Pameran Karya Seniman Bali, Penerus Semangat Pita Maha
Pameran bertajuk ”Tirtha Agra Rupa” digelar di Arma Ubud, Gianyar, mulai Rabu (17/8/2022). Pameran menghadirkan karya 41 seniman yang merefleksikan semangat pembebasan, yang diwariskan seniman era Pita Maha.

Lukisan berjudul Toya Amerta (2022) karya Pande Ketut Bawa yang dihadrkan dalam pameran bertajuk Tirtha Agra Rupa di Arma Ubud, Gianyar, Bali.
Sebuah pameran digelar di Museum Seni Agung Rai (Agung Rai Museum of Art/Arma) Ubud, Gianyar, Bali. Pameran seni rupa bertajuk ”Tirtha Agra Rupa” menghadirkan karya-karya seni rupa terpilih dari 41 seniman pelukis dan pematung, yang meneruskan api semangat pembaruan yang dinyalakan Pita Maha.
Pameran Tirtha Agra Rupa mengaktualisasikan tema air dan kehidupan dalam karya seni rupanya. Pameran seni rupa, yang digelar di Arma Ubud di Pengosekan, Ubud, Gianyar, berlangsung mulai Rabu (17/8/2022) sampai Sabtu (27/8/2022).
Pameran digelar Yayasan Puri Kauhan Ubud, yang diketuai Anak Agung Gde Ngurah Ari Dwipayana. Pameran ini menjadi rangkaian program Sastra Saraswati Sewana II sebagai kegiatan pemuliaan air sebagai sumber kehidupan dan peradaban. Tirtha bermakna air suci atau kesucian dalam bahasa Sanskerta, adapun agra, yang juga berasal dari bahasa Sanskerta, berarti paling tinggi atau agung.
Para seniman yang terlibat dalam pameran berasal dari wilayah di sepanjang aliran Sungai Wos, mulai dari Tegallalang, Payangan, Ubud, Panestanan, Mas, hingga Batuan. Tukad Wos atau Tukad Uos adalah sungai yang mengalir di Tegallalang kemudian bertemu di Sungai Campuhan di wilayah Ubud sebelum aliran airnya bermuara ke pantai di Gianyar. Warga di sepanjang aliran Sungai Wos tersebut merupakan pewaris kehidupan seni dan terus menghidupkan seni dalam keseharian mereka.

Arma di Ubud, Gianyar, menjadi tuan rumah pameran bertajuk Tirtha Agra Rupa. Pameran, yang berlangsung sejak Rabu (17/8/2022) hingga Sabtu (27/8/2022), menampilkan karya seni rupa dari 41 seniman.
Baca juga: ”Hulu Pulu”, Pameran Lukisan Hasil Eksplorasi Relief Yeh Pulu
Pameran di Arma Ubud, mulai Rabu (17/8/2022), secara khusus menampilkan karya-karya seni rupa, berupa lukisan dan juga patung, yang menunjukkan refleksi aliran seni Pita Maha. Para seniman dari generasi berbeda dan mereka berasal dari Ubud dan sekitarnya, di antaranya, Anak Agung Gde Anom Sukawati dari Padang Tegal, Ubud; I Wayan Beneh dari Kutuh, Ubud; Dewa Sumarthana dari Pengosekan, Ubud; I Gusti Ngurah Agung Kresna Kepakisan (Ngurah KK) dari Ubud; Ketut Sadia dari Batuan, Sukawati; dan Cokorda Alit Artawan, Gianyar. Para pematung, yang terlibat dalam pameran, yakni, Ketut Geledih, I Made Gara, I Wayan Mudana, Wayan Karja, dan I Made Narka alias Mangku Taman.
Adapun Pita Maha merupakan kelompok atau perkumpulan seniman di Bali yang dibentuk era 1930-an, atau sebelum masa kemerdekaan Indonesia. Seniman era 1930-an itu, menurut Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar I Wayan Adnyana, sudah memiliki visi modern atau berorientasi ke depan dengan berpijak pada tradisi sehingga menghasilkan karya-karya, yang masih komunal tetapi mencirikan personal dan otentik.
Para seniman yang menjadi anggota Pita Maha, banyak dinilai sebagai maestro seni rupa Bali, baik seni lukis maupun seni patungnya. Di antara nama maestro seni rupa generasi Pita Maha adalah I Gusti Nyoman Lempad, Anak Agung Gde Sobrat, Ida Bagus Made Poleng, I Wayan Gerudug, Made Widja, maupun Ida Bagus Made Togog. Perkembangan Pita Maha kemudian melahirkan banyak seniman ternama, di antaranya I Ketut Budiana dan I Ketut Sadia serta I Wayan Mudana.
Lukisan dan patung

