Warga Kota Magelang Digerakkan untuk Lakukan Pertanian Urban
Warga Kota Magelang didorong untuk menggerakkan pertanian urban. Selain karena lahan pekarangan yang berpotensi untuk dimanfaatkan, kegiatan itu diharapkan bisa menumbuhkan kemandirian warga.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Di tengah potensi penyusutan lahan pertanian karena pembangunan, warga Kota Magelang, Jawa Tengah, didorong untuk bertani urban atau urban farming. Selain untuk memanfaatkan lahan-lahan terbuka menganggur, aktivitas pertanian urban perlu dilakukan untuk menumbuhkan kemandirian warga guna mencukupi kebutuhan pangannya sendiri.
Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Kota Magelang Eri Widyo Saptoko mengatakan, gerakan pertanian urban perlu dilakukan untuk mengurangi ketergantungan Kota Magelang terhadap produk pertanian dari daerah sekitarnya.
”Jika semula ketergantungan terhadap daerah sekitar mencapai 100 persen, dengan pertanian urban ini diharapkan tingkat ketergantungan warga bisa berkurang menjadi 50 persen saja,” ujarnya saat ditemui di sela-sela pembukaan Plaza Tani di Kantor Dinas Pertanian dan Pangan Kota Magelang, Jumat (2/9/2022).
Selama ini, Kota Magelang mendapatkan suplai produk pertanian dan bahan pangan dari daerah-daerah sekitar, seperti Kabupaten Magelang dan Temanggung.
Pertanian urban, menurut dia, sangat berpotensi untuk dikembangkan karena total luas tanah pekarangan rumah warga saja mencapai lima hingga tujuh kali lipat dari luas lahan pertanian yang tersisa saat ini.
”Sesempit apa pun tanah pekarangan yang tersisa, warga sebaiknya memanfaatkannya dengan bertani, menanam tanaman apa pun dengan menggunakan pot-pot, polybag, dengan sistem pertanian hidroponik ataupun dengan sistem penanaman bertingkat,” ujarnya.
Di Kota Magelang, terdapat 1.032 RT. Saat ini, baru terdapat puluhan kelompok tani, tetapi Pemerintah Kota Magelang terus mendorong agar kelompok tani bisa dihentuk di tiap RT.
Sejauh ini, kelompok-kelompok tani yang sudah ada menghasilkan produk-produk pertanian sayuran. Untuk sementara ini, mereka sebatas diarahkan untuk memenuhi kebutuhan sendiri terlebih dahulu dan, jika tersisa, barulah kemudian produk pertanian tersebut dijual ke masyarakat di luar kampung.
Pertanian urban, menurut dia, juga harus dilakukan karena lahan pertanian di Kota Magelang terus menyusut. Saat ini, luas sawah terdata mencapai 143 hektar. Namun, dengan rata-rata penyusutan lahan mencapai 4 hektar per tahun, pada 2035 luas sawah di Kota Magelang diprediksi tersisa sekitar 70 hektar saja.
Penyusutan lahan pertanian tidak bisa dihindari karena adanya aktivitas pembangunan perkotaan, termasuk di antaranya untuk membangun kawasan permukiman warga.
Joko Sumilih, Ketua Kelompok Tani Bogeman Lestari di Kecamatan Magelang Tengah, mengatakan, sejak Kelompok Tani Bogeman Lestari berdiri pada 2019, 30 warga yang menjadi anggota diarahkan untuk menanam sedikitnya 30 tanaman sayuran di pot dan polybag di pekarangan masing-masing.
Warga, menurut dia, ternyata sangat antusias. ”Dari target semula hanya 900 tanaman, sekarang ini jumlah tanaman yang ditanam warga mencapai lebih dari 1.300 tanaman,” ujarnya. Tanaman yang ditanam antara lain adalah terung, tomat, dan cabai.
Linarti, Ketua Kelompok Omah Sayur Songo Makmur Jos, di Kelurahan Jurangombo Selatan, Kecamatan Magelang Selatan, mengatakan, dari aktivitas pertanian, bertani sayuran di tanah pekarangan masing-masing, 30 anggota Omah Sayur Songo Makmur Jos mampu memenuhi kebutuhan rumah tangganya, bahkan menghasilkan kelebihan panen yang bisa dijual.
”Setiap minggu, kami bisa menjual 5 kilogram sayuran, bahkan pernah pula menjual hingga 20-30 kg sayuran,” ujarnya.
Di luar itu, mereka juga bertani, memanfaatkan tanah bengkok kelurahan seluas 150 meter persegi di kampung. Di tanah pekarangan, mereka bertanam menggunakan pot dan polybag, sementara di tanah bengkok penanaman langsung dilakukan di lahan.