Warga Eks Timor Timur Korban Badai Seroja Menanti Bantuan Rumah
Ratusan warga eks Timor Timur datang ke kantor Desa Tua Pukan di Kabupaten Kupang mempertanyakan hak mereka saat Badai Seroja datang. Mereka merasa diperlakukan tidak adil oleh pemerintah daerah setempat.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
Sangat sulit mencari kantor Desa Tua Pukan, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Papan nama kantor dengan ketinggian 30 sentimeter dari permukaan tanah berada di balik rerimbunan pohon bugenvil. Hanya terbaca jelas tulisan kantor pos polisi di samping bangunan milik kantor desa yang menonjol ke arah Jalan Raya Timor.
Di depan bangunan kantor desa itu duduk berjajar segerombolan orang, Selasa (30/8/2022). Terdengar suara penjelasan dari seorang pria paruh baya, berbaju warna kaki. ”Semua data ini saya sudah kirimkan ke BPBD Kabupaten Kupang. Tetapi kenapa nama-nama itu tidak terakomodir dalam bantuan Seroja ini,” kata pria itu.
Pria itu adalah Kepala Desa Tua Pukan Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, Martinus La Nabe.
Martinus diapit petugas Badan Pembina Desa (Babinsa) dan Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Babhinkantibmas) Tua Pukan dan beberapa perangkat desa. Mereka menerima warga eks pengungsi Timor Timur (Timtim) yang tinggal di Kamp Pengungsian Tua Pukan sejak 1999 sampai hari ini. Jumlah mereka yang datang ke kantor itu 120 keluarga. Pertemuan berlangsung di depan pintu masuk kantor desa.
Mereka menyimak dengan seksama apa yang disampaikan kepala desa. Tidak ada yang menggerutu atau menyela pembicaraan Martinus La Nabe. Kepala desa putra asli Tua Pukan itu berjanji, mengajukan nama-nama yang belum mendapatkan bantuan ke Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Kupang.
“Kami harap segera mungkin ada jawaban,” kata Koordinator Eks Pengungsi Tua Pukan, Marcelo Lopes, menjawab pembicaraan kepala desa.
Daftar nama yang tertera, 100 persen penduduk lokal. Kami sebagai warga eks Timtim, tidak terima sama sekali.
Lopes kemudian menjelaskan, saat badai Seroja datang, sebagian warga kamp mengungsi ke rumah Kepala Desa Simon Gadas, yang saat ini sudah purna tugas. Rumah itu permanen, berdiri kokoh dan tak tergoyahkan. Sebagian penghuni kamp mengungsi ke rumah aparat desa lain, dan rumah warga yang rumahnya masih kokoh.
“Tetapi mereka itu mendapatkan bantuan dana stimulant perbaikan rumah. Masing-masing Rp 10 juta untuk rusak ringan, Rp 20 juta untuk rusak sedang, dan Rp 50 juta untuk berat. Rumah para penerima bantuan itu ternyata sama sekali tidak mengalami kerusakan. Sementara rumah kami roboh rata dengan tanah, dan semua harta benda hanyut dibawa banjir saat itu, tidak diganti satu unit pun,” kata Lopes dengan nada kesal.
Mantan Komandan Milisi “Makikit” Timor Timur ini menuturkan, usai badai itu, aparatur desa dan tim dari BPBD Kabupaten Kupang turun mendata kerusakan. Satu per satu rumah warga didata, sekaligus difoto. Memperkuat data itu, warga pemilik rumah pun diminta memberi laporan langsung ke Posko Pengaduan di Oelamasi, ibu kota kabupaten, berjarak 10 km dari Tua Pukan.
Masing-masing warga datang sambil membawa foto rumah yang rusak, beserta data-data kerusakan, data jenis rumah, nama pemilik, kartu keluarga, dan kartu tanda penduduk. “Saya yang menggerakan mereka ke sana, dan ramai-ramai memberi laporan kerusakan itu,” katanya.
