Usulan Perwira Aktif Masuk Kementerian Dikhawatirkan Jadi Kemunduran Demokrasi
Menurut Presiden Jokowi, belum ada kebutuhan mendesak untuk memasukkan perwira aktif ke kementerian atau lembaga negara. Berkembang kekhawatiran mundurnya sistem demokrasi jika usulan itu terwujud.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
SUKOHARJO, KOMPAS — Presiden Joko Widodo angkat bicara soal usulan dimasukkannya perwira aktif ke kementerian atau lembaga negara. Menurut dia, belum ada kebutuhan mendesak untuk melakukan hal tersebut. Berkembang pula kekhawatiran akan mundurnya sistem demokrasi jika usulan tersebut benar-benar terwujud.
”Saya melihat kebutuhannya belum mendesak,” jawab Presiden, saat ditanyai mengenai usulan tersebut, di sela-sela kunjungan kerjanya, di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Kamis (11/8/2022).
Usulan tersebut pertama kali disuarakan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan. Menteri yang juga pernah bertugas menjadi TNI itu menyampaikan pendapatnya dalam acara silaturahmi nasional dan perayaan 19 Tahun Persatuan Purnawirawan TNI AD, di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat (5/8/2022).
”Undang-Undang TNI itu sebenarnya ada satu hal yang perlu sejak saya Menko Polhukam, bahwa TNI ditugaskan di kementerian/lembaga atas permintaan dari institusi tersebut atas persetujuan presiden,” kata Luhut, dikutip dari keterangan tertulis Sekretariat Presiden.
Lewat cara itu, menurut Luhut, para perwira tinggi tak perlu lagi berebut jabatan. Pasalnya mereka bisa berkarier di luar institusi militer. Ia beranggapan, usulan yang dilontarkannya sudah berlaku bagi perwira aktif dari Polri. Untuk itu, pihaknya meminta hal yang sama berlaku pula pada jajaran TNI. Ia mengharapkan usulannya dipertimbangkan dalam perubahan Undang-Undang TNI.
Dihubungi terpisah, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada Wawan Mas’udi menyampaikan, usulan tersebut bertentangan dengan agenda pokok reformasi. Dikhawatirkan, berlaku kembali dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) apabila diskursus yang berkembang nantinya ditindaklanjuti oleh para pemangku kepentingan.
”Kalau ide-ide semacam ini (memasukkan perwira aktif ke kementerian dan lembaga) kembali masuk, itu akan terjadi kemunduran yang luar biasa,” ujar Wawan.
Menurut Wawan, presiden punya peranan penting agar usulan tersebut tidak berkembang menjadi kebijakan. Sebab, mekanisme perubahan undang-undang harus melalui pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Untuk itu, keberpihakan presiden pada semangat reformasi sangat menentukan dalam persoalan ini.
Lebih lanjut, Wawan tak memungkiri persoalan masih banyak ditemui dari sistem pemerintahan sipil. Meski demikian, demokrasi tetap berjalan dengan baik. Persoalan yang ada semestinya diselesaikan dengan mekanisme yang tetap mengedepankan semangat demokrasi. Bukannya memasukkan perwira aktif dari jajaran militer dan kepolisian.
”Sistem demokrasi yang sehat ditandai dengan adanya supremasi sipil. Dalam arti, posisi dan jabatan di pemerintahan diduduki oleh kaum profesional berdasarