Jangan Jadikan Kami Anak Tiri…
Tingginya harga telur ayam belakangan ini tak serta merta dirasakan para peternak. Itu merupakan imbas dari pengurangan populasi akibat cekikan pandemi Covid-19. Beban bertambah berat dengan menjulangnya harga pakan.
Tingginya harga telur ayam belakangan ini tak serta=merta dinikmati para peternak. Itu merupakan imbas dari pengurangan populasi akibat cekikan pandemi Covid-19. Beban bertambah berat dengan menjulangnya harga pakan. Kini, para peternak tengah mengharap belas kasih pemerintah supaya tak selalu dijadikan anak tiri.
Pitoyo (45) berjalan menyusuri kandang berwujud rumah panggung. Matanya memindai seluruh kandang tersebut. Sesekali ia terhenti mengecek tempat air minum ayam yang tertata berjejer. Semuanya terlihat cukup baik. Hanya sedikit berdebu. Yang hilang ialah berisik paruh yang mematuk bambu tempat disebarnya pakan.
”Biarpun kosong harus selalu dicek. Takutnya ada yang rusak. Ini sambil berharap-harap kapan bisa diisi kembali,” kata Pitoyo, mandor peternakan ayam petelur dari Fahreza Farm, di Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Kamis (1/9/2022).
Baca juga: Sepekan Terakhir, Harga Telur di Tingkat Peternak di Blitar Berangsur Turun
Itu hanya salah satu kandang yang kosong dari peternakan tersebut. Masih ada empat kandang lainnya yang juga sama-sama kosong di sana. Adapun kandang yang masih beroperasi tinggal lima unit. Selain di Kecamatan Mojosongo, peternakan tersebut juga memiliki dua kandang lain di Kecamatan Ampel. Salah satu kandang di sana juga terpaksa dikosongkan. Bahkan, sejumlah tenaga pemelihara ternak yang bekerja di sana sampai harus diberhentikan.
Akibat pengosongan kandang, kata Pitoyo, produksi telur dari peternakan tersebut berkurang hingga 50 persen. Sebelumnya, jumlah telur yang bisa dihasilkan mencapai 3 ton per harinya. Kini, mereka hanya mampu memproduksi sekitar 1,5 ton per hari.
”Bagaimana tidak berkurang? Populasi ternaknya saja turun. Dari 60.000 ekor jadi tinggal 30.000 ekor saja. Ini dampak dari pandemi Covid-19 tahun lalu. Permintaannya sangat sedikit. Harga telur jadi sangat anjlok,” tutur Pitoyo.
Pitoyo mengatakan, kerugian yang dialaminya bisa mencapai Rp 120 juta per bulan. Itu menyebabkan regenerasi ayam petelur di kandangnya tersendat. Padahal, regenerasi mestinya dilakukan setiap bulan. Saat itu sekali regenerasi membutuhkan biaya setidaknya Rp 150 juta untuk membeli sekitar 4.000 ekor ayam siap telur atau pulet. Sekarang, harga pulet semakin tak terjangkau lagi. Naik dua kali lipat menjadi Rp 100.000 per ekor.
”Mau tidak mau ayam yang sudah tidak produktif dijual. Itu buat menutup kekurangan. Sisa kerugian lainnya harus ambil dari kas. Tujuannya biar kandangnya bisa terus hidup. Bagaimanapun setiap hari ayam harus dikasih makan,” tutur Pitoyo.
Pengurangan populasi itulah yang menyebabkan terjadinya peningkatan harga telur ayam beberapa pada Agustus lalu. Harganya berkisar Rp 26.000-Rp 27.000 per kilogram dari peternak. Untuk itu, harga pasar sempat menyentuh Rp 29.000-Rp 30.000 per kilogram.
”Wajar saja harganya naik. Wong jumlah permintaannya meningkat, sedangkan populasinya turun. Tetapi, biar harga setinggi ini, kerugian kami belum tertutup. Apalagi harga pakan sedang tinggi-tingginya. Buktinya, mau isi kandang lagi saja masih agak sulit,” kata Pitoyo.
Beberapa hari terakhir, Pitoyo mulai waswas. Sebab, Presiden Joko Widodo merencanakan harga telur ayam akan segera turun setelah sempat menjulang tinggi. Permasalahannya, harga pakan hingga bibit ayam sudah telanjur meningkat. Harga pokok produksi kandang yang dikelolanya juga terhitung tinggi berkisar Rp 24.000-Rp 25.000 per kilogram.
”Lha, ini kok rasa-rasanya harga sudah mulai melandai juga. Kamis ini, saya jual hanya laku Rp 24.000 per kilogram. Ya, sudah bagaimana lagi. Harganya impas lagi. Kami hanya ikut harga pasar. Barangnya, kan, tidak bisa ditahan lama-lama,” kata Pitoyo.
