDU WIYOGA
Ketua Aliansi Nelayan Natuna Hendri saat ditemui di Pelabuhan Teluk Baruk, Desa Sepempang, Kecamatan Bunguran Timur, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, Jumat (25/3/2022).
Meskipun mayoritas armada kapal nelayan di Natuna hanya berukuran 3-7 gros ton (GT), kebanyakan dari mereka sering melaut hingga ke perairan yang berjarak lebih dari 100 mil laut (185,2 kilometer). Karena solar bersubsidi dibatasi, mereka terpaksa membeli dari pengecer.
Harga di tingkat pengecer ini lebih tinggi sekitar Rp 55.000 untuk satu jeriken solar dengan kapasitas 30 liter.
Jika di SPBU satu jeriken solar Rp 204.000, di pengecer mencapai Rp 258.000-Rp 260.000 per jeriken. Untuk melaut selama tujuh hari, nelayan paling tidak membutuhkan 10 jeriken atau sekitar 300 liter solar.
Salah satu anak buah kapal berbendera Vietnam melihat dua kapalnya dari lambung Kapal Polisi (KP) Bisma-8001 yang sandar di Pelabuhan Batu Ampar, Batam, Kepulauan Riau, Selasa (23/3/2021).
Hendri mengatakan, nelayan tradisional di Natuna harus lebih sering berlayar sangat jauh karena stok ikan di perairan tersebut telah merosot akibat maraknya penangkapan ikan secara ilegal oleh kapal asing. Penggunaan alat tangkap pukat harimau oleh kapal ikan asing memicu penangkapan ikan yang berlebih.
Persoalan serupa juga disampaikan Sekretaris Dewan Pimpinan Cabang Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Kabupaten Kepulauan Anambas, Dedi Syahputra. Menurut dia, kenaikan harga BBM membuat nelayan di perbatasan Kepri semakin termarjinalkan di tengah maraknya intrusi kapal ikan asing.
Analisis yang dibuat lembaga Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) menunjukkan, sekurang-kurangnya 224 kapal asing terdeteksi menangkap ikan secara ilegal di Laut Natuna Utara pada Maret-Juni 2022. Kapal-kapal itu diduga kuat menggunakan alat tangkap jenis pair trawl.
KOMPAS/PANDU WIYOGA
Gubernur Kepulauan Riau Ansar Ahmad
Menanggapi keluhan nelayan mengenai kenaikan harga BBM, Gubernur Kepri Ansar Ahmad, Selasa (6/9/2022), mengatakan, Pemerintah Provinsi Kepri akan mengalokasikan 2 persen dari dana alokasi umum (DAU) dan dana bagi hasil (DBH) untuk bantuan sosial. Pemberian bantuan akan difokuskan untuk subsidi di sektor transportasi bagi nelayan, sopir angkot, dan pengemudi ojek.
”Untuk realokasi dana DAU dan DBH sebesar 2 persen itu setelah kita hitung tersedia lebih kurang Rp 5,5 miliar. Dana itu masih akan ditambah lagi dari realokasi dana serupa yang ada di setiap kabupaten/kota,” kata Ansar melalui pernyataan tertulis.