Nelayan Tradisional Kepri Pertanyakan Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur
Nelayan tradisional di Kepulauan Riau mengkritisi kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota. Kebijakan itu dinilai berpotensi memicu penangkapan ikan berlebih dan semakin meminggirkan nelayan kecil.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
PANDU WIYOGA
Seorang nelayan pulang dari kelong atau keramba apung di pesisir Desa Pengudang, Kecamatan Teluk Sebong, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, Rabu (20/10/2021).
BATAM, KOMPAS — Nelayan tradisional di Kepulauan Riau mengkritisi kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota yang akan digulirkan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Tanpa armada pengawasan yang memadai, kebijakan itu dinilai berpotensi memicu penangkapan ikan berlebih.
Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Bintan Syukur Harianto, Jumat (2/9/2022), mengatakan, para nelayan ragu pelaku industri perikanan skala besar bakal tertib menangkap ikan sesuai kuota dan zona yang ditetapkan pemerintah. Oleh karena itu, kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota dikhawatirkan akan semakin meminggirkan nelayan kecil.
Kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota membuka kesempatan bagi investor dalam dan luar negeri untuk memanfaatkan sumber daya ikan pada zona-zona industri melalui perizinan khusus berjangka 15 tahun. Kebijakan itu ditargetkan menghasilkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mencapai Rp 12 triliun pada 2024.
Zona industri perikanan yang akan menerapkan kebijakan ini meliputi empat zona di tujuh wilayah pengelolaan perikanan negara RI (WPP NRI), salah satunya WPP NRI 711 (Laut Natuna dan Laut China Selatan). Sebelum diterapkan secara menyeluruh, kebijakan itu akan diuji coba di WPP NRI 718 (Laut Aru, Laut Arafura, dan Laut Timor bagian timur).
Nelayan menarik jaring udang di kawasan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) Tanjung Piayu, Batam, Kepulauan Riau, Senin (21/2/2022).
”Siapa yang bisa menjamin kapal-kapal berukuran besar itu nanti bakal menaati kuota dan zona penangkapan yang ditetapkan pemerintah? Contohnya di Kepri ini, banyak sekali pelanggaran yang tidak ditindak karena kurangnya kapal pengawas perikanan,” kata Syukur.
Di Kepri, konflik antara nelayan tradisional dan kapal pukat semakin marak terjadi. Konflik itu terjadi hampir di seluruh wilayah sentra perikanan Kepri, yakni Bintan, Natuna, dan Kepulauan Anambas.
Syukur mengatakan, nelayan tradisional di Bintan baru saja mengadu ke DPRD setempat mengenai kapal-kapal pukat yang beroperasi di zona perairan kurang dari 12 mil. Nelayan tradisional marah karena kapal pukat menyebabkan penangkapan ikan berlebih dan kerusakan terumbu karang.
”Konflik seperti itu bakal semakin sering terjadi apabila pemerintah nantinya mengizinkan korporasi (perikanan) besar masuk, tetapi tidak memperketat pengawasan dan mempertegas penegakan hukum di laut,” ucap Syukur.
Para nelayan ragu pelaku industri perikanan skala besar bakal tertib menangkap ikan sesuai kuota dan zona yang ditetapkan pemerintah.
KOMPAS/PANDU WIYOGA
Seorang warga membeli ikan dari nelayan yang baru pulang melaut di Pelabuhan Teluk Baruk, Desa Sepempang, Kecamatan Bunguran Timur, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, Sabtu (26/3/2022).
Sekretaris Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kepulauan Anambas Dedi Syahputra menambahkan, pemerintah seharusnya mendahulukan kebijakan untuk memberdayakan nelayan tradisional daripada menggelar karpet merah bagi korporasi dalam negeri dan asing.
”Kami tidak mengerti pemerintah sebenarnya berpihak kepada siapa. Mengapa di tengah maraknya illegal fishing (penangkapan ikan ilegal) yang membuat nelayan tradisonal sengsara, pemerintah malah mengundang lebih banyak kapal besar dari luar daerah dan luar negeri untuk menggarap laut kami,” kata Dedi.
Menurut Dedi, pemberdayaan nelayan tradisional di Kepri bisa dimulai dengan meningkatkan armada kapal nelayan dari sebelumnya 3-5 GT menjadi 15-20 GT. Nelayan kecil juga perlu dibekali dengan alat tangkap yang lebih efektif, tetapi tetap ramah lingkungan, seperti pukat cincin (purse seine) mini, pancing rawai (long line), dan pukat cumi (lift nets).
Dalam rapat kerja Komisi IV DPR dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, Selasa (30/8), anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Alimin Abdullah, mengemukakan, sumber daya ikan Indonesia hingga kini terus dicuri nelayan asing, sedangkan nelayan Indonesia belum bisa sejahtera. Oleh karena itu, kebijakan penangkapan terukur dikhawatirkan akan sulit diawasi karena sistem pengawasan yang masih lemah (Kompas, 31/8/2022).