Ironi Jejak Pejabat di Taman Kota dan Hutan Lindung NTT
Seremonial penanaman pohon oleh pejabat pemerintah di setiap taman dan kawasan hutan, belum punya pengaruh bagi pengembangan lingkungan di wilayah itu.
Sejumlah nama pejabat pusat dan daerah tertera di sejumlah taman kota dan di hutan lindung di Nusa Tenggara Timur, bertujuan mendorong masyarakat memajukan lingkungan yang dikenal kering dan gersang. Puluhan tahun berselang, kegiatan seremonial pejabat itu tidak banyak pengaruh pada lingkungan. Kekeringan ekstrem pun terus mengancam yang berdampak pada gagal panen, gizi buruk, dan tengkes.
Kota Kupang sebagai pusat ibu kota provinsi misalnya, memiliki Taman Nostalgia yang cukup ramai dikunjungi. Pengamatan di Taman Nostalgia, Minggu (28/8/2022), hampir setiap saat selalu ada warga berkunjung dan bercengkerama di dalam taman itu. Aktivitas warga di dalam taman itu bahkan berlangsung sampai larut malam, setiap hari.
Taman Nostalgia Kupang (TNK) ini diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014), Kamis (10/2/2011), satu hari setelah peringatan hari Pers Nasional. Peristiwa peresmian TNK seluas 1 hektar itu, SBY menanam satu anakan cendana, diikuti almarhrum Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Frans Lebu Raya (2008-2018), Menteri Kehutanan saat itu Zulkifli Hasan (2009-2014), dan sejumlah pejabat pusat dan pejabat daerah lainnya.
Nama-nama pejabat Negara itu masih tertera jelas pada papan nama mini yang disandingkan di samping pohon cendana, masih berdiri utuh sampai hari ini. Tulisan nama para pejabat ini pun sering dibaca dan difoto pengunjung.Ada rasa hormat dan sayang terhadap nama-nama yang tertera di dalam taman itu.
Baca Juga: Bernostalgia di Taman Wisaat Nostalgia Alor
Agustinus Todo (27), warga Oebobo Kota Kupang, yang mengaku sering mengunjungi TNK mengatakan, cendana di dalam TNK itu ditanam11 tahun silam oleh pengelola taman termasuk para pejabat negara, tetapi kondisi pohon cendana masih kerdil. Tinggi pohon baru mencapaisekitar 25 sentimeter.
”Tahun ini semua pohon di TNK relatif hijau karena masih sering hujan dan kondisi cuaca yang lembab di musim kemarau ini. Biasanya musim kemarau seperti sekarang semua tanaman meranggas,” kata kelahiran Adonara, Flores Timur, ini.
Ia pun mengaku membaca nama sejumlah pejabat negara yang tertera di dalam TNK itu. Nama itu hanya sekadar memberi petunjuk kepada masyarakat bahwa mereka yang menanam anakan pohon itu. Akan tetapi, tidak memberi makna apa pun bagi yang membaca. Masyarakat tidak peduli dengan nama-nama itu, apalagi setelah mereka tidak berkuasa lagi.
Mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Kota Kupang ini mengatakan, tujuan penanaman pohon oleh pejabat negara, semestinya bertujuan mengajak masyarakat agar melakukan hal yang sama,menanam pohon sebanyak-banyaknya. Namun, sebaliknya, masyarakat justru kembali merusak tanaman itu, meskipun di dalam TNK. Hanya di situ ada petugas yang menjaga dan merawat sehingga warga takut merusak.
Baca Juga: Gong ”Perdamaian" dan Taman Nostalgia Kupang
Perubahan iklim yang tidak menentu saat ini, ditandai dengan kekeringan ekstrem setiap tahun melanda sebagian besar wilayah NTT, belum menggerakkan hati pengambil kebijakan untuk bertindak mencegah.
Di luar TNK, seperti di sebelah utara Bendungan Tilong, Kabupaten Kupang, yang ditanam, Selasa (29/11/2016), oleh Kementerian PUPR diwakili Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara II , Deppy Cipta. Penanaman saat itu bertujuan melindungi bendungan dari ancaman pengendapan sedimentasi akibat longsoran, menjaga sumber mata air, dan melindungi ekosistem secara keseluruhan.
Jenis anakan yang ditanam saat itu, antara lain, mahoni, jati lokal, bambu, dan anakan trambosi. Tetapi, tidak satu dari 5.000 anakan pohon itu tumbuh dan berkembang. Bahkan, lokasi penghijauan itu kini berubah menjadi jalan alat berat, pembangunan bendungan Manikin. Bendungan Tilong pun mengalami pendangkalan luar biasa, bahkan sampai terancam kekeringan pada 2020.
Kegiatan serupa sebelumnya, Rabu (2/12/2015), berlangsung di Kelurahan Naioni Kota Kupang oleh Ny Erni Guntarti Kumolo dan sejumlah pengurus PKK pusat, didampingi Ny Lusia Lebu Raya dalam rangka peringatan Hari Bumi. Mereka melakukan penanaman di areal 2.000 meter persegi, sebagai penghijauan percontohan bagi masyarakat setempat.
Sayang, kawasan itu terbakar tahun 2017, termasuk lahan cendana seluas 4.000 meter persegi di kelurahan itu. Lebih ironi lagi, kebakaran itu berada di Kota Kupang, kota provinsi yang dihuni para pejabat provinsi dan kota, anggota DPRD, pengusaha, dan pejabat BUMN. Perilaku membakar tak mengenal pejabat daerah termasuk sejumlah kebijakan mengani pelestarian lingkungan.
