Potensi perikanan budidaya di Maluku perlu dukungan pemerintah pusat.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Warga membersihkan rumput laut di Pulau Lirang, Kabupaten Maluku Barat Daya, Maluku, pada Minggu (7/8/2022). Rumput laut mengungkit ekonomi warga setempat. Mereka menjualnya ke Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur.
TIAKUR, KOMPAS — Potensi budidaya rumput laut di Kabupaten Maluku Barat Daya, Maluku, perlu digarap maksimal. Terbukti, pendapatan warga Pulau Luang dan Pulau Lirang di kabupaten itu mengalami peningkatan berkat rumput laut. Pemerintah pun berjanji akan mendorong warga di pulau lain agar terlibat dalam budidaya dimaksud.
Menurut informasi yang dihimpun Kompas pada Jumat (19/8/2022), sejak Juli lalu, lebih kurang 200 ton rumput laut kering dihasilkan dari kedua pulau tersebut. Rumput laut itu kemudian diangkut menggunakan kapal perintis ke Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, kemudian selanjutnya dikirim ke Surabaya, Jawa Timur.
”Yang paling banyak dari Pulau Luang, sekitar 90 persen dari jumlah keseluruhan yang dibawa ke Kupang. Dari banyak pulau di daerah itu, masyarakat yang mengolah rumput laut hidupnya lebih sejahtera. Apalagi, sekarang harganya sekitar Rp 30.000 per kilogram, kata Petrus Parapaga, nakhoda kapal perintis KM Sabuk Nusantara 67.
Ukuran kesejahteraan itu dapat dilihat dari banyaknya komoditas yang keluar dari pulau itu serta pasokan barang yang dibawa masuk ke sana. Saat kapal merapat, warga menurunkan banyak barang, mulai dari bahan pokok, barang elektronik, hingga kendaraan roda dua. Padahal, di Luang belum ada pelabuhan.
PETRUS PARAPAGA UNTUK KOMPAS
Rumput laut kering yang dikemas di dalam karung siap diberangkatkan dari Pelabuhan Pulau Lirang, Kabupaten Maluku Barat Daya, Maluku, pada Selasa (2/8/2022).
Dengan harga rumput laut Rp 30.000 per kilogram, selama Juli hingga Agustus ini, pendapatan warga di sana mencapai Rp 6 miliar. Padahal, total jumlah penduduk di Pulau Luang dan Pulau Lirang lebih kurang 2.000 jiwa. Artinya, rata-rata setiap warga mempunyai penghasilan sekitar Rp 30 juta. ”Pas puncak panen memang begitu,” ujar Petrus.
Letnan Satu (P) Jumaidi, Komandan Pos TNI Angkatan Laut di Pulau Lirang, menambahkan, semakin banyak warga pulau tersebut yang tertarik untuk kembali melakukan budidaya rumput laut. Sekitar sepuluh tahun lalu, pesisir di pulau itu penuh dengan rumput laut, tetapi kemudian terserang penyakit. Hal itu yang membuat banyak warga patah semangat.
Jangan sampai euforia rumput laut ini hanya sesaat saja.
”Sekarang ini kami membantu masyarakat mendampingi mereka, mulai dari pengadaan bibit, peralatan, sampai pada pasar. Kami bantu untuk cari pasar yang harganya sesuai harapan. Semangat mereka ini yang perlu dijaga mengingat potensi di sini luar biasa,” katanya.
Agar lebih efektif dan efisien, lanjut Jumaidi, pengolahan dilakukan secara berkelompok. Satu kelompok yang terdiri atas 10 orang dapat mengerjakan 2.000 bentangan tali. Dalam satu tahun, mereka bisa memanen paling sedikit empat kali dengan volume 144 ton. Adapun masa waktu budidaya mulai dari pemasangan benih hingga panen selama 45 hari.
POS TNI ANGKATAN LAUT LIRANG
Warga membersihkan rumput laut yang baru saja dipanen di Pulau Lirang, Kabupaten Maluku Barat Daya, Maluku, pada Juli 2022.
Menurut data Dinas Kelautan dan Perikanan Maluku, produksi rumput laut di Maluku pada tahun 2021 mencapai 71.928 ton. Produksi terbanyak dari Kabupaten Kepulauan Tanimbar sebanyak 34.573 ton, kemudian Maluku Tenggara 16.799 ton, dan Maluku Barat Daya 14.778.
”Untuk (produksi dari) Maluku Barat Daya itu sebagian besar (berasal) dari Pulau Luang. Makanya, sekarang kami dorong supaya pulau lain juga bergerak. Pemerintah siap beri dukungan, tapi secara berkelompok,” kata Karolis Iwamony, Kepala Bidang Perikanan Budidaya, Pengolahan, dan Pemasaran Hasil Perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Maluku.
Pusat budidaya
Karolis memaparkan, ruang pesisir di Maluku yang sudah dimanfaatkan untuk sektor budidaya masih minim. Dari total 183.064 hektar potensi, baru 7.544 atau 4,12 persen yang digarap. Itu pun untuk keseluruhan usaha budidaya mulai dari udang, keramba ikan, hingga rumput laut.
Ia meyakini, jika dikelola secara baik, potensi itu akan membawa kemakmuran bagi masyarakat. Di sini diperlukan dukungan kebijakan dari pemerintah pusat dengan menjadikan Maluku sebagai salah satu pusat budidaya rumput laut. Kebijakan itu otomatis akan diikuti dengan anggaran pemberdayaan. ”Sebab, daerah punya keterbatasan,” ujarnya.
Namun, Lazarus Mabala, pembudidaya rumput laut di Pulau Lirang, masih khawatir akan masa depan mereka. Pasalnya, tidak ada jaminan pasti mengenai akses dan harga pasar yang bisa membuat mereka bertahan. Berkaca pada pengalaman sebelumnya, semangat mereka kendur ketika harga jatuh. ”Jangan sampai euforia rumput laut ini hanya sesaat saja,” ujarnya.
Ia mendorong pemerintah untuk menghadirkan industri pengolahan dengan bahan baku rumput laut di Maluku. Dengan begitu, industri tersebut bisa diandalkan untuk menyerap rumput laut mereka. Selama masih bergantung pada pasar di luar daerah, harga jual rumput laut berpotensi anjlok.