Setelah menunggu hampir 1 tahun, bantuan pertama cair pada 10 Maret 2022, tetapi tidak satu pun warga kamp menerima bantuan itu. Warga tetap sabar. Mereka menunggu sampai bantuan tahap kedua, 28 Agustus 2022. Warga ramai-rama ke kantor desa, membaca daftar nama yang tertera di papan pengumuman. Lagi-lagi tidak satu pun diantara mereka tercatat sebagai penerima bantuan.
“Daftar nama yang tertera, 100 persen penduduk lokal. Kami sebagai warga eks Timtim, tidak terima sama sekali. Padahal, jika diamati langsung di lapangan, para penerima bantuan itu tidak layak menerima. Mereka itu tidak mengalami kerusakan apapun, dan termasuk warga mampu,” kata Lopes.
Deanlinda Belo (48) perempuan penghuni kamp mengajak melihat langsung rumah kediamannya, sekitar 100 meter dari kantor desa. Dengan penuh emosi, perempuan lima anak ini mengatakan, sejak badai Seroja sampai hari ini, ia bersama anak-anak dan tiga cucu tidur di lantai.
Kerusakan itu semestinya masuk kategori rusak berat, dengan dana bantuan Rp 50 juta per unit. Namun, ia sama sekali mendapatkan bantuan apa pun. Ia pun curiga, data-data itu tidak diakomodir pihak BPBD Kupang ke pemerintah pusat.
Saya akan mengadukan juga nama-nama yang sudah terdata resmi tetapi belum mendapatkan bantuan itu
Dalam pertemuan dengan kepala desa, disampaikan bahwa data itu sudah disampaikan ke BPBD. "Entah benar atau tidak, kita percaya saja. Saya juga tidak mau pergi tanya di BPBD. Nanti juga dijawab bahwa BPBD tidak pernah mendapat data kerusakan itu dari penghuni Kamp Tua Pukan. Ini alasan klasik yang selama ini kami dapatkan. Mereka saling lempar tanggungjawab,” kata Belo.
Ibu rumah tangga ini mengatakan, sejak menempati Kamp Tua Pukan tahun 1999 sampai hari ini, belum mendapat bantuan sosial apa pun dari pemerintah, melalui aparat desa setempat. Hanya menerima bantuan bahan pokok dari sejumlah pendonor yang datang berkunjung ke lokasi itu.
Tomy Freitas (48) warga Kamp Tua Pukan lain mengatakan, sejak 1999 sampai hari ini, ia dan rekan-rekan diperlakukan sebagai warga kelas dua di negeri ini. Kecintaannya terhadap NKRI diperlihatkan dengan meninggalkan tanah asal Baucau Timor Leste dan sanak keluarga lain di sana.
“Sudah 23 tahun saya tempati lokasi ini. Saya tidak punya lahan olahan. Tempat tinggal pun hanya berukuran 4x5 meter per segi, dengan penghuni 12 anggota keluarga di dalamnya. Kami tidak punya pekerjaan tetap. Belum lagi diperlakukan tidak adil dalam pemberian bantuan sosial,” kata Freitas.
Kepala Desa Tua Pukan Martinus La Nabe mengatakan, bantuan perumahan Seroja tahap pertama cair Juli 2022 sebanyak 81 keluarga untuk rumah rusak ringan, tahap kedua, 28 Agustus 2022 sebanyak 45 keluarga rumah rusak sedang, 43 kelurga rusak ringan, dan 2 keluarga rusak berat. “Yang lain belum cair. Kita tunggu saja,” katanya.
Total warga penerima bantuan perumahan di desa itu sebanyak 250 keluarga, sesuai Surat Keputusan Bupati Kupang. Data yang dikirim dari desa sebanyak 325 keluarga.
Mengenai tuntutan warga penghuni Kamp yang belum mendapat bantuan, akan disampaikan ke BPBD Kupang. “Saya akan mengadukan juga nama-nama yang sudah terdata resmi tetapi belum mendapatkan bantuan itu,” kata Nabe.
Ia membantah ada diskriminasi suku dan agama di desa itu. Semua jenis bantuan pemerintah, didistribusikan sesuai mekanisme yang berlaku. Tidak ada rekayasa data atau sikap diskriminasi lain.