Babi Rusa Terjebak Jerat di SM Tanjung Peropa, Pemburu Diduga Terorganisasi
Seekor babi rusa ditemukan terjerat di dalam kawasan Suaka Margasatwa Tanjung Peropa, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Perburuan hewan di kawasan ini semakin marak dan diduga terorganisasi.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Seekor babi rusa ditemukan terjerat di dalam kawasan Suaka Margasatwa Tanjung Peropa, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Hewan dilindungi yang untuk pertama kali ditemukan di kawasan ini, lalu dilepasliarkan. Namun, perburuan yang semakin marak dan diduga terorganisasi, terus meneror keberlangsungan hidup hewan yang terancam punah ini.
Babi rusa (Babyrousa babyrussa) ditemukan terjerat oleh tim Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sultra, di Kolono Timur, Konawe Selatan, pada Selasa (30/8/2022) sore. Tim yang sedang melakukan patroli rutin menemukan hewan yang tergolong dalam Appendix I CITES sejak 1982 ini dalam keadaan terjebak perangkap di kaki depan.
Kepala Seksi Konservasi Wilayah II BKSDA Sultra La Ode Kaida mengungkapkan, babi rusa yang terjebak jerat tersebut ditemukan di blok hutan Ulunese, sekitar 200 meter dari kebun warga. Wilayah suaka marga satwa ini memang berbatasan langsung dengan permukiman warga. Setelah mendokumentasikan, tim lalu berupaya melepaskan hewan tersebut dari jerat dan bisa kembali ke habitatnya.
”Kondisinya, tidak ditemukan luka karena jeratnya dari tali nilon. Diperkirakan, hewan ini terjerat kurang dari satu hari karena tidak lemas. Ini merupakan temuan pertama kali babi rusa di wilayah kerja BKSDA Sultra,” kata Kaida, Rabu (31/8/2022).
Hewan ini, ia menyampaikan, memang diketahui merupakan endemik di kawasan ini. Namun, selama ini, keberadaan babi rusa hanya diketahui berdasarkan informasi masyarakat. Temuan hewan ini menunjukkan kekayaan alam Tanjung Peropa yang tinggi, selain Anoa.
Akan tetapi, tingginya keanekaragaman hewan dilindungi ini terancam oleh ulah para pemburu. Dalam patroli tersebut, tim patroli juga menemukan puluhan jerat dalam satu kawasan. Total ada 82 jerat yang tersebar dalam satu kawasan yang berdekatan.
Menurut Kaida, temuan ini menunjukkan perburuan di dalam kawasan semakin marak dan diduga kuat terorganisasi. Sebab, biasanya temuan jerat hanya satu atau dua. Akan tetapi, kali ini jumlah jerat begitu banyak dengan model dan bahan yang sama.
”Awalnya memang kami dapat informasi bahwa marak pengiriman babi hutan dari Sultra ke daerah lain. Makanya kami melakukan patroli ke kawasan,” katanya.
Salah satu kendala dalam pengawasan, Kaida menambahkan, adalah terbatasnya jumlah personel. Saat ini, hanya ada tiga personel untuk mengawasi kawasan hutan yang dilindungi seluas 38.937 hektar ini.
Ke depan, pihaknya akan mengintensifkan patroli di kawasan. Jika sebelumnya hanya sekali sebulan, akan ditingkatkan hingga tiga kali patroli. Selain itu, penegakan hukum akan dilakukan jika ada temuan para pelaku.
Tidak hanya babi rusa, hewan endemik anoa juga beberapa kali ditemukan terjebak jerat. Pada pertengahan 2019, seekor anoa terluka akibat terjerat jebakan warga di Desa Bangun Jaya, Kecamatan Lainea, Kabupaten Konawe Selatan. Anoa dataran tinggi (Bubalus quarlesi) ini terluka di kaki kiri depan karena jeratan tali.
Hewan ini diperkirakan terus meronta untuk melepaskan diri selama lebih dari dua hari. Gesekan tali membuat kulit kaki terkelupas dan sebuah kukunya juga hampir tercabut. Anoa itu kini masih berada dalam penanganan BKSDA Sultra. Kaki kirinya telah cacat dan kesulitan untuk dilepasliarkan.
Dari data BKSDA Sultra, populasi anoa di wilayah monitoring bertambah meski dengan tingkat pertumbuhan sangat minim. Sejak 2013, pertambahan anoa di wilayah monitoring hanya sekitar 14 ekor. Basis data pemantauan anoa pada 2013 sejumlah 179 ekor, sementara pada 2018 sejumlah 193 ekor.
Sebelumnya, Rosek Nursahid, pendiri ProFauna Indonesia, menegaskan, ancaman serius terhadap keberlangsungan hidup anoa memang terus tinggi. Selain perburuan, perambahan hutan juga menjadi pemicu utama. ”Dalam beberapa kasus, para perambah, penebang liar yang tinggal di hutan ikut memburu anoa untuk diperjualbelikan. Mereka sekalian melakukan perburuan hewan ketika berada di dalam hutan,” katanya.
Selain itu, dia menambahkan, pembukaan hutan dengan berbagai tujuan membuat hewan yang tinggal di dalamnya terusik, lalu mencari tempat lain di luar kawasan. Saat keluar, hewan itu menjadi sasaran empuk pemburu atau terjadi konflik dengan masyarakat.
Oleh karena itu, ujar Rosek, program pemantauan harus terus dilakukan untuk menjaga kelestarian hewan endemik ini. Patroli rutin harus selalu dijalankan agar kasus perburuan semakin berkurang.