Pohon "Seho", Hadiah dari Hutan Taman Nasional untuk Petani di Bolaang Mongondow
Bagi seorang petani Desa Tapa Aog, keberadaan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone adalah anugerah yang tak ternilai. Hutan hujan tropis itu selalu menyediakan sumber kehidupan, salah satunya dalam bentuk pohon aren.
Bagi seorang petani seperti Adang Akab (45), keberadaan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone adalah anugerah yang tak ternilai. Hutan hujan tropis itu senantiasa menyediakan kehidupan, bak seorang ibu yang selalu tulus memberi. Satu dari sekian banyak pemberian yang begitu berharga ialah pohon aren.
Sebagaimana umumnya di Sulawesi Utara, masyarakat Desa Tapa Aog di Kecamatan Lolayan, Bolaang Mongondow, menyebut pohon aren (Arengapinnata) sebagai seho. Tanpa perlu dibudidayakan, pohon jenis palma itu tumbuh subur di bukit-bukit sekitar desa, sekitar 203 kilometer di sisi barat daya Manado.
”Wah, kalau mau dihitung pohonnya, banyak. Dia tumbuh alami, jadi kami tinggal ambil niranya saja. Semua anggota kami punya pohon seho di lahan masing-masing, tetapi ada juga yang ambil nira dari pohon di dalam kawasan (taman nasional),” kata Adang pada Selasa (19/7/2022) pagi di rumahnya yang terletak di tepi ruas Jalan Trans-Sulawesi.
Adang adalah ketua Kelompok Tani Hutan (KTH) Harapan Baru di Desa Tapa Aog. Anggotanya 10 orang, semua petani gula aren tradisional. Bersama-sama, mereka memproduksi gula semut yang bermerek dagang Tapa Aog pula.
Menurut Adang, gula aren dalam bentuk ”semut” alias bubuk jauh lebih menguntungkan ketimbang gula batu. Bagi konsumen, gula semut lebih praktis digunakan layaknya gula pasir yang terbuat dari kristalisasi tebu, sedangkan bagi produsen, proses pengolahannya cenderung lebih cepat sekalipun membutuhkan banyak tenaga.
Para anggota membuat gula semut di sebuah pondok alias sabua di kebun masing-masing. Kebun mereka terletak cukup jauh dari desa, di ketinggian bukit-bukit yang dapat dicapai dengan sepeda motor trail dalam 15 menit atau hampir 1 jam jika berjalan kaki selama otot-otot betis masih bisa diandalkan.
Baca juga: Jalan Terang Kemerdekaan Energi di Pelosok Bolaang Mongondow
Sore itu, pengolahan gula semut sedang berlangsung di kebun milik salah satu anggota kelompok, Nurdin Maletang, yang terletak di luar batas kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW). Mula-mula, Nurdin memanjat salah satu pohon seho dengan sebilah tangga untuk mengambil sebuah tabung bambu yang sudah seharian menampung nira dari pangkal mayang pohon.
Tak lupa ia meletakkan tabung lain agar nira yang terus mengucur tak terbuang percuma. Kemudian, nira yang baru saja diambil ia bawa ke dalam sabua untuk dituangkan ke dalam wajan di atas tungku perapian. Air nira itu dibiarkan 30-60 menit hingga mendidih dan berkaramelisasi sehingga warnanya yang putih dan encer menjadi coklat serta mengental.
Saat itulah wajan harus diangkat dari perapian. Proses pembuatan gula semut pun memasuki tahap yang paling berat dan melelahkan, yaitu pengadukan. Nurdin, Adang, dan seorang anggota lain, Hendrik Bonde, terus mengaduk gula kental itu dengan kayu atau sutil tanpa istirahat. ”Tidak boleh berhenti, supaya tidak mengeras,” kata Hendrik.
Pada satu titik, adonan gula kental itu akan menggumpal dan mengembung. Dengan satu adukan keras, gumpalan itu terserak menjadi butiran pasir coklat. Maka, jadilah Gula Semut Aren Tapa Aog yang manis serta wangi aromanya.
