Merawat Nostalgia Tradisi Perahu Bidar Palembang
Perahu bidar tradisional merupakan kearifan lokal yang merekatkan warga Palembang. Namun, keberadaannya kian terkikis perkembangan zaman. Butuh peran semua pihak agar perahu bidar ini tidak tenggelam dan punah.
Lomba perahu bidar tradisional di Palembang, Sumatera Selatan, bukan sekadar tontonan, melainkan menjadi kearifan lokal yang merekatkan warga Palembang. Tradisi yang telah ada sejak masa kolonial ini mengajarkan warga tentang nilai kebersamaan dan kekompakan. Namun, nasib perahu bidar kini kian terancam terempas gelombang perkembangan zaman.
Ratusan orang berkumpul di segala sisi ulu dan ilir tepian Sungai Musi, Minggu (21/8/2022). Bahkan, beberapa di antaranya menonton di atas Jembatan Ampera. Mereka mencari tempat terbaik agar bisa menyaksikan seni dayung tradisional perahu bidar Palembang, yang dalam dua tahun sebelumnya tidak digelar karena pandemi. Beberapa warga juga menyewa perahu ketek agar bisa melihat lomba perahu bidar lebih dekat.
Tepat pukul 16.00, pertandingan final dimulai. Tiga perahu bidar yang digerakkan masing-masing oleh 55 pedayung bersiap mencari posisi untuk beradu kecepatan di Sungai Musi. Garis start ada di Jembatan Musi VI Palembang dan garis finis terletak di dekat Jembatan Ampera dengan jarak lintasan sekitar 2 kilometer.
Panitia memberi tanda perlombaan dimulai. Para pedayung pun segera mengayuh dayung sekuat tenaga memacu perahu bidarnya. Sorakan semangat terdengar dari perahu ketek bermesin yang berlayar mengiringi laju perahu bidar sembari membawa para penonton yang penasaran. Begitu pun warga yang ada di tepian Sungai Musi. Mereka berteriak memberi dukungan walau sebagian besar dari mereka sebenarnya tidak tahu siapa yang berlomba.
Baca juga : Berburu Harta Karun Sungai Musi
Akhirnya, tim pedayung dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Sumatera Selatan memenangi lomba. Mereka menyelesaikan perlombaan dalam waktu 10 menit 44 detik, meninggalkan kedua lawannya yang lain.
Pertandingan seru itu membayar lunas rasa penasaran Nina (32), warga 32 Ilir Palembang, yang sudah menunggu sejak tengah hari. Walau harus menunggu lama, ibu lima anak ini tetap antusias menyaksikan lomba karena sudah menjadi kebiasaan sejak kecil.
”Dulu, setiap 17 (Agustus)-an, orangtua saya selalu mengajak untuk nonton bidar. Sekarang saya mengajak anak saya untuk menonton juga,” ujar Nina, yang mengajak serta kedua anaknya yang masih balita.
Menurut ibu lima anak ini, perlombaan perahu bidar juga mengajarkan para penonton tentang kerja sama dan kekompakan. ”Kalau tidak kompak, ya, tidak menang,” ucap Nina. Tidak hanya itu, corak dan bentuk perahu bidar juga menjadi daya tarik tersendiri baginya.
Hanafi (70) pun begitu. Dia menyewa perahu ketek untuk bisa menyaksikan perlombaan perahu bidar dari dekat. Untuk mendapatkan tempat, ia harus membayar Rp 10.000. ”Tidak masalah keluar uang yang penting bisa senang,” ujar Hanafi. Sama seperti Nina, Hanafi juga telah menonton lomba perahu bidar sejak kecil.
Memang ada perbedaan antara perlombaan perahu bidar yang dulu dan sekarang. Kalau dulu, ujar Hanafi, perahu bidarnya banyak. Dalam sekali perlombaan bisa mencapai 20 perahu. Sekarang hanya delapan perahu. Selain itu, dari sisi tampilan, perahu bidar yang dulu biasanya berkepala naga. Sekarang tidak ada lagi.
Dulu juga belum banyak pelataran, warga biasanya berkumpul di tepian Sungai Musi atau menonton dari rumah apung-nya masing-masing. ”Waktu saya kecil juga belum ada Jembatan Ampera. Kini sudah banyak pelataran, mulai dari Benteng Kuto Besak, Kampung Kapitan, sampai restoran,” ucapnya.
Selain itu, perahu bidar yang sekarang ukurannya juga lebih kecil dari yang dulu. ”Meskipun berbeda tampilan, antusiasme warga untuk melihat bidar tetaplah besar,” ucap Hanafi.
Syamsuddin (45), pemilik perahu ketek di Sungai Musi, meraup rezeki ketika perlombaan ini berlangsung. Warga yang penasaran menyewa kapalnya untuk melihat bidar dari dekat. Para penumpang berlayar mengiring kapal bidar yang sedang berlomba.
Setiap orang yang ikut menumpang perahunya dipatok tarif Rp 10.000 per orang. ”Hari ini saya mendapatkan sekitar Rp 600.000,” ucapnya. Padahal, pada hari biasa, rata-rata dia hanya memperoleh Rp 50.000-Rp 100.000 per hari.
