Saat Ongkos Tanam Padi Menggerus Keuntungan Petani
Hasil panen petani belum bisa memenuhi semua kebutuhan. Petani masih harus bekerja di tempat lain untuk mencukupi kebutuhannya.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·4 menit baca
Yunus (67) sibuk menancapkan bambu guna menahan pematang sawahnya yang kurang kokoh, Rabu (24/8/2022). Lahan itu mulai mengering setelah beberapa hari tidak diguyur hujan. Panen padi Juni lalu masih menyisakan jerami kecoklatan dengan tunas hijau menyembul di bagian pucuk.
Salah satu petani di Desa Langlang, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, itu belum memiliki rencana pasti kapan akan kembali menanam padi dalam waktu dekat. Kemungkinan dia baru akan memulai tanam pada Oktober atau setelah benar-benar memasuki musim hujan.
Hal yang sama dilakukan petani lain di kawasan itu. Sepanjang mata memandang, yang tampak hamparan sawah bero. Hanya satu-dua petani yang memiliki lahan dekat parit kecil yang memanfaatkan debit air yang tidak terlalu besar untuk menanam komoditas lain, seperti sayuran.
”Aliran air terhenti karena saluran irigasi utama dari sumber mata air sedang dibangun sehingga petani di blok sini belum bisa memulai tanam. Nanti kalau pembangunan saluran irigasinya selesai, satu-dua bulan ini, petani baru bisa menanam kembali. Kalau air hujan musim kemarau ini tidak cukup,” tuturnya.
Yunus memiliki empat petak lahan dengan luas 1.500-an meter persegi. Lahan itu biasa ditanami padi dua-tiga kali dalam setahun. Saat panen terakhir lalu, dirinya bisa meraup kurang dari 5 kuintal gabah dengan harga terakhir Rp 450.000 per kuintal.
Sebagai petani dengan lahan tidak terlalu luas, menurut Yunus, penghasilan dari bertani tidak selalu bisa untuk mencukupi kebutuhan hidup. Dia mencontohkan harga gabah dalam beberapa tahun terakhir cenderung tetap di angka Rp 450.000-Rp 470.000 per kuintal.
Sedangkan di sisi lain ongkos produksi terus naik. Harga pupuk urea, misalnya, di desanya kini tembus Rp 135.000-Rp 140.000 per zak ukuran 50 kilogram untuk yang bersubsidi dan Rp 260.000 untuk yang tidak bersubsidi. Harga ini lebih tinggi dibandingkan dengan enam tahun silam yang masih di kisaran Rp 90.000 per zak.
Pun tidak semua petani untung bisa mendapatkan pupuk bersubsidi. Beberapa kali kelangkaan pupuk terjadi dalam beberapa tahun terakhir. ”Dua tahun lalu saya tidak mendapat pupuk bersubsidi sehingga harus membeli yang nonsubsidi. Satu zak saat itu Rp 270.000 sehingga satu kuintal Rp 540.000 per kuintal,” ucapnya.
Alhasil, pendapatan dari bertani tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Yunus pun mesti mencari penghasilan lain (proyek dan pekerjaan lain seadanya) agar asap dapur terus bisa mengepul, termasuk menyekolahkan kedua anaknya yang masih duduk di bangku SD dan SMP.
”Soko sawah hasile cukup mekdipangan tok, digawe umet ndek pawon (hasil bertani hanya cukup untuk makan, dibuat untuk kebutuhan dapur),” ucapnya.
Hal yang sama dikatakan Juwadi (52), salah satu petani di Desa Karangduren, Kecamatan Pakisaji. Menurut dia, ongkos produksi pertanian cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Untungnya, pada musim tanam kali ini, ketersediaan pupuk bersubsidi di wilayahnya tercukupi.
Juwadi memiliki lahan seluas 1.600 meter persegi dan biasa ditanami padi dua kali setahun dengan produktivitas 7 ton per hektar. Juwadi merasa bersyukur. Sejauh ini, semua hasil panen dikonsumsi sendiri, tidak ada yang dijual ke tengkulak.
Meski kaya akan komoditas hortikultura, Malang sebenarnya bukan termasuk 10 daerah dengan luas panen dan produksi padi terbesar di Jawa Timur (2021). Saat itu produksi padi di Malang 503.428 ton gabah kering giling (GKG), yang mana 478.078 ton GKG di antaranya dari lahan sawah dan 25.350 ton dari ladang.
Angka ini naik dibandingkan dengan produksi tahun 2020 yang mencapai 481.001 ton, yang mana 450.601 ton di antaranya dari sawah dan 29.400 ton ladang. Produksi padi tertinggi pernah dicapai tahun 2017 sebesar 505.183 ton, baik di sawah maupun ladang.
Luas lahan pertanian berbasis irigasi di Kabupaten Malang mencapai 45.888 hektar (ha) atau sekitar 93 persen dari total lahan, sisanya 7 persen (3.400 ha) sawah tadah hujan. Dari luasan lahan irigasi itu 42.739 ha merupakan sawah irigasi teknis dan 3.149 ha nonteknis.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Malang Agung Purwanto mengatakan, selama 2021, Kabupaten Malang surplus beras hingga 84.194 ton. Angka ini lebih baik dibandingkan dengan 2021 yang hanya surplus 73.000 ton. Pada tahun 2022 ini diharapkan surplus beras bisa di atas 84.000 ton hingga mendekati 90.000 ton.
”Tahun ini karena kemarau basah maka kemungkinan surplus kami bisa lebih tinggi lagi dibandingkan dengan tahun lalu karena semua infrastruktur dan sarana prasarana, seperti irigasi kondisinya mendukung. Pandemi Covid-19 juga melandai,” katanya.