Pemanis alami itu dikemas dalam kantong-kantong kertas bersegel tanpa lebih dulu diberi zat kimia, seperti pengawet. Tiap bungkus berisi 250 gram gula semut dan dijual seharga Rp 20.000. ”Harga tiap lembar kantong dan stiker logo kemasan Rp 3.000. Jadi, keuntungan kami Rp 17.000 per bungkus,” ujar Adang.
Demikianlah alam di sekitar hutan TNBNW menjadi sumber kehidupan petani Desa Tapa Aog, yakni dalam wujud seho yang selama masa hidupnya selalu memberi nira tanpa menuntut perlakuan khusus, seperti pupuk atau pestisida. Jika gigih bekerja, tiap anggota KTH Harapan Baru dapat membuat minimal 3 kilogram gula semut dari 30-35 liter nira.
Dibina
Warga Desa Tapa Aog mulai mengenal proses pembuatan gula semut pada 2017 setelah dilatih oleh personel Pabrik Gula Aren Masarang dari Tomohon. Sebuah kelompok petani gula semut kemudian dibentuk. Namun, kegiatan kelompok itu tak jelas sehingga mati suri.
Hal ini mulai berubah sejak kehadiran para petugas Balai TNBNW antara 2019-2020. Para penyuluh kehutanan serta petugas resor—yang bertanggung jawab atas wilayah setingkat kecamatan—membantu warga untuk memetakan potensi serta mendata segala kebutuhan mereka untuk memulai usaha.
”Kami mendampingi kelompok binaan secara intensif agar berkembang. Minimal sebulan sekali, kami ajak pengurus dan anggota kelompok berdiskusi serta mengevaluasi capaian program kerja. Kami juga harus mampu memotivasi kelompok,” kata Vence Momongan, polisi hutan di Balai TNBNW yang terlibat dalam pembentukan KTH Harapan Baru.
Perlahan, Adang dan sembilan anggotanya mulai rajin membuat gula semut. Para petugas Balai TNBNW kemudian membantu mereka melengkapi syarat administratif agar produk tersebut bisa dipasarkan, seperti nomor PIRT (pangan industri rumah tangga) serta sertifikat halal.
Berkat pendampingan itu, kini gula semut buatan KTH Harapan Baru telah mengisi rak toko oleh-oleh di Kotamobagu. Windrawati Mongilong (42), istri Adang, mengatakan, setidaknya 20-an bungkus terjual di toko oleh-oleh tersebut setiap bulan. ”Sebagian pembeli juga langsung datang ke rumah. Kira-kira 20-an yang laku setiap bulan,” ujarnya.
Supriyanto, Kepala Balai TNBNW, menyebut KTH Harapan Baru sebagai kelompok yang sudah aktif memasarkan produknya. ”Saat ada hajatan kemasyarakatan atau ada kunjungan pejabat seperti anggota DPRD, produk mereka selalu disajikan. Ini menjadi bentuk promosi yang dilakukan mandiri oleh kelompok,” katanya.
Lebih dari itu, pemanfaatan nira dari pohon seho untuk memproduksi gula semut menunjukkan kemampuan warga Desa Tapa Aog sebagai desa penyangga kawasan TNBNW untuk memanfaatkan hutan secara lestari. Warga tidak perlu merusak untuk dapat memetik nilai ekonomis darinya.
Saat ini, dari tutupan hutan hujan seluas 282.089,93 hektar yang membentang di Sulut dan Gorontalo, terdapat 6.848,33 hektar area terbuka di TNBNW. Beberapa penyebabnya adalah kerusakan yang ditimbulkan manusia dalam bentuk pertambangan emas tanpa izin (PETI) atau pembalakan liar. Tak sedikit pula warga yang memburu satwa liar dilindungi.
