Dalam festival itu, film-film produksi Aceh Documentary akan diputar di ruang terbuka, seperti di lapangan desa atau di halaman menasah.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Setelah absen empat tahun, Aceh Film Festival kembali digelar. Puluhan film produksi sineas Aceh dan Asia Tenggara akan disuguhkan kepada warga desa.
Aceh Film Festival merupakan program tahunan dari komunitas Aceh Documentary. Salah satu kegiatannya adalah Gampong/Kampung Film, yakni pemutaran film di lima kampung di Kabupaten Aceh Besar, Banda Aceh, Pidie, Aceh Jaya, dan Aceh Barat. Aceh Film Festival dimulai 28 Agustus dan berakhir 18 September 2022.
Direktur festival Jamaluddin Phonna, dihubungi pada Senin (29/8/2022), mengatakan, pandemi membuat agenda dua tahunan itu sempat terhenti. Selama pandemi, selain tidak dibolehkan aktivitas yang mengundang keramaian, bantuan pendanaan untuk agenda-agenda kreatif juga terbatas.
Jamaluddin menuturkan, dalam festival itu, film-film produksi Aceh Documentary akan diputar di ruang terbuka, seperti di lapangan desa atau di halaman menasah. Sebuah layar ditancapkan sebagai ganti bioskop bagi warga desa.
”Menonton film melalui pemutaran layar tancap di lapangan terbuka merupakan bagian dari memori masa lalu masyarakat Aceh. Dimulai sejak pementasan sandiwara teater, masyarakat Aceh sudah terbiasa untuk berkumpul menyaksikan pertunjukan,” katanya.
Namun, pada masa konflik, budaya nonton layar tancap terhenti. Pada masa konflik Aceh diberlakukan jam malam. Pada saat itu warga harus berdiam diri di rumah pada malam hari.
Pascadamai 2005, malam-malam di Aceh mulai ramai. Aktivitas sineas lokal mulai bangkit dan melahirkan film bertemakan Aceh. Namun, bagi publik Aceh, tidak mudah mengakses film-film bagus sebab di Aceh tidak tersedia bioskop.
Jamaluddin mengatakan, kehadiran Aceh Film Festival bertujuan untuk mengembalikan kenangan sinema yang pernah dirasakan warga Aceh. Konflik, tsunami, dan pandemi Covid-19 membuat warga semakin jauh dari film berkualitas.
Layar tancap juga menjadi ruang perekat antarwarga.
Aceh Film Festival pertama kali digelar pada 2017. Selain nonton bersama, juga diadakan kompetisi produksi film yang difokuskan untuk sineas muda atau pemula. Sejak 2017 hingga 2022, puluhan film telah lahir dari program tersebut.
Lima desa yang jadi lokasi nonton bersama merupakan desa terpencil. Mereka ingin menghadirkan lorong bagi warga untuk menggali kenangan sinema.
”Layar tancap juga menjadi ruang perekat antarwarga. Mereka nonton bersama di lapangan, lahir interaksi sosial,” ujar Jamaluddin.
Beberapa film yang akan diputar berjudul Suloh, Jalan Darurat, Rintih di Tanah yang Pilu, Surat Kaleng 1949, dan Black Note. Film tersebut karya sineas muda Aceh yang tergabung dalam Aceh Documentary.
”Saat ini tim sedang mengurasi film-film dari sineas Aceh. Film dari negara Asia Tenggara juga akan kami putar,” katanya.
Salah seorang sineas Aceh, Akbar Rafsanjani, mengatakan, program Gampong Film menjadi jembatan mendekatkan warga yang belakangan kian terpecah belah.
Akbar menambahkan, layar tancap juga menjadi media belajar dan apresiasi bagi sineas Aceh.
”Festival film juga untuk menjembatani filmmaker di Asia dengan penonton yang di Aceh, begitu pula dengan filmmaker di Aceh dengan penonton Asia,” pungkasnya.