Ekonomi Syariah dan Digitalisasi Dukung Ketahanan Pangan
Perpaduan antara ekonomi syariah dan digitalisasi berpotensi mendukung ketahanan pangan bangsa. Tidak hanya bermanfaat oleh segelintir orang, keberadaannya harus berguna bagi semua kalangan dan lingkungan di sekitarnya.
BANDUNG, KOMPAS — Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar dan memiliki puluhan ribu pesantren, Indonesia berpeluang mengembangkan ekonomi syariah di tingkat global. Ekonomi syariah yang terintegrasi secara digital bahkan dapat mendukung ketahanan pangan di tengah gejolak harga bahan pokok dan potensi tekanan inflasi.
”Ekonomi syariah bisa menjadi instrumen mendorong sumber-sumber ekonomi baru, khususnya di bidang halal value cain (rantai nilai halal) sekaligus juga mendukung pengendalian harga pangan,” ujar Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Juda Agung dalam pembukaan Digital & Sharia Economic Festival (Digisef) di Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (2/9/2022).
Turut hadir secara langsung Gubernur Jabar Ridwan Kamil dan Kepala Perwakilan BI Jabar Herawanto. Sejumlah anggota Komisi XI DPR juga hadir via daring. Dalam kesempatan tersebut juga diluncurkan Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan Jabar.
Rangkaian acara Digisef yang digelar hingga Minggu (4/9) di Cihampelas Walk, Kota Bandung, diisi berbagai diskusi tentang keuangan syariah, ketahanan pangan, hingga pemanfaatan teknologi ramah lingkungan. Selain itu, digelar juga pameran produk sandang dan pangan dari sejumlah pelaku usaha dan pondok pesantren.
Menurut Juda, ekonomi syariah yang mengedepankan ajaran Islam meliputi makanan halal, fesyen, hingga pariwisata ramah Muslim. Dalam skala global, lanjutnya, omzet industri halal mencapai lebih dari 2 triliun dollar AS per tahun. Jumlah itu melebihi produk domestik bruto Indonesia per tahun sekitar 1,2 triliun dollar AS.
Akan tetapi, sebagian besar keuntungan dari ekonomi syariah masih dinikmati negara yang penduduknya mayoritas bukan Muslim. Misalnya, negara eksportir utama daging halal ke negara mayoritas penduduknya Muslim adalah Brasil, India, AS, dan Selandia Baru. Eksportir fesyen Muslim ke negara berpenduduk Muslim juga tercatat dari China, Turki, dan India.
”Potensi (industri halal) ini sangat besar untuk kita kembangkan, baik untuk konsumsi domestik maupun ekspor,” ujar Juda.
Dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, lebih dari 220 juta orang, Indonesia sangat berpeluang mengembangkan ekonomi syariah. Sedikitnya 28.000 pondok pesantren dengan jumlah lebih dari dua juta santri juga tersebar di berbagai daerah.
Baca Juga: Ekonomi Syariah untuk Hadapi Inflasi hingga Jaga Lingkungan
Terintegrasi
Sejauh ini, ekonomi dan keuangan syariah Indonesia menunjukkan tren menggembirakan. Tahun 2021, misalnya, Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai negara dengan pengembangan ekosistem ekonomi keuangan syariah di dunia.
”Akan tetapi, kita tidak boleh puas karena masih banyak yang harus kita lakukan dan manfaatkan,” ujarnya.
Indonesia, misalnya, bisa menggarap ekonomi syariah untuk sektor pangan di tengah kenaikan harga beberapa komoditas. Perang Ukraina dan Rusia telah memicu gejolak harga sejumlah bahan pangan dan meningkatkan inflasi di sejumlah negara. Di AS, inflasi sempat mencapai 10 persen dari biasanya hanya 2 persen, bahkan inflasi Turki pernah menyentuh 80 persen.
Di Indonesia, inflasi pada Agustus tercatat 4,69 persen dan inflasi bahan pangannya 8,93 persen. Bulan sebelumnya, porsi inflasi karena kenaikan bahan pangan mencapai 11,4 persen.
”Inflasi ini harus ditanggulangi karena kenaikan harga pangan akan menggerus daya beli masyarakat dan mengurangi kesejahteraan,” ucapnya.
Kepala Departemen Ekonomi Dan Keuangan Syariah BI Arief Hartawan mengatakan, edukasi, literasi, dan digitalisasi menjadi hal penting saat memopulerkan ekonomi syariah. Tujuannya, agar kebaikan ekonomi dan sosial yang ada dalam keuangan syariah bisa dirasakan dan dimanfaatkan banyak kalangan.
Pengembangan ekonomi syariah yang terintegrasi secara digital, menurut Kepala Perwakilan BI Jabar Herawanto, dapat menjadi solusi menangani gejolak harga pangan. BI Jabar sudah meluncurkan program ekosistem ketahanan pangan terintegrasi dari hulu ke hilir. Di dalamnya, terlibat ponpes, perusahaan teknologi di bidang pangan, pemerintah daerah, hingga pelaku pasar digital.
”Harapannya, ketika semua pihak terlibat, ekonomi syariah bermanfaat untuk semua orang, termasuk lingkungan di sekitarnya. Hal inis sejalan dengan prinsip syariah yang berbasis rahmatan lil alamin, yaitu kebermanfaatan untuk semua,” tuturnya.
Baca Juga: Pasar Modal Syariah Terus Bertumbuh
Kolaborasi
Gubernur Jabar Ridwan Kamil menambahkan, Pemprov Jabar telah memadukan ekonomi syariah dan digitalisasi untuk mengantisipasi gejolak pangan melalui program One Pesantren One Product (OPOP). ”Dengan digitalisasi, pangan yang diproduksi pesantren bisa langsung ke konsumen, tanpa melalui tengkulak sehingga biayanya lebih murah. OPOP juga potensial mengali beragam potensi ekonomi yang dimiliki ponpes,” ujarnya.
Saat ini, lanjutnya, sedikitnya 2.800 ponpes di Jabar telah memiliki usaha, yang sebagian besar di bidang pangan. Dengan jumlah pesantren hampir 9.000 atau sekitar 32 persen dari ponpes di Indonesia, Jabar berpotensi mengembangkan ekonomi syariah.
”Dunia mengalami krisis pangan. Dengan tanah yang subur dan digitalisasi, tiada alasan tidak swasembada di Jabar,” ujarnya.
Kepala Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Jabar Kusmana Hartadji mengatakan, ada sekitar 2.200 ponpes lainnya yang akan ditargetkan untuk ikut serta dalam OPOP hingga tahun 2023. Dengan bantuan pendanaan hingga ratusan juta rupiah dan diberikan 10-15 pendamping tiap pesantren, dia yakin ponpes di Jabar akan semakin mandiri ekonomi.
”Kita harus kurangi persaingan perbanyak kolaborasi. Dalam OPOP, kami sudah berkolaborasi dengan BI untuk masa depan terbaik ponpes di Jabar,” katanya.
Baca Juga: Dorong Pesantren Jadi Bagian Ekosistem Industri Halal