”Untuk mengeliminasi gangguan, masyarakat harus kita jadikan subyek pelaku pengelolaan kawasan taman nasional juga. Makanya, kami harus mampu menunjukkan bahwa keberadaan taman nasional mampu memberikan nilai ekonomi bagi masyarakat, salah satunya lewat usaha seperti gula semut ini,” kata Supriyanto.
Jadi, barangkali satu-satunya solusi yang kami bisa sediakan adalah BUMDes sehingga kelompok tidak akan jenuh membuat produk yang jadi unggulan desa kami juga.
Konsistensi
Meski demikian, jalan KTH Harapan Baru untuk bisa menyejahterakan anggotanya dengan gula semut tidaklah mulus. Hingga kini, tidak ada penjamin komoditas (offtaker) ataupun pihak peritel yang rutin menyerap produk mereka untuk dipasarkan ke konsumen.
Akibatnya, para anggota tidak memproduksi gula semut secara konsisten. Adang mengakui, saat ini hanya dirinya satu-satunya anggota kelompok yang membuat gula semut, sedangkan sembilan anggota lainnya hanya membuat gula batu yang selalu laku di pasar, bahkan dicari tengkulak.
Baca juga: Saking Kayanya, Warga Desa Mengkang Tak Pernah Menutup Keran Air
Hendrik Bonde membenarkan hal itu. Ia baru akan membuat gula semut jika ada instruksi dari Adang. ”Kalau ada perintah Pak Ketua (Adang), itu artinya sedang ada pesanan. Tapi kalau setiap hari kami membuat gula semut, kami enggak tau mau jual ke mana karena belum bisa memasok ke toko swalayan,” katanya.
Menurut Hendrik, pemerintah desa telah mewacanakan revitalisasi badan usaha milik desa (BUMDes) untuk menopang usaha kelompok sebagai offtaker. Nantinya, para anggota KTH Harapan Baru bisa fokus membuat gula semut secara konsisten setiap hari. Kemudian, BUMDes bertugas mengemasnya serta memastikan penjualannya.
Sangadi (kepala) Desa Tapa Aog, Cim Rawati Piri, membenarkan rencana itu. Ia menegaskan BUMDes nantinya akan menyediakan penyertaan modal. Namun, angan-angan itu belum terealisasi hingga kini karena keterbatasan dana untuk menghidupkan kembali BUMDes.
Namun, Cim menyatakan telah bersafari dari tingkat kecamatan hingga ke Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi di Jakarta. ”Ini supaya Kemendesa PDTT langsung mengetahui dan tergerak hatinya untuk membantu program unggulan desa kami. Sekarang kami lagi berupaya membuat proposal (bantuan dana) untuk diajukan ke sana,” katanya.
Menurut sangadi yang berusia 32 tahun itu, rencana ini mutlak harus terlaksana demi kebaikan para petani gula aren. Karena taka da penjamin komoditas, para petani gula aren akhirnya jatuh dalam pelukan tengkulak. Gula batu yang mereka buat hanya dihargai Rp 15.000 dan Rp 30.000 per kg.
Harga ini jauh dari gula semut yang harga bersihnya Rp 17.000 per 250 gram atau Rp 68.000 per kg. ”Jadi, barangkali satu-satunya solusi yang kami bisa sediakan adalah BUMDes sehingga kelompok tidak akan jenuh membuat produk yang jadi unggulan desa kami juga,” ucap Cim.
Sembari menunggu realisasi tersebut, Supriyanto menyatakan para penyuluh Balai TNBNW juga telah mengajukan berkas-berkas syarat pemasaran produk di dua pewaralaba swalayan terbesar di Indonesia, yaitu Indomaret dan Alfamart. ”Kami harap ini bisa berhasil dalam waktu dekat,” katanya.
Untuk sementara, Adang dan kelompoknya memang harus menunggu. Namun, selalu ada hasrat dalam benak mereka untuk menunjukkan bahwa alam tak harus jadi korban agar manusia bisa sejahtera.