Rencana kenaikan harga BBM bersubsidi mendapat respons tak simpatik, terutama beli panik. BBM bersubsidi perlu dialihkan untuk sektor produktif antara lain angkutan umum sehingga lebih tepat sasaran.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Warga Surabaya, Jawa Timur, merespons rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi dengan panik membeli BBM. Mereka menyerbu stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) dan rela mengantre demi mengisi penuh tangki kendaraan dengan pertalite atau solar bersubsidi.
Antrean kendaraan pribadi, baik mobil maupun sepeda motor, mulai mengular sejak Rabu (31/8/2022) selepas pukul 18.00 WIB. Warga menyerbu SPBU dalam pengelolaan PT Pertamina (Persero) atau mitra swasta hampir di seluruh wilayah Surabaya. Di ibu kota Jatim ini, berdasarkan catatan Kementerian ESDM terdapat lebih dari 110 SPBU.
Antrean masih terjadi bahkan selepas SPBU tutup pukul 22.00 WIB. Operasional sebagian SPBU ada yang nonstop atau 24 jam tetapi kebanyakan sudah tutup sebelum tengah malam. Namun, deretan mobil dan sepeda motor masih mengantre, bahkan sampai tengah malam. Mereka yang kehabisan di suatu SPBU akan berkeliling mencari SPBU yang masih buka dan mengantre.
”Pertalite katanya akan naik, selama ini kenaikan harga BBM diumumkan tengah malam,” ujar Supriyanto, warga Jambangan, saat antre dengan sepeda motor di SPBU Kebonsari, Rabu malam. Kalangan warga terpicu informasi sesat bahwa harga BBM bersubsidi, yakni pertalite dan solar, akan naik mulai Kamis (1/9).
”Saya antisipasi saja, terakhir kali beli bensin murah,” kata Susanto, warga Gayungsari, di SPBU Ketintang Madya.
Kalangan pemilik mobil berbahan bakar bensin atau solar juga merasa terpicu beredarnya informasi rencana kenaikan harga BBM per 1 September 2022. Namun, sampai Kamis petang, rencana pemerintah menaikkan harga itu belum terwujud. Pemerintah memang memberi sinyal akan menaikkan harga BBM untuk menekan subsidi yang memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Namun, yang terjadi, pada Kamis, Pertamina malah mengumumkan penurunan harga BBM nonsubsidi. Padahal, harga BBM nonsubsidi sudah naik sejak 3 Agustus 2022 merespons kenaikan harga minyak dunia. Belum sebulan kenaikan, ternyata harga BBM nonsubsidi kembali turun. Per Kamis, di Jatim, harga bensin pertamax turbo menjadi Rp 15.900 per liter dari Rp 17.900 per liter. Solar per liter pertamina dex menjadi Rp 17.400 dari Rp 18.900. Solar dexlite dari Rp 17.800 menjadi Rp 17.100.
Secara terpisah, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Jatim Bambang Haryo Soekartono menilai rencana pemerintah menaikkan harga BBM ternyata mendapat respons yang kurang positif dari masyarakat. Panik membeli (panic buying), yakni dengan rela mengantre, menjadi cara masyarakat untuk mendapatkan BBM dengan harga terjangkau.
Pemerintah dianggap teledor dengan terus mengembuskan informasi bahwa kenaikan harga BBM diperlukan untuk menekan subsidi APBN. Di sisi lain, harga minyak mentah dunia turun dari 120 dollar AS menjadi 90 dollar AS per barel sejak pertengahan Agustus 2022. ”Kebijakan menaikkan harga BBM malah diikuti dengan potensi kelangkaan,” kata Bambang yang juga Ketua Dewan Penasihat Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap).
Bambang menilai pernyataan pemerintah bahwa kuota BBM bersubsidi akan habis pada bulan ini atau bulan depan mengindikasikan manajemen BBM bersubsidi tidak andal. Pemerintah seharusnya menyadari dan bisa mengantisipasi adanya kenaikan konsumsi BBM tahun ini setelah sejak Maret 2020 aktivitas dan mobilitas sosial terganggu oleh serangan pandemi Covid-19.
Selain itu, peningkatan konsumsi BBM menjadi keniscayaan karena ekonomi dan populasi Indonesia bertumbuh. Setiap tahun, kecuali dalam masa pandemi 2020-2021, pertumbuhan ekonomi rata-rata 5 persen dari peningkatan arus barang, jasa, dan aktivitas sosial di darat, laut, dan udara. Ini berkonsekuensi peningkatan konsumsi BBM, terutama yang bersubsidi.
Bambang menolak rencana kenaikan harga BBM bersubsidi. Namun, jika subsidi membuat APBN terbatas, sebaiknya pemerintah mengalihkan sisa kuota BBM bersubsidi untuk sektor produktif, terutama angkutan umum, nelayan dan petani, dan usaha mikro kecil menengah (UMKM). Penyaluran BBM bersubsidi bisa diawasi dengan aplikasi untuk menekan penyalahgunaan. ”Kalau sektor produktif dan transportasi umum memakai BBM nonsubsidi, kebutuhan pokok bisa melonjak dan sulit dikendalikan,” katanya.