Teh Oplosan Milik Semua, dari Keraton hingga Rakyat Biasa
Minum teh sudah menjadi tradisi bersama yang diwariskan turun-temurun di Kota Surakarta, Jawa Tengah. Dari lingkup keraton sampai rumah tangga rakyat jelata, budaya meracik atau mengoplos teh diteruskan lintas generasi.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·5 menit baca
Minum teh sudah menjadi tradisi bersama yang diwariskan turun-temurun di Kota Surakarta, Jawa Tengah. Dari lingkup keraton sampai rumah tangga rakyat jelata, budaya meracik atau mengoplos teh diteruskan lintas generasi. Ilmu meracik teh diserap tubuh melalui beragam pengalaman mencecap rasa wedang hangat tersebut.
Nyi Lurah Sarwo Sutrisno Laras (67), abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta, berjalan perlahan membawa nampan di kompleks Keraton Kasunanan Surakarta, Kota Surakarta, Rabu (17/8/2022). Nampan itu berisikan sebuah teko, satu stoples gula pasir, dan beberapa cangkir keramik. Di dalam teko, terdapat seduhan teh oplosan yang terdiri atas tiga merek teh, yakni Gardoe, Nyapu, dan Sintren.
Langkah Mbah Sarwo, sapaan akrab Sarwo Sutrisno, melambat saat memasuki area Morokoto di Pendopo Sri Manganti. Di sana, tengah duduk bersantai Gusti Raden Ayu (GRAy) Putri Purnaningrum, salah seorang putri dari Raja Keraton Kasunanan Surakarta Pakubuwono XIII. Lantas, Mbah Sarwo mlaku ndhodhok ataujalan jongkok mendekati sang putri raja.
Setelah itu, Mbah Sarwo mengatupkan tangan sebagai bentuk penghormatan terhadap GRAy Putri. Dengan hati-hati, dia lalu menuangkan racikan teh bercita rasa wangi dan kental itu ke cangkir sang putri. Sebelum meninggalkan tempat, Mbah Sarwo kembali mengatupkan tangan untuk memberi hormat. Tak lama kemudian, barulah GRAy Putri menikmati secangkir teh hangat tersebut.
”Kalau gusti-gusti memang suka teh yang wangi dan kental. Itu enggak bisa kalau hanya dengan teh dari satu merek saja. Mesti dioplos. Kalau hanya satu saja, pasti ada yang kurang rasanya,” kata Mbah Sarwo.
Mbah Sarwo bekerja sebagai abdi dalem sejak masa Pakubuwono XII masih memimpin. Ia tak ingat persisnya tahun berapa. Selama menjadi abdi dalem, ilmu meracik teh tidak diajarkan secara langsung. Ia hanya diminta mencicipi teh oleh pendahulunya yang mengurus soal pembuatan teh bagi para kerabat keraton dan abdi dalem. Dari situ, ia terus mencoba hingga akhirnya menemukan ramuan yang rasanya paling sesuai.
GRAy Putri menyampaikan, di lingkungan Keraton Kasunan Surakarta, teh adalah minuman yang penting. Minuman hangat itu disuguhkan untuk menjamu tamu-tamu penting kerajaan. Bahkan, Pakubuwono XIII juga meminta teh setiap hari untuk dinikmati. Teh yang kental adalah yang paling disukai oleh Sinuwun, panggilan untuk Pakubuwono XIII.
”Bangun tidur sampai tidur lagi harus disediakan teh. Tehnya juga harus hangat. Kalau tidak hangat minta diganti. Biasanya teh disajikan bersama kudapan lain, seperti bolu kukus, onde-onde, dan janggelut,” kata GRAy Putri.
GRAy Putri menuturkan, dirinya kurang mengetahui sejarah disajikannya teh di keraton. Yang jelas, minuman itu sudah disajikan bagi tamu keraton sejak dahulu kala. Hanya, ia pernah mendengar kisah mengenai kampung bermukimnya para peracik teh bagi keraton. Kampung bernama Jayengan itu letaknya hanya sekitar 2 kilometer dari kompleks keraton.
Di wilayah Surakarta dan sekitarnya, istilah jayengan digunakan untuk menyebut sekelompok orang yang mengurus perihal minuman yang disuguhkan bagi para tamu dalam sebuah hajatan. Tugas jayengan termasuk meracik teh. Mereka punya tanggung jawab untuk memastikan teh yang disajikan benar-benar sesuai dengan selera masyarakat.
