Bangun Gedung Baru Rp 400 Miliar, Pemprov Sultra Dinilai Cederai Kepentingan Publik
Gubernur Sultra Ali Mazi secara resmi memulai pembangunan awal gedung baru pemerintahan senilai Rp 400 miliar. Namun, pembangunan ini dinilai tidak memiliki urgensi, rawan tindak korupsi, dan mencederai kepentingan umum.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi secara resmi menandai dimulainya pembangunan awal gedung baru pemerintahan senilai Rp 400 miliar. Meski kantor yang ada masih layak, bangunan setinggi 22 lantai ini dibangun dengan alasan mengefektifkan roda pemerintahan. Di sisi lain, pembangunan ini dinilai tidak memiliki urgensi, rawan tindak korupsi, dan mencederai kepentingan masyarakat umum yang masih berkutat pada infrastruktur dasar.
Pembangunan tahap awal gedung baru Pemprov Sultra dimulai pada Jumat (2/9/2022) pagi. Gubernur Sultra Ali Mazi menandai pemancangan tiang pertama gedung setinggi 22 lantai yang akan menjadi gedung tertinggi di wilayah ini.
Ali Mazi menuturkan, gedung baru ini telah direncanakan sejak 2018, atau sejak awal masa kepemimpinannya di periode kedua. Gedung ini diupayakan sebagai kantor yang representatif sebagai pusat aktivitas pemerintah yang tersentralisasi dengan fasilitas modern.
”Di seluruh Indonesia, tinggal Sultra yang tidak memiliki gedung berlantai (tinggi). Ada tamu kita ajak ke ruang Gubernur, naik tangga sudah ngos-ngosan. Hari ini sudah modern, tapi kantor masih manual naik tangga,” kata Ali Mazi, dalam sambutannya.
Namun, ia melanjutkan, tujuan utama dari pembangunan gedung ini adalah agar komunikasi antar-OPD serta kegiatan pemerintah daerah bisa jauh lebih lancar. Selama ini, gedung perkantoran saling berjauhan dan menyulitkan saat berkoordinasi.
Hari ini sudah modern, tapi kantor masih manual naik tangga.
Terlebih lagi, Sultra adalah daerah dengan kekayaan alam tinggi, harus memiliki gedung yang representatif untuk menunjang investasi. Gedung baru yang direncanakan selesai pada 2024 ini diharapkan bisa mempermudah koordinasi antarinstansi, pemerintah daerah, dan pelayanan masyarakat.
”Kalau ada kritik, saya kira itu biasa saja. Kita membangun ada yang percaya dan ada yang tidak. Namun, kita jalankan saja karena ini untuk kepentingan masyarakat,” ujarnya.
Kepala Dinas Cipta Karya, Bina Konstruksi, dan Tata Ruang Sultra Pahri Yamsul menyampaikan, pada tahap awal, pembangunan gedung akan menelan biaya Rp 27 miliar. Pembangunan dilakukan secara beberapa tahap dan diproyeksikan selesai pada 2024.
Pada tahap awal ini, ia melanjutkan, akan dilakukan pemancangan sebanyak 341 titik dari total 652 titik. Teknik pemancangan dilakukan dengan teknik hidrolik yang dianggap minim gangguan.
”Selanjutnya akan memakai model tahun berjangka, dengan total anggaran Rp 400 miliar. Gedungnya sendiri setinggi 22 lantai, dengan lantai 23 berupa menara siar, menempati lahan seluas 14,7 hektar. Dengan bangunan yang ada di Kendari saat ini, gedung baru ini nantinya akan menjadi bangunan tertinggi yang mencapai 112,6 meter,” kata Pahri.
Pembangunan gedung baru ini berlokasi tepat di belakang kantor gubernur Sultra saat ini. Gedung yang ada saat ini terlihat masih sangat layak dan megah. Suasana dalam kantor juga layak dan nyaman.
Pegiat antikorupsi dari Universitas Muhammadiyah Kendari, Hariman Satria, menilai, pembangunan gedung baru perkantoran Pemprov Sultra seharusnya tidak dilakukan. Sebab, saat ini tidak ada alasan yang mendesak untuk mengeluarkan dana hampir setengah triliun hanya untuk gedung perkantoran.
”Apa urgensinya bikin gedung baru? Sementara gedung yang ada saat ini masih sangat bagus dan tiap tahun direnovasi. Itu saja lebih sering kosong karena Gubernur lebih banyak berkantor di rumah jabatan. Kecuali gedung yang ada miring atau rusak karena bencana. Ini, kan, semua masih sangat layak,” tutur Hariman.
Untuk alasan efektivitas, ia menjabarkan, hal tersebut tidak relevan lagi. Di masa dengan teknologi yang berkembang, sentralisasi administrasi bukan dalam bentuk fisik, melainkan sistem yang terintegrasi. Rapat virtual bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja, dengan mengandalkan teknologi yang jauh lebih murah.
Paradigma yang dibangun Pemprov Sultra, menurut Hariman, adalah perspektif lama yang melawan kehendak zaman. Saat semua daerah berlomba mengedepankan teknologi informasi, wilayah ini malah berkutat dengan bangunan fisik yang menghamburkan anggaran.
”Dengan model seperti ini, patut diduga pembangunan hanya akan menciptakan ruang koruptif bagi pihak tertentu. Studi kelayakannya seperti apa? Pemenang kontraknya siapa? Belum terlambat bagi pemerintah daerah untuk membatalkan rencana ini,” kata Hariman.
Kisran Makati, dari Pusat Kajian dan Advokasi HAM Sultra, berpendapat, pembangunan gedung yang tidak mendesak menegaskan hasrat Pemprov Sultra untuk terus membangun proyek mercusuar. Mulai dari jalan wisata Toronipa senilai triliunan hingga gedung baru saat ini. Proyek-proyek tersebut tidak mengindahkan kepentingan masyarakat umum yang masih berkutat dengan permasalahan dasar.
Salah satu permasalahan utama masyarakat adalah akses jalan yang rusak berat di banyak tempat. Mulai dari Konawe Selatan, Konawe, hingga Buton Utara dan lokasi lainnya. Penyelesaian infrastruktur jalan akan berdampak luas dan meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Anggaran sebesar Rp 400 miliar adalah angka yang sangat besar dan seharusnya bisa dimanfaatkan untuk sektor yang lebih mendesak. Hanya saja, Pemprov Sultra seperti tidak memiliki kepekaan untuk berbuat sesuatu yang lebih berpihak kepada rakyat.
”Program ini mengagetkan publik dan mencederai kepentingan yang lebih luas. Karena tiba-tiba sudah mau dibangun, padahal yang ada saja masih sangat bagus. Kalau dilihat lebih detail lagi, tahun depan adalah tahun terakhir pasangan Ali Mazi-Lukman Abunawas menjabat. Tentu proyek ini berpotensi mangkrak. Jika Gubernur Ali Mazi ingin meninggalkan warisan, seharusnya sesuatu yang berdampak luas ke masyarakat kecil khususnya,” tuturnya.