Festival kesenian tradisional Mentawai menjadi wadah untuk memupuk kebanggaan generasi muda pada adat dan kebudayaan warisan leluhur.
Oleh
YOLA SASTRA
·4 menit baca
Tiga bocah laki-laki membentuk pola melingkar di atas panggung papan. Lengan dikembangkan dan dikepak pelan seperti terbang, sedangkan kaki ditekuk-tekuk separuh. Kepala dan badan bergerak lambat kiri-kanan. Tabuhan gajeuma dan alat musik pukul lainnya mengiringi tarian.
Pada momen tertentu, para penari sesekali ”terbang” meliuk-liuk. Gerakan tersebut disusul entakan-entakan kaki seirama dengan musik pengiring. Setelah beberapa kali langkah maju-mundur, mereka bergerak melingkar dengan kaki terus mengentak-entak.
Penari cilik itu berpakaian seperti sikerei—ahli pengobatan dan pemimpin ritual adat suku Mentawai—saat menari. Ada luat (ikat kepala), kabit (cawat), sabok (hiasan penutup cawat), tuddak (sejenis kalung), dan lainnya. Lengan dan pinggang dihiasi dedaunan. Di badan, juga ada tiruan titi, tato tradisional Mentawai, yang dilukis dengan tinta spidol.
Tempo tarian dan musik semakin cepat. Gerakan menjadi lebih dinamis. Dua penari bergantian ”menyerang” penari lainnya. Mereka seperti berkelahi di udara. Serangan demi serang yang dilancarkan bergiliran disambut sorak meriah penonton di Balai Dusun Madobag.
”Ini turuk laggai uliat leituak, bercerita tentang kelelawar sedang berebut makanan, rambutan, di hutan,” kata Yohannes (14) usai menampilkan tarian itu di Desa Madobag, Kecamatan Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Sabtu (30/7/2022).
Turuk Laggai merupakan tarian tradisional Mentawai. Biasanya tarian ini dimainkan oleh tiga sikerei saat acara adat. Selain uliat (meniru) leituak (kelelawar), tarian ini juga punya variasi lain, yaitu uliat gougou (ayam), bilou (siamang kerdil), manyang (elang), dan lainnya.
Turuk Laggai diciptakan nenek moyang suku Mentawai terinpirasi dari hewan-hewan yang mereka jumpai saat berburu di hutan. Hal tersebut sekaligus menandakan kedekatan masyarakat adat dengan hutan. ”Apa yang ada di hutan dilihat, bagus, di rumah dijadikan tarian,” kata Aman Gebak Kunen (73), sikerei di Desa Madobag.
Pada kesempatan itu, Yohannes menari bersama dua teman satu sekolahnya di SD 07 Madobag, yaitu Mateus Sagoroujou (11) dan Benediktus Saleleubaja (14). Ketiganya juga murid dari Sanggar Manai Simeru asal Dusun Madobag.
”Sebelumnya kami juga pernah menampilkan uliat manyang. Saya suka menari karena ini kebudayaan orang Mentawai dan saya ingin menjaganya,” kata Yohannes, yang mulai menari sejak usia sembilan tahun.
Yohannes dan kawan-kawannya satu kelompok dari enam sekolah adat/sanggar yang tampil dalam Festival Pagelaran Budaya Mentawai Program Pendidikan Budaya dan Ekologi Tradisional Mentawai. Enam sekolah adat dari tiga desa ini, yaitu Madobag, Muntei, dan Maileppet, dibina oleh Yayasan Pendidikan Budaya Mentawai.
Dalam festival, setiap sekolah adat menampilkan dua kelompok, yaitu Turuk Laggai dan tari kreasi daerah Mentawai. Ratusan murid sekolah adat, dari usia SD hingga SMA, bersemangat mengikuti festival. Warga sekitar juga antusias menyaksikan penampilan murid-murid.
Ketua Yayasan Pendidikan Budaya Mentawai Fransiskus Yanuarius Mendrofa menjelaskan, festival yang diadakan sejak lima tahun terakhir ini merupakan bagian evaluasi belajar murid sekolah adat binaan yayasan.
Sebelumnya, dari Januari hingga Juni, murid belajar kebudayaan Mentawai dengan tokoh ada setempat sekali sepekan. Murid diajarkan berbagai pengetahuan, keterampilan, kesenian, dan kearifan lokal masyarakat Mentawai. Di akhir semester, diberi kesempatan untuk menampilkan kesenian.
”Intinya di sini bukan festivalnya, melainkan bagaimana mereka bisa percaya diri menunjukkan, ’Saya orang Mentawai. Saya punya budaya. Saya bangga dengan identitas saya. Maka, saya berani menunjukkan itu kepada semua orang’,” kata Yanuarius.
Yanuarius melanjutkan, yayasan ini memulai program sekolah adat sejak 2018. Program ini muncul atas keprihatinan yayasan yang melihat sebagian generasi muda Mentawai kesulitan akses untuk mempelajari budaya Mentawai secara intensif.
Zaman semakin berkembang. Keberadaan dan fungsi uma, rumah tradisional Mentawai, sebagai wadah mentrasnfer nilai-nilai budaya semakin jarang dan memudar. Apalagi kebanyakan anak-anak merantau karena sekolah jauh dari rumah.
”Jadi, kami melihat anak-anak ini perlu akses belajar budaya, selain juga di sekolah itu tidak diajarkan. Kemudian bahasa, yang menurut kami sangat unik, yang sangat penting dilestarikan, kami fasilitasi untuk belajar di sini,” ujar Yanuarius.
Menurut Yanuarius, adat dan kebudayaan Mentawai mesti terus dilestarikan. Para leluhur mengajarkan masyarakat agar hidup selaras dengan alam. Maka, dalam sekolah adat, yayasan juga menanamkan kepada murid agar tidak merusak alam Mentawai nan permai.
Tokoh masyarakat Desa Madobag, Malaikat Sabaggalet (52), mengatakan, festival tersebut menjadi upaya memotivasi generasi muda untuk melestarikan kebudayaan Mentawai. ”Dengan adanya festival seperti ini budaya bisa lebih terjaga, apalagi (pemerintah) sudah mendukung wisata adat,” katanya.
Menurut Kepala Dusun Malabbait ini, sebelumnya, adat dan budaya Mentawai nyaris hilang. Pada periode 1950 hingga 1980-an, ada pelarangan oleh pemerintah terhadap kepercayaan dan ritual adat Mentawai. ”Di Sikakap dan Sipora sudah hilang, tinggal kami lagi di sini (Siberut) yang melanjutkan,” ujarnya.
Aman Gebak Kunen juga menyambut baik diadakannya festival tersebut. ”Saya senang anak-anak mau menari, melanjutkannya (kesenian tradisi), bagi siapa yang tertarik,” katanya.