Pemahaman warga tentang demokrasi masih sempit, lebih sering dikaitkan dengan pemilu atau politik. Pemahaman yang sempit tersebut disebabkan distribusi pengetahuan tidak masif dan ruang pelibatan publik minim.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
KOMPAS/ZULKARNAINI
Peserta dialog Memperkuat Kontribusi Masyarakat Sipil dalam Perdamaian dan Pembangunan Berkelanjutan di Aceh pada Momentum Kemerdekaan Republik Indonesia". Dialog digelar oleh International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dan Flower Aceh, Jumat-Sabtu (12-13/8/2022).
BANDA ACEH, KOMPAS — Pendidikan demokrasi di Provinsi Aceh dinilai belum sampai pada akar rumput atau kelompok minoritas. Dalam struktur politik dan pembangunan, mereka hanya jadi obyek. Padahal, pelibatan dalam pembangunan adalah hak warga negara.
Hal itu mengemuka dalam dialog ”Memperkuat Kontribusi Masyarakat Sipil dalam Perdamaian dan Pembangunan Berkelanjutan di Aceh pada Momentum Kemerdekaan Republik Indonesia”. Dialog digelar oleh International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dan Flower Aceh, Jumat-Sabtu (12-13/8/2022).
Dialog tersebut dihadiri puluhan penggiat di lembaga swadaya masyarakat yang bergerak pada isu demokrasi, hak asasi manusia, perempuan, anak, dan lingkungan.
Ketua Dewan Pengurus INFID Khairani Arifin menuturkan pemahaman warga tentang demokrasi masih sempit, lebih sering dikaitkan dengan pemilu atau politik. Pemahaman yang sempit tersebut disebabkan distribusi pengetahuan tidak masif dan ruang pelibatan publik dalam agenda pembangunan yang kecil.
Aktivis yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Sipil untuk Perempuan dan Politik berunjuk rasa menolak Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2013 tentang Keterwakilan Perempuan dalam Partai di depan Kantor KPU, Jakarta, Senin (1/4/2013) lalu.
Padahal dalam demokrasi semua warga negara memiliki hak untuk terlibat, baik secara langsung maupun tidak, dalam pengambilan keputusan. Demokrasi juga menjamin pemenuhan hak bagi semua kelompok warga.
Khairani menambahkan, pembangunan demokrasi di Aceh masih jauh dari harapan. Banyak masalah yang jadi penghambat, baik dari pemerintah, partai politik, maupun warga. Misalnya, keterwakilan perempuan di parlemen kabupaten/kota dan provinsi masih minim dan sedikit kesempatan bagi perempuan untuk duduk di posisi strategis.
”Saat ini, Aceh masuk dalam 10 provinsi terendah keterwakilan perempuan di parlemen. Bahkan, di beberapa kabupaten di Aceh perempuan hanya satu orang yang terpilih,” ujar Khairani.
Hal itu disebabkan pelibatan perempuan dalam pemilu hanya untuk pemenuhan kuota 30 persen, tetapi pendidikan dan pemberdayaan minim.
Khairani menambahkan, di pemerintahan desa dari 6.600 desa di Aceh hanya 17 perempuan yang menjabat kepala desa. Dalam beberapa pemilihan kepala desa, perempuan hanya dicalonkan untuk melengkapi syarat pencalonan. Hal ini disebabkan masih adanya stigma perempuan belum mampu memimpin.
Persoalan lain pemerintahan yang korup membuat tingkat kepercayaan publik pada demokrasi dan politik menurun. Praktik korupsi oleh oknum aparatur sipil negara dan rekanan, juga kepala daerah. Akibatnya, publik menjadi apatis terhadap kondisi pembangunan.
KOMPAS/ZULKARNAINI
Sejumlah massa dari Aliansi Pemuda Aceh Menggugat (APAM) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut tuntas semua kasus dugaan korupsi di Aceh, Selasa (8/2/2022), di Banda Aceh.
Di sisi lain, beberapa aktivis yang kritis terhadap pemerintah cenderung dikriminalisasi menggunakan UU Informasi Transaksi Elektronik. Menurut Khairani, regulasi tersebut justru menghambat pembangunan demokrasi.
Khairani menuturkan, perlu dibuat lebih banyak ruang belajar informal bagi komunitas warga di akar rumput agar pengetahuan tentang hak demokrasi dan warga tahu tentang hak mereka.
”Semua kita harus ambil peran, kita harus turun ke akar rumput,” kata Khairani.
Direktur Flower Aceh Riswati menuturkan, demokrasi akan terwujud jika semua kelompok warga, termasuk kelompok perempuan, anak, difabel, dan kelompok marjinal lainnya diberikan akses untuk berpartisipasi dalam pembangunan.
KOMPAS/ZULKARNAINI
Suasana di sela-sela dialog "Memperkuat Kontribusi Masyarakat Sipil dalam Perdamaian dan Pembangunan Berkelanjutan di Aceh pada Momentum Kemerdekaan Republik Indonesia".
Riswati mengatakan, belum semua kelompok warga mendapatkan haknya, misalnya anak-anak belum sepenuhnya terlindungi dari kekerasan seksual dan para korban tidak mendapatkan hak pemulihan. Begitu juga dengan korban konflik hingga kini belum sepenuhnya mendapatkan pemulihan komprehensif dan terberdayakan. Kelompok difabel juga masih menghadapi kendala aksebiliti di masyarakat.
”Organisasi masyarakat sipil sejauh ini, dengan keterbatasan, tetap melakukan pengorganisasian dan turun ke bawah untuk membangun kesadaran kritis dan mendampingi warga. Mereka mendorong masyarakat, termasuk kelompok perempuan dan kelompok marjinal, untuk berani bersuara memperjuangkan haknya,” kata Riswati.
Kepala Bidang Politik Dalam Negeri Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Aceh Arsy M Yusuf mengatakan, praktik politik uang masih kerap terjadi pada musim pemilu akibatnya yang terpilih orang-orang yang punya modal finansial.
Arsy mengatakan, pemerintah melakukan pendidikan politik kepada warga agar memilih legislatif dan kepala daerah sesuai dengan hati nurani, bukan karena iming-iming hadiah.
KOMPAS/ZULKARNAINI
Distribusi logistik pemilu ke pulau terluar dan terdepan, yakni Kecamatan Pulau Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, dilakukan dengan menggunakan perahu kayu, Selasa (16/4/2019).
Arsy menambahkan, pihaknya juga melakukan pendidikan politik kepada perempuan untuk mau memilih calon perempuan. ”Pada pemilu 2024, perempuan harus memilih perempuan agar keterwakilan perempuan di parlemen tinggi,” kata Arsy.
Di sisi lain Arsy berharap partai politik dan calon pada pemilu tidak mempraktikkan politik uang dan kampanye hitam, tetapi harus dikedepankan kampanye ide dan gagasan.
Kepala Subdirektorat Kemitraan dan Pemberdayaan Organisasi Masyarakat Sipil, Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, Prayogo Heri Cahyono mendorong organisasi masyarakat sipil di Aceh untuk terlibat penuh dalam proses demokrasi.
Prayogo mengatakan, pemilih pemula, kelompok difabel, kelompok minoritas, dan perempuan juga penentu kualitas demokrasi Indonesia. Oleh karena itu, mereka harus mendapatkan pendidikan politik agar mereka dapat menggunakan haknya dengan baik.