Tukinu (60), peternak ayam petelur lain di Kecamatan Mojosongo, merasakan hal yang sama. Ia mengaku tak bisa sepenuhnya merasakan keuntungan dari tingginya harga telur ayam belakangan ini. Pasalnya, kerugian telah dialaminya sepanjang tahun lalu. Namun, ia merasa beruntung masih bisa mempertahankan keberadaan kandangnya.
Tukinu menuturkan, pihaknya sempat mengalami harga jual telur dari peternak senilai Rp 15.000-Rp 16.000 per kilogram. Padahal, harga pokok produksi dari kandangnya sekitar Rp 21.000 per kilogram. Artinya, setiap hari ia harus menombok sebesar Rp 5.000-Rp 6.000 per hari. Dari perkiraaannya, total kerugian yang dialaminya bisa mencapai Rp 300 juta.
”Harga yang membaik ini baru berlangsung kurang lebih dua bulan. Sebelumnya, kami semacam hidup segan, mati tak mau. Kalau memang harga mau diturunkan, paling tidak selisihnya jangan terlalu jauh dari biaya produksi kami,” kata Tukinu.
Pakan sendiri
Sigit Handoko (25), peternak ayam petelur di Kecamatan Cepogo, mencoba cari siasat dengan tingginya harga pakan. Ia menjajal untuk mencampur bahan pakan sendiri. Alhasil, biaya pakan bisa ditekan menjadi Rp 5.800 per kilogram. Apabila ia harus membeli pakan pabrikan, ongkos yang harus dikeluarkannya berkisar Rp 6.800-Rp 7.100 per kilogram.
Cara tersebut, jelas Sigit, sudah dilakukannya sejak dua tahun terakhir. Momennya bersamaan dengan anjloknya harga telur akibat sepinya permintaan. Bahkan, ia pernah menjual telurnya seharga Rp 13.000 per kilogram. Untuk itu, ia juga sempat terjegal persoalan regenerasi ternak.
”Waktu itu, saya hanya kuat menjalankan setengah dari seluruh ternak yang ada. Ternak yang usianya muda saya tahan-tahan dulu untuk produksi. Yang tua-tua juga saya jual,” kata Sigit.
Ketua Asosiasi Petelur Boyolali Bersatu Krishandrika Immanuel Raharjo menyatakan, saat ini, para peternak tengah menarik tabungan kembali dengan membaiknya harga telur. Namun, keuntungan yang ada sebetulnya belum cukup menanggung kerugian yang terjadi sepanjang tahun lalu. Untuk itu, ia mengharapkan agar wacana penurunan harga telur disesuaikan dengan kondisi nyata dari para peternak.
Menurut Kris, sapaan akrab Krishandika, yang dibutuhkan para peternak ialah stabilitas harga jual. Mereka akan sangat kesulitan jika fluktuasi harga terjadi dengan selisih yang tinggi. Lebih-lebih jika harga telur anjlok. Dalam pandangannya, jarang ada intervensi dari pemerintah untuk meningkatkan harga jual petani. Berbeda halnya jika harga telur melonjak.
”Pemerintah kadang-kadang sangat cepat untuk menstabilkan harga saat harganya tinggi. Tetapi, kapan harga rendah itu dibantu cepat naik? Kami ini kok kadang-kadang merasa menjadi anak tiri,” kata Kris.
Selain itu, Kris juga cukup khawatir dengan perkembangan isu kenaikan harga bahan bakar minyak. Kebijakan tersebut diyakininya akan ikut mendongkrak kenaikan harga barang-barang lain. Tak terkecuali komponen pendukung usaha peternakan ayam petelur. Ia bertambah cemas dengan adanya wacana penurunan harga telur.
”Kemarin harga (telur) naik, sebenarnya mereka mulai berpikir untuk memperbanyak populasi. Sekarang merasa ngeri lagi karena ada isu harga akan diturunkan. Apalagi komponen hari ini, kalau BBM naik, pasti bahan-bahan pakan juga ikut naik. Kalau komponen semuanya naik, masa kami tidak boleh naik harganya,” kata Kris.
Dihubungi terpisah, Ketua Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Jawa Tengah Parjuni menyampaikan, penutupan kandang menjadi fenomena yang lazim ditemui setahun lalu di daerahnya. Pasalnya para peternak sudah tak sanggup lagi menahan beban kandangnya seiring dengan anjloknya harga telur ayam saat itu. Menurut perkiraannya, rata-rata penurunan populasi ayam petelur mencapai 30 persen. Adapun total jumlah populasinya diperkirakan berkisar 14 juta-15 juta ekor.
Dalam kondisi terkini, Parjuni menjelaskan, tingginya harga pakan menjadi persoalan yang mencekik peternak. Harga pakan pabrik Rp 7.000 per kilogram. Terjadi kenaikan harga sebesar 15 persen dari sebelumnya. Disebutkannya, penyebab kenaikan harga pakan ialah meningkatnya harga jagung yang juga 50 persen.
”Tetapi, harga jagung, kan, sudah menurun. Seharusnya harga pakan ikut turun. Saya rasa pemerintah harus tegas pada pabrik pakan,” kata Parjuni.