Polda Sulteng Bongkar Percaloan Seleksi Bintara dengan Barang Bukti Rp 4,4 Miliar
Praktik calo seleksi calon bintara di Polda Sulteng ini diduga tak hanya melibatkan satu polisi. Dugaan adanya sindikat percaloan tersebut harus dibongkar tuntas.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·3 menit baca
PALU, KOMPAS — Brigadir Satu D, anggota Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, ditangkap karena diduga menjadi ”calo” dalam seleksi bintara Polda Sulteng pada 2022. Dia disebut menerima Rp 4,4 miliar dari 18 calon siswa seleksi. Sejumlah pihak menduga pelaku tak beraksi sendirian dalam kasus ini.
Saat ditangkap, Briptu D bertugas di Bidang Kedokteran dan Kesehatan Polda Sulteng. Saat ini, ia dimutasi ke Bagian Pelayanan Markas Polda Sulteng. Dengan terungkapnya kasus ini, 18 calon bintara didiskualifikasi dari proses seleksi.
Kepala Bidang Humas Polda Sulteng Komisaris Besar Didik Supranoto menyatakan, D ditangkap tim Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Sulteng pada 28 Juli di kawasan Palu Timur, Kota Palu. Ikut disita satu mobil berisi uang tunai Rp 4,4 miliar. Uang tersebut diduga berasal dari 18 calon siswa yang mengikuti seleksi bintara 2022.
”Jadi, dia ini seperti ’menembak di atas kuda’. Tidak bisa apa-apa, tapi memberikan janji kepada calon bintara dan orangtua mereka. Orangtua calon bintara juga punya kemauan untuk itu (percaya janji),” kata Didik di Palu, Sulteng, Selasa (16/8/2022).
Didik tak menjelaskan berapa jumlah uang yang disetor setiap calon bintara kepada D. Namun, jika dilihat dari jumlah korban, setiap orang memberikan sekitar Rp 244 juta. D saat ini ditahan di sel Polda Sulteng untuk menjalani pemeriksaan atau penyelidikan kode etik.
”Status D terperiksa oleh Bidang Propam Polda Sulteng. Perkembangan penanganannya akan kami sampaikan lebih lanjut,” ujar Didik.
Kami mengimbau agar orangtua yang mendaftarkan putra atau putrinya jangan percaya kepada oknum-oknum yang menjanjikan sesuatu.
Menurut dia, sejauh ini, D beraksi seorang diri. ”Uang tersebut di bawah penguasaannya dan tak ada rencana untuk dibagikan kepada siapa pun,” ucapnya.
Didik menyebutkan, uang yang diterima D telah dikembalikan kepada orangtua peserta seleksi yang telah didiskualifikasi. Untuk proses hukum selanjutnya, uang tersebut tidak terlalu diperlukan. Tanda bukti penerimaan antara D dan para orangtua bisa menjadi barang bukti.
Didik menyatakan, pengungkapan kasus percaloan tersebut adalah wujud komitmen Polda Sulteng menghapus atau meniadakan praktik jahat seperti ini dalam penerimaan bintara. Dengan sistem seleksi yang berbasis komputer (CAT), penerimaan bintara berjalan transparan dan murni.
”Kami mengimbau agar orangtua yang mendaftarkan putra atau putrinya jangan percaya kepada oknum-oknum yang menjanjikan sesuatu,” katanya.
Percaloan seleksi bintara di Polda Sulteng bukan kali ini saja terungkap. Pada 2021, kasus serupa terjadi dengan tersangka Brigadir Kepala Agus Salim. Setelah bersalah di level kode etik, kasusnya dibawa ke pengadilan. Ia telah divonis pada Maret 2022 dengan hukuman 1,5 tahun penjara.
”Masyarakat jangan lagi percaya. Kami akan berusaha sekuat tenaga untuk menghapus percaloan ini,” katanya.
Diduga tak sendiri
Akan tetapi, Kepala Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Sulteng Sofyan F Lembah menduga D tak bekerja sendiri. Percaloan diduga melibatkan banyak orang. Oleh karena itu, Propam Polda Sulteng diminta serius mengusut kasus ini untuk membongkar sindikat penerimaan calon bintara.
Ia mengingatkan, percaloan sangat merusak citra polisi. ”(Setoran) Untuk siapa, ini harus dibongkar sindikatnya,” ujarnya.
Peneliti Lembaga Pengkajian dan Studi HAM Sulteng Moh Arfandy juga menduga D tidak beraksi sendiri. ”Kasus ini mengonfirmasi penerimaan calon bintara sarat percaloan. Ini harus dibersihkan. Dengan disorotinya Polri saat ini, percaloan dalam seleksi bintara saatnya dibersihkan. Ini momentum Polri untuk membersihkan citra,” ujarnya.
Ke depan, Arfandy berharap seleksi penerimaan bintara melibatkan unsur masyarakat. Langkah itu untuk memastikan transparansi dan seleksi berkualitas terjaga. Unsur masyarakat yang bisa dilibatkan, antara lain, aktivis, jurnalis, tokoh masyarakat, atau tokoh agama. Unsur masyarakat tersebut bisa menelusuri rekam jejak para calon yang diseleksi guna ikut membentuk integritas polisi sejak dini.