Baca Juga: Kebakaran Lahan di NTT Ancam Cadangan Pangan
Sementara sejumlah taman nasional, hutan lindung, dan cagar alam mengalami nasib serupa. Kebakaran, penebangan liar,dan pelepasliaran hewan peliharaan di dalam kawasan hutan itu sudah menjadi tradisi tahunan. Masyarakat paham bahwa kawasan hutan itu dilarang untuk dirusak, bahkan masyarakat pun dilarang beraktivitas di dalamnya sebagaimana keberadaan sejumlah tanda larangan yang dipajang petugas. Tetapi, kerusakan hutan tetap tidak terhindarkan.
Taman Nasional Lay Wangge Wanggameti di Sumba Timur, misalnya, setiap tahun terjadi kebakaran. Bahkan, kasus kebakaran itu hanya terjadibeberapa meter dari Kantor Pengawas Taman. Demikian pula kasus kebakaran di dalam kawasan Cagar Alam Mutis di Timor Tengah Selatan, dan Timor Tengah Utara, dan Cagar Alam Gunung Egon Ili Medo, Sikka.
Setiap kawasan taman nasional, cagar alam, dan kawasan hutan lindung lain pun selalu dipasang papan peringatan agar masyarakat tidak melakukan aktivitas di dalam kawasan itu. Meski ada peringatan itu, kebakaran, dan kegiatan masyarakat, termasuk pengambilan hasil hutan di dalam kawasan itu sulit terbendung.
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Flores-Lembata, Philip Kammy mengatakan, kegiatan seremonial penanaman pohon itu tidak berdampak bagi masyarakat. Kegiatan itu hanya sekadar memenuhi jadwal kunjungan pejabat di suatu daerah, tetapi sebenarnya tidak memberi makna apa pun bagi lingkungan di daerah itu secara keseluruhan.
Baca Juga: Kebakaran Hutan dan Gagal Panen di NTT, Siapa Peduli?
Sudah puluhan tahun ritual penanaman pohon oleh pejabat itu berlangsung. Kondisi hutan di NTT terus terdegradasi. Belum ada kebijakan bagaimana mengatasi kebakaran, penebangan liar, pembukaan lahan, dan bentuk-bentuk perusakan hutan lainnya. Pemerintah seakan membiarkan kebakaran itu. Belum ada kebijakan bagaimana mencegah kebakaran dan bentuk kerusakan hutan lainnya di NTT, dengan sanksi yang tegas.
”Perubahan iklim yang tidak menentu saat ini, ditandai dengan kekeringan ekstrem setiap tahun melanda sebagian besar wilayah NTT, belum menggerakkan hati pengambil kebijakan untukbertindak mencegah.Pembukaan lahan baru dan upaya mendapatkan pakan ternak setelah lahan dibakar, menjadi alasan pembiaran itu,” kata Kammy.
Kebakaran itu pula akibat ketidakpuasan masyarakat sekitar lahan oleh kebijakan pemerintah yang dinilai kurang berpihak. Tindakan membakar hutan sebagai salah satu ekspresiwarga atas ketidakpuasan itu. Pemerintah sebaiknya sering membuka ruang dialog dengan warga sekitar kawasan hutan lindung atau taman nasional.
Ia mengaku, tahun ini pihak BMKG wilayah NTT tidak lagi menginformasikan titik panas (hot spot) seperti tahun-tahun sebelumnya. BMKG hanya memublikasikan daerah-daerah yang rawan terbakar akibat kekeringan ekstrem agar masyarakat hendaknya mewaspadai wilayah itu dari aktivitas yang menggunakan api.
Baca Juga: Sebaran Titik Panas Meluas di NTT
Perubahan kebijakan informasi publik ini semakin merusak lingkungan hidup di NTT. ”Kebakaran semakin menjadi, tetapi sulit dipublikasi, terutama di daerah-daerah perdesaan terpencil dan jauh dari pantauan media massa,” katanya.
Kekeringan ekstrem yang melanda 15-18 kabupaten/kota setiap tahun di NTT, pun belum mengingatkan pemerintah dan masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan. Kekeringan itu menyebabkan gagal panen, rawan pangan, gizi buruk, dan kasus stunting atau tengkes melanda ana-anak.
Kesadaran masyarakat secara induvidu untuk merawat hutan sekitar pun hampir tidak ada. Bahkan, sejumlah ritual adat yang diadakan para tetua adatuntuk menjaga kawasan hutan dengan sumber-sumber mata air di dalamnya, pun dilanggar. Hutan itu tetap terbakar. Ritual adat itu hanya seremonial semata.
Ini, sama halnya dengan aksi pejabat negara baik pusat maupun daerah, ramai-ramai menanam pohon di kawasan taman kota dan hutan lindung, tetapi hutan itu tetap dibakar atau tidak terawat. Meski demikian, para pengambil kebijakan dan masyarakat lokal menilai kasus kebakaran dan kerusakan itu sebagai hal yang lumrah.
Baca Juga: Kidung Duka Kerusakan Alam yang Tidak Terekendali di NTT
Sangat ironi. ”Seremonial penanaman pohon oleh pejabat negara sebaiknya dihentikan. Lebih elok kalau pemerintah membuat larangan merusak hutan, dengan sanksi yang tegas. Sanksi itu harus diterapkan manakala hutan itu dibakar atau pun terbakar,” kata Kammy.