Masyarakat di sekitar hutan dilibatkan menjaga dan melestarikan keanekaragaman hayati. Selain menjaga kelestarian ekologi, diharapkan hutan juga memberikan manfaat ekonomi dan sosial.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·4 menit baca
Angin membelai lembut dedaunan di sekitar objek wisata Curug Jenggala. Deburan air silih berganti menimbulkan buih putih yang segera pecah. Cericit kicau aneka burung terdengar di kejauhan menyemarakkan suasana. Napas yang tersengal dan langkah yang sudah mulai gontai lantaran menaiki dan menuruni jalan setapak di lereng Gunung Slamet ini berubah menjadi rasa syukur atas ciptaan ilahi sekaligus menorehkan ikhtiar menjaga kelestariannya.
”Alhamdulillah kemarin kami ketemu dengan elang jawa yang hampir punah. Posisinya ada di sekitar pemangkuan LMDH Karangsalam dengan Kemutug Lor,” kata Ketua LMDH Wanakarya Lestari Kemutug Lor Daryono, Kamis (4/8/2022).
Bersama sekitar 20 warga dari sejumlah desa dan didampingi lembaga Burung Indonesia, dalam dua hari terakhir, Daryono menyusuri dan mendaki lereng Gunung Slamet di ketinggian antara 900 dan 1.200 mdpl untuk mengidentifikasi serta memotret kekayaan hayati di dalam hutan.
Lewat berbagai pelatihan dan sosialisasi, kata Daryono, kelompoknya juga terus mengingatkan kepada anggota dan masyarakat bahwa dalam mengelola hutan diperlukan keseimbangan ekologi, ekonomi, dan sosial. ”Jika kita cuma berbicara ekonomi dan ekologi ditinggalkan, maka bisa terjadi kerusakan,” ujarnya.
Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan Wana Lestari Desa Karangsalam Sisworo menyebutkan, ternyata menjaga kelestarian ekologis itu tidak hanya melulu tentang menjaga tutupan vegetasi di hutan. ”Jujur saja kami merasa prihatin karena selama ini mindset kami di LMDH dan warga (tentang pelestarian lingkungan) baru pada tutupan vegetasi, hutannya harus dijaga, airnya juga, tapi belum sampai pada bagaimana fauna dan satwanya yang dari tahun ke tahun ini mengalami kepunahan,” tuturnya.
Sisworo mengakui ada beberapa warga di desanya yang masih memburu burung demi mendapatkan sesuap nasi. Hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi upaya pelestarian lingkungan terutama satwa di dalam hutan. ”Sepuluh tahun terakhir, burung kacamata atau pleci itu sudah tidak ada atau jarang ditemukan. Tahun 1991 itu burung cucak gunung atau rengganis sudah habis, burung cucak keling sebagai burung endemik di Gunung Slamet tahun 1994-1996 habis,” tuturnya.
Meski demikan, secercah harapan perlahan terbit lantaran dalam kegiatan itu dikenalkan pula konsep wisata pengamatan burung. Warga yang awalnya berburu bisa diajak menjadi pemandu dalam wisata pengamatan burung sebagaimana telah dibuat di Menoreh.
Selain itu, lanjut Sisworo, ada pula konsep adopsi burung. Warga atau pemburu bisa terlibat dalam memotret sangkar burung, menjaga telur burung itu hingga menetas dan bisa terbang. Segala proses itu diunggah di internet dan nantinya ada donatur yang bersedia menjadi ”orangtua asuh” bagi burung itu. ”Di satu sisi, masyarakat dapat uang dan burung itu pun bisa terjaga,” ujarnya.
Polisi Hutan Perhutani Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Baturraden, Wandi, mengatakan, personel polisi hutan sangat terbatas untuk mengawasi hutan yang sangat luas. ”Dari RPH Baturraden hanya ada 3 personel untuk menjaga keluasan 14.000 hektar. Kalau tanpa dibantu masyarakat dan lembaga, kami tidak mungkin mampu,” kata Wandi.
Head of Conservation and Development Burung Indonesia Adi Widyanto menyampaikan, pemantauan ini bertujuan mendapatkan informasi tentang keanekaragaman hayati yang ada di wilayah perhutanan sosial khususnya di Desa Karangsalam dan Ketenger. ”Umumnya pemantauan kehati itu dilakukan para ahli, tapi kalau di sini kami melibatkan masyarakat yang sehari-hari di sini,” katanya.
Dari sini diharapkan masyarakat bisa mengenali kekayaan yang ada di dalam hutan dan ikut menjaga pelestariannya. ”Secara umum, Gunung Slamet dikenal mempunyai keanekaragaman yang sangat kaya. Dari survei selama 2 hari ini, masih ditemukan primata owa jawa, rekrekan, lutung budeng. Kemudian, salah satu burung yang menjadi spesies prioritas untuk konservasi nasional, yaitu elang jawa, juga kami temukan,” papar Adi.
Terkait manfaat burung di alam, Adi memaparkan ada empat manfaat kehadiran burung di layanan ekosistem. Pertama, layanan pendukung. Artinya, burung berperan sebagai salah satu unsur yang menyuburkan suatu habitat lewat kotoran serta biji-biji yang dimakan serta disebarkan. Kedua, layanan penyediaan. Artinya, layanan yang bisa langsung terasa pada manusia. ”Contohnya adalah burung yang bisa membantu mengurangi hama,” kata Adi.
Layanan ketiga adalah perbaikan lingkungan, contohnya di hutan lewat penyebaran biji proses regenarsi hutan bisa berjalan dengan. ”Dengan adanya hutan, kita bisa merasakan manfaat resapan air, oksigen. Kemudian yang keempat adalah layanan budaya. Misalnya banyak sekali budaya kita yang sangat erat kaitannya dengan burung, seperti lambang negara kita serta relief-relief di candi banyak terinspirasi dari burung,” tuturnya.
Jejak langkah masyarakat yang tinggal dan hidup di sekitar hutan menjadi garda terdepan dalam pelestarian satwa, termasuk burung. Di sejumlah desa di sekitar Baturraden pun telah memiliki peraturan desa yang melarang perburuan satwa di hutan. Pelatihan serta masukan dari tim Burung Indonesia kiranya bisa melahirkan terobosan langkah positif demi kelestarian keanekaragaman hayati yang ada di lereng Gunung Slamet ini sehingga kesimbangan antara kepentingan ekonomi, ekologi, dan sosial bisa terwujud beriringan.
”Jangan sampai terjadi silent forest atau hutan hening karena tidak ada suara apa-apa di dalam hutan,” ucap Daryono penuh harap.