Kopi di Flores perlu diremajakan untuk meningkatkan produktivitas kopi. Harga kopi meningkat, permintaan pun meningkat, tetapi produksi kopi terus menurun.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·3 menit baca
BORONG, KOMPAS — Tanaman kopi di Flores, Nusa Tenggara Timur, perlu peremajaan. Dari ideal 15-20 tahun, usia banyak tanaman kopi di sana dua kali lipat lebih tua. Akibatnya, panen kerap tidak maksimal di tengah tinggi permintaan pasar. Di Flores, mayoritas kebun kopi tersebar di Manggarai, Manggarai Timur, Manggarai Barat, dan Ngada. Diklaim ada sejak 1920, kopi sudah ditanam lebih dari 100 tahun. Tahun 2011, kopi arabica dari Bajawa di Ngada terdaftar dalam Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis.
”
Akibat usia tua, produksi kopi di Flores terus menurun. Perlu peremajaan, mulai dari pemangkasan, penanaman kembali, pemupukan secara organik, hingga butuh pohon pelindung,
Merujuk penelitian Undana tahun 2007, produksi kopi di Flores hanya 350-375 kilogram biji beras per hektar dan relatif tidak banyak berubah hingga sekarang. Jumlah itu jauh dari panen ideal mencapai 4 ton biji beras per hektar. Satu pohon jenis robusta biasanya hanya menghasilkan 1,2 kg biji beras, sedangkan kopi arabika sebesar 0,9 kg biji beras per pohon.
”Selain usia pohon yang tua, produktivitas terhambat karena ditanam bersama kelapa, mangga, nangka, pisang, dan bahkan tanaman hortikultura. Padahal, idealnya, tidak ada tanaman lain, kecuali pohon pelindung, seperti lamtoro atau pohon dadap,” kata Adar.
Ketua Kelompok Petani Kopi Nola Wonga Desa Wolowio, Kecamatan Bajawa, Feliks Soba, mengatakan, kondisi itu sedikit banyak berpengaruh pada panen petani. Permintaan yang besar kerap tidak terpenuhi karena hasil panen tidak ideal. Dia mencontohkan, pihaknya hanya menyanggupi 20 ton kopi dari permintaan 100 ton kopi dari pengusaha asal Amerika Serikat pada tahun 2021.
Upaya meningkatkan produksi pernah dilakukan tahun 2017. Sempat ada peremajaan kopi di lahan petani, ekstensifikasi lahan, pengadaan alat pemroses buah dan biji kopi, dan bantuan anakan kopi yang dilakukan pemerintah daerah setempat.
”Tetapi, ketika ada pergantian pimpinan kepala daerah, kebijakan terhadap kopi berubah drastis. Pemda lebih tertarik pada jahe merah. Kondisi kopi di lahan petani makin merana, sementara permintaan akan kopi terus berdatangan,” kata Feliks.
Hal itu tergambar dari produksi kopi di Bajawa. Jika tahun 2021 produksi kopi arabika mencapai 1,5 ton-2 ton per hektar, tahun ini hanya 200 kg per hektar. Kondisi itu membuat petani urung menikmati harga ideal beras kopi. Dari sebelumnya Rp 80.000 per kg kini tercatat 110.000 per kg.
Penurunan produksi kopi tahun ini juga disebabkan badai Seroja pada April 2021. Feliks mengatakan, saat Seroja datang, kopi sebenarnya sedang berbunga. Saat dihantam bencana, kopi tumbang dan rusak. Kondisi itu membuat kopi tidak bisa dipanen untuk satu periode.
Kepala Organisasi Tata Laksana di Pemerintahan Kabupaten Ngada Wily Adjo membenarkan perlu ada perhatian serius terhadap kopi di Ngada. ”Kita akan perhatikan keluhan petani ini. Kami akan menganggarkan biaya peremajaan tahun 2023, termasuk pengadaan tanaman pelindung, seperti pohon dadap,” katanya.