Tolak Tambang Seng dan Timbal, Warga Dairi Unjuk Rasa di Medan dan Jakarta
Warga Kabupaten Dairi kembali berunjuk rasa di Dairi, Medan, dan Jakarta secara serentak. Mereka menolak tambang seng dan timbal PT Dairi Prima Mineral karena dinilai mengancam keselamatan warga dan merusak lingkungan.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Warga Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, kembali berunjuk rasa di Dairi, Medan, dan Jakarta secara serentak, Rabu (24/8/2022). Mereka menolak tambang seng dan timbal PT Dairi Prima Mineral karena membuka kawasan hutan lindung serta membangun gudang peledak dekat permukiman dan bendungan limbah di hulu permukiman.
”Sejak perusahaan melakukan eksplorasi dan pembangunan bendungan limbah, kami sudah merasakan dampaknya. Sudah beberapa kali banjir bandang terjadi hingga menelan korban jiwa. Hasil pertanian kami juga menurun,” kata Ungkap Naibaho (53), warga Desa Pandiangan, Dairi, saat berunjuk rasa di depan kantor Konsulat Jenderal Republik Rakyat China di Medan.
Mereka berunjuk rasa dengan meletakkan hasil pertanian berupa durian, cokelat, kapulaga, gambir, jeruk purut, dan lainnya di depan gerbang Konjen China. Mereka juga membentangkan beberapa poster dan spanduk penolakan tambang PT Dairi Prima Mineral (DPM). Beberapa warga juga melakukan tradisi lisan Batak, mangandung (meratap sambil menangis), dalam menyampaikan aspirasi.
Aspirasi serupa disampaikan di depan Kantor Bupati Dairi, Kantor Kedutaan Besar Republik Rakyat China, serta Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta.
Ungkap mengatakan, mereka berunjuk rasa di Kantor Kedubes dan Konjen China untuk meminta Pemerintah China mengevaluasi investasi dalam pembangunan tambang PT DPM di Dairi. China disebut membiayai pertambangan itu melalui China Nonferrous Metal Industry’s Foreign Engineering and Construction Co (NFC).
Menurut Ungkap, pertambangan seng dan timbal itu ditolak warga karena membuka kawasan hutan lindung serta membangun gudang peledak dekat permukiman dan bendungan limbah di hulu permukiman yang dikhawatirkan rentan jebol karena gempa.
”Bendungan limbah di hulu desa itu seperti bom waktu yang kapan saja bisa jebol dan mengempas permukiman warga,” katanya.
Pembangunan tambang itu digagas sejak tahun 2005 dan langsung mendapat penolakan keras dari masyarakat. Pembangunannya kemudian berhenti total pada 2012 hingga 2017 karena penolakan warga. Namun, pembangunan dilanjutkan pada 2017.
Kementerian ESDM masih mengajukan kasasi dan belum membuka informasi itu.
Koordinator Divisi Studi dan Advokasi Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu) Juniati Aritonang menyebutkan, warga desa yang berada di dekat pertambangan itu telah membuat pengaduan ke Compliance Advisor Ombudsman (CAO). CAO merupakan kantor penasihat kepatuhan yang mengawasi International Finance Corporation (IFC), anggota Bank Dunia yang juga membiayai PT DPM.
”CAO pun menyebutkan tambang PT DPM memiliki kombinasi risiko yang tinggi karena pembangunan bendungan limbah yang tidak sesuai dengan standar internasional,” kata Juniati.
Laporan CAO tersebut dikuatkan pendapat dua ahli, yaitu ahli hidrologi Steve Emerman dan ahli bendungan Richard Meehan. Ahli itu menyebut rencana pertambangan tidak tepat karena lokasinya berada di hulu desa, di atas tanah yang tidak stabil dan kerawanan gempa tertinggi di dunia. Data PT DPM pun disebut tidak lengkap, khususnya tentang pengelolaan dan penyimpanan limbah.
Juniati mengatakan, warga juga sudah mengajukan gugatan keterbukaan informasi publik yang meminta dokumen kontrak karya antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan PT DPM dibuka. Gugatan masyarakat dikabulkan di Komisi Informasi Pusat RI dan juga di tingkat banding di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.
”Namun, Kementerian ESDM masih mengajukan kasasi dan belum membuka informasi itu,” kata Juniati.
Terkait unjuk rasa itu, Head of HSE and Corporate Relations PT Bumi Resources Minerals, induk PT DPM, Achmad Zulkarnain belum menanggapi permintaan wawancara Kompas hingga Rabu (24/8/2022) pukul 21.00.
Sebelumnya, Zulkarnain menyebut, perusahaannya mengedepankan perlindungan masyarakat dan konservasi lingkungan dalam semua aktivitas pertambangannya. Perusahaan itu pun berhenti beroperasi untuk sementara waktu karena ada penolakan warga.
Perusahaan juga sedang menunggu persetujuan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Perusahaan sudah mendapat persetujuan amdal pada 2005. Namun, dilakukan adendum amdal pada 2019 dan masih menunggu persetujuan KLHK.