Baca juga : Berjibaku Merawat Anak-anak Sungai Musi di Palembang
Acara ini merupakan salah satu momen bagi Syamsuddin untuk memperoleh keuntungan selain Lebaran dan Tahun Baru. Dia berharap setiap tahun acara ini bisa digelar karena terbukti mendatangkan wisatawan yang cukup besar.
Masa kolonial
Koordinator Sahabat Cagar Budaya Robby Sunata mengatakan, walau lomba perahu bidar dan perahu hias identik dengan hari kemerdekaan, ”pesta rakyat” ini sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka, tepatnya sejak masa kolonial. Bedanya, pada masa itu, lomba-lomba ini diadakan untuk meramaikan perayaan-perayaan yang dianggap penting bagi bangsa Belanda. Misalnya, ulang tahun ratu Wilhelmina dan perayaan kelahiran bapak bangsa Belanda, William I dari Orange-Nassau.
Dalam catatan Leiden University, ujar Robby, pada 31 Agustus 1917, Pemerintah Belanda di Palembang merayakan ulang tahun ke-37 Ratu Wilhelmina dengan menggelar sejumlah perlombaan di tepian Sungai Musi ini, seperti lomba balap karung, panjat pinang, dan parade perahu hias. Adapun untuk lomba adu cepat perahu bidar baru tercatat hadir di Palembang pada 24 April 1933.
Saat itu, perahu yang berlaga memiliki panjang sekitar 20 meter dan cenderung ramping sehingga satu baris hanya bisa menampung dua orang. Perahu tersebut diawaki sekitar 32 pedayung.
Saat itu, adu cepat perahu bidar ramai disaksikan warga Palembang. Mereka mempergunakan perahu-perahu kayu tradisional untuk membawa mereka ke tengah sungai agar lebih dekat dengan lokasi perlombaan. ”Sama seperti yang dilakukan saat ini,” ujarnya.
Ketua Komunitas Bidar Sumatera Selatan Enci Muhammad Alaudin Saka Garhan menuturkan, seiring berjalannya waktu, bentuk perahu bidar berubah. Untuk saat ini ukurannya lebih besar dengan jumlah pedayung yang lebih banyak. ”Untuk saat ini, panjang ukuran perahu bidar sekitar 30 meter dengan jumlah pedayung 55 orang, 1 pemilik, dan 1 penimba air.
Pemilik perahu bidar biasanya adalah warga yang tinggal di tepian Sungai Musi dan memang hanya digunakan untuk lomba perahu bidar. ”Ketika tidak ada event, biasanya perahu bidar hanya disimpan,” ucapnya. Oleh kerena itu, perahu bidar harus terus dirawat agar tidak lapuk.
Terancam
Walau sudah menjadi tradisi masyarakat Palembang, kini keberadaan perahu bidar kian terancam. ”Semakin lama, jumlah perahu bidar semakin menyusut,” ucap Enci. Dari tahun 2002, jumlah bidar di Palembang sekitar 20 perahu, kini tinggal delapan unit. Hal itu terjadi karena pembuatan perahu bidar kian jarang.
”Bukan karena tidak ada perajinnya, tetapi memang yang perhatian untuk melestarikan bidar sudah terkikis,” ujarnya.
Selain itu, ujar Enci untuk membuat perahu bidar juga membutuhkan dana yang cukup besar, yakni Rp 65 juta-Rp 70 juta per unit. Mahalnya biaya pembuatan perahu bidar disebabkan bahan baku kayu yang digunakan sudah sulit ditemukan, yakni kayu merawan. Proses pembuatan dengan cara menyatukan beberapa kayu untuk dijadikan satu kapal. Biasanya untuk membuat satu perahu bidar butuh dua kayu merawan.
Belum lagi situasi pandemi yang membuat nama perahu bidar kian pudar. ”Jika lomba perahu bidar jarang digelar, dikhawatirkan kepedulian warga terhadap tradisi ini akan hilang. Beruntung kita masih bisa melakukan lomba bidar tahun ini,” ucap Enci.
Karena itu, dia berharap agar semua pihak utamanya pemerintah terus berkontribusi untuk melestarikan tradisi ini. ”Jangan sampai dalam beberapa tahun ke depan festival perahu bidar tidak ada lagi karena kehabisan perahu,” ucapnya.
Oleh karena itu, Enci berharap ada peran dari berbagai pihak untuk kembali membuat perahu bidar. ”Di Sumsel banyak perajin perahu bidar. Mereka tersebar di beberapa daerah seperti Palembang, Banyuasin, Musi Banyuasin, dan Ogan Ilir,” ucapnya.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Palembang Aufa Syahrizal menuturkan, perahu hias dan perahu bidar merupakan kearifan lokal yang perlu dilestarikan. ”Lomba ini diharapkan dapat memopulerkan kembali perahu bidar di tengah masyarakat,” ungkapnya.
Pada lomba kali ini, pemerintah melibatkan BUMN, BUMD, dan pemerintah daerah untuk turut serta dalam pergelaran perahu bidar.
Selain mempertahankan tradisi, lomba ini diharapkan untuk bisa mendukung perekonomian masyarakat sekitar. Pemerintah pun berkomitmen agar lomba ini menjadi agenda tahunan ketika hari kemerdekaan. Pada saat yang sama, kreativitas warga dan dukungan dari pihak terkait sangat dibutuhkan agar perahu bidar dan perahu hias bisa tetap berlayar di Sungai Musi.