”Istilah jayengan yang berkembang di masyarakat patut diduga kuat berasal dari abdi dalem jayeng yang dulu bertugas di keraton untuk membuat teh. Hanya saja, ini memang keterangan tertulisnya perlu dibuktikan lagi,” kata sejarawan dari Universitas Sebelas Maret (UNS), Tunjung W Sutirta.
Berdasarkan catatan sejarah, kata Tunjung, budaya minum teh diperkirakan telah muncul sejak abad ke-18. Hal itu dibuktikan dengan disebutnya minuman teh pada SeratCenthini yang ditulis pada masa tersebut. Meski tanaman teh dibawa oleh pemerintah kolonial Belanda, budaya minum teh perlahan merembes ke lingkup pergaulan masyarakat Jawa lewat keraton.
Budaya minum teh, lanjut Tunjung, menyebar lagi semakin luas ke masyarakat lewat interaksi abdi dalem dengan masyarakat umum. Dari transaksi jual beli keperluan penyajian teh, rakyat jelata mengetahui adanya tradisi minum teh di lingkungan kerajaan. Tidak tertutup kemungkinan mereka mencoba racikan tertentu yang digandrungi raja.
”Di lingkungan masyarakat, eksperimen terus berlangsung. Itu berkembang secara organik, sampai sekarang kita tahu, teh khas dari Solo itu yang punya cita rasa nasgitel, atau panas, legi (manis), dan kenthel (kental),” kata Tunjung.
Di lingkungan Keraton Kasunan Surakarta, teh adalah minuman yang penting. Minuman hangat itu disuguhkan untuk menjamu tamu-tamu penting kerajaan.
Warisan keluarga
Saking gemarnya mengonsumsi teh oplos, banyak keluarga di Surakarta mempunyai racikan teh sendiri-sendiri. Racikan teh di satu keluarga dengan yang lain pun bisa berbeda-beda. Ada yang lebih senang jika dominan rasa wanginya, ada juga yang lebih suka dengan rasa yang lebih sepet. Yang pasti, banyak keluarga senang mengoplos teh lebih dari satu merek untuk memperoleh cita rasa yang cocok dengan lidah mereka.
Tradisi mengoplos tes, salah satunya, terdapat di keluarga Sadiyati Widiastuti (51), warga Kecamatan Laweyan, Surakarta. Teh sudah seperti candu bagi keluarga mereka. Minuman hangat itu wajib disajikan setiap pagi dan sore hari.
”Ada yang kurang kalau tidak ngeteh dalam sehari. Jadi, minum teh itu wajib bagi kami. Tentu saja tehnya yang oplosan. Rasanya lebih nendang,” kata Wiwik.
Ilmu mengoplos teh, kata Wiwik, dipelajarinya dari sang ibu sejak ia masih kanak-kanak. Tanpa mencatat resep, Wiwik waktu itu hanya melihat sang ibu mencampur lebih dari satu merek teh. Dari campuran itu, dihasilkan teh dengan cita rasa khas Surakarta, yaitu nasgitel. Kini, paling sering ia meracik teh dengan tiga merek berbeda, yaitu Gopek, 999, dan Sintren atau Nyapu.
”Dari melihat, saya mencoba-coba. Lama-kelamaan bisa juga dan menemukan cita rasa sesuai yang saya harapkan. Itu ketemu begitu saja,” ujarnya.
Hal serupa dialami oleh Arimbi Haryas Prabawanti (23), warga Kecamatan Jebres, Surakarta. Ia belajar mengoplos teh dengan menerjunkan diri setiap kali ada rewangan atau gotong royong menyiapkan hajatan di kampung. Dari situ, ia mengetahui teh yang dicampur dari berbagai merek mempunyai cita rasa tersendiri. Lagi-lagi, ilmunya tak tertulis. Ia menggunakan lidah dan pengalamannya merasakan teh nasgitel setiap hari.
”Karena memang sudah terbiasa mengoplos, jadi satu rumah bisa semua. Memang kami selalu menyediakan lebih dari satu merek teh. Yang bertugas mengoplos pokoknya yang bangun duluan, he-he-he,” kata Ayas, sapaan akrab Arimbi.
Antropolog dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Heddy Shri Ahimsa-Putra, menyebut, tradisi mengoplos teh terus lestari karena meminum teh oplosan sudah menjadi gaya hidup banyak orang. Praktik mengoplos yang tumbuh di dalam keluarga juga membuat pewarisan racikan berjalan secara natural.
”Tradisi menjadi lebih kuat karena pewarisannya berlangsung lewat praktik. Praktik mengoplos teh terus disempurnakan oleh seorang individu. Mereka tidak berhenti. Saat disajikan, ada juga orang yang berkomentar sehingga bisa dicapai selera yang sesuai,” kata Heddy.