Karya seni rupa berupa lukisan dan patung dari 41 seniman ditampilkan dalam pameran bertajuk Tirtha Agra Rupa di Arma Ubud, Gianyar. Pameran berlangsung sejak Rabu (17/8/2022) hingga Sabtu (27/8/2022).
Pameran Tirtha Agra Rupa di Arma Ubud dibuka Bhikku Sri Pannavaro Mahathera dan Staf Khusus Presiden Sukardi Rinakit pada Rabu (17/8/2022). Ari Dwipayana menyebutkan pameran seni rupa di Arma Ubud itu juga untuk memeriahkan perayaan HUT Ke-77 Republik Indonesia. Bhikku Sri Pannavaro menyampaikan apresiasinya atas penyelenggaraan pameran seni itu, yang dinilai memberikan ruang kepada masyarakat untuk belajar tentang alam, air, dan peran pentingnya dalam kehidupan.
Satu lukisan dapat menyampaikan berjuta makna. Melalui karya seni, manusia dapat belaja banyak hal. Pesan dari Bhikku Sri Pannavaro secara jelas menyiratkan hasil pengamatannya yang saksama terhadap karya-karya seni rupa, yang dihadirkan dalam pameran Tirtha Agra Rupa di Arma Ubud.
Pada patung berjudul ”Aquarium” (2021) karya I Wayan Karja memperlihatkan kecermatan dan ketelitian seniman mengekplorasi kayu waru bulat berukuran 45 sentimeter x 35 sentimeter untuk menghadirkan gerakan sepasang ikan yang saling bertemu. Kecermatan seniman juga muncul pada patung dari kayu waru berjudul Ikan Duyung Bermain Ikan Kecil (2022) karya I Wayan Mudana.

Patung berjudul Aquarium (2021) karya I Wayan Karja yang dihadrkan dalam pameran bertajuk Tirtha Agra Rupa di Arma Ubud, Gianyar.
Baca juga: Wagub Bali Buka Pameran Kontemporer di Museum Arma
Muatan tradisi, yang ditampilkan secara kekinian, ditampilkan seniman I Wayan Eka Mahardika Suamba dalam lukisan berjudul ”Pedanda Baka” (2022). Pelukis menggambarkan seekor burung bangau di tengah kolam penuh ikan. Kaki kanan bangau mencengkeram seekor ikan dan sebuah telepon seluler (ponsel), sedangkan di sekeliling kepala bangau bermahkota merah itu terdapat simbol aplikasi media sosial. Cerita Pedanda Baka sejatinya menerangkan perihal moral dan etika.
Begitu pula dengan lukisan berjudul ”Toya Amerta” (2022) karya Pande Ketut Bawa. Pada lukisan berukuran 120 cm x 100 cm itu digambar secara surealis tentang kisah pencarian tirta amerta, atau air suci untuk hidup abadi, oleh para dewa dan raksasa di dasar samudra. Lukisan berjudul ”Toya Amerta” tampak penuh dengan detail dan bercorak tradisi.
Pengaruh Eropa

Arma di Ubud, Gianyar, menjadi tuan rumah pameran bertajuk Tirtha Agra Rupa yang berlangsung sejak Rabu (17/8/2022) hingga Sabtu (27/8/2022). Suasana ketika diskusi seni, yang digelar di Arma Ubud, Gianyar, Kamis (18/8/2022).
Tradisi berkesenian, terutama seni rupa di Bali sudah ada sejak zaman prasejarah, yang ditandai adanya goresan-goresan berbentuk rupa sebagai hiasan pada sarkopagus, nekara, dan benda-benda peninggalan dari batu lainnya. Peninggalan lain berupa pahatan berbentuk relief.
Dalam tulisan berjudul ”Tinjauan Sejarah Seni Lukis Gaya Pita Maha”, I Dewa Made Pastika (2010) menyebutkan, masa kerajaan dipimpin Raja Anak Wungsu pada abad ke-11 Masehi dikenal adanya kelompok warga yang mempunyai keahlian melukis, terutama motif wayang. Gambar atau ilustrasi motif wayang tersebut, menurut Pande Wayan Suteja Neka (1992), menjadi cikal bakal seni lukis klasik Bali, yang tumbuh dan berkembang hampir di seluruh Bali.
Seni lukis motif wayang di Bali mencapai kemajuan abad ke-15 Masehi pada masa kepemimpinan Dalem Waturenggong. Kantong-kantong seni tradisi tersebar di Bali mulai dari Klungkung, Karangasem, Gianyar, Tabanan, sampai Buleleng. Denyut kehidupan seni rupa tradisi itu masih hidup sampai saat ini.
Terutama di wilayah Gianyar, yang dikenal memiliki desa-desa seniman, yang masih meneruskan kehidupan seni rupa tradisional. Meski demikian, kehidupan seni di Bali terbuka terhadap pengaruh-pengaruh dari luar, termasuk di negara Eropa atau barat. Kedatangan seniman luar ke Bali sudah terjadi sejak 1920-an.
Dalam diskusi seni di Arma Ubud, Gianyar, Kamis (18/8/2022), kritikus seni dan pengamat sosial dan budaya, Jean Couteau, menyebutkan sejumlah nama seniman asing, yang pernah menyinggahi Bali, bahkan berdiam di Bali, sejak masa 1920-an. Dua nama seniman Austria, yakni, Roland Strasser dan Emil Rizek, datang ke Bali dan terinspirasi dari persinggahannya di Bali era 1920-1930.
Dua nama lain, yang kemudian banyak memengaruhi perkembangan seni rupa di Bali, yakni, Walter Spies dan Johan Rudolf Bonnet. Walter Spies menetap di Bali, yakni di Ubud, Gianyar, sejak 1927. Kemudian disusul Rudolf Bonnet, yang juga beraktivitas di Ubud, sejak 1929. Kedua seniman itu mendapat dukungan dari Tjokorda Gde Agung Sukawati dari Puri Ubud, termasuk dengan menyediakan studio seni di Ubud.
Seniman I Ketut Budiana menuturkan, Bonnet memberikan pendekatan baru kepada seniman tradisional, misalnya, pelukis tradisional harus berjarak dengan lukisannya ketika pelukis itu sedang mewarnai lukisannya sehingga pelukis dapat melihat keseluruhan karyanya itu secara utuh. Bonnet juga meminta seniman melihat obyek, yang akan dilukiskannya. ”Mereka membebaskan senimannya untuk menghasilkan karya seni,” ujar Budiana dalam diskusi seni di Arma Ubud, Kamis (18/8/2022).
Budiana mengungkapkan, Pita Maha ibarat awal seni rupa Bali baru tetapi tetap meneruskan tradisi Bali. Menurut Budiana, seniman era Pita Maha menggunakan seni sebagai sarana atau jalan menuju tujuan utama, yakni pembebasan diri. ”Seniman sekarang seharusnya lebih bersemangat dan lebih bebas menelurkan karya seni rupa, yang kuat secara teknik dan juga membebaskan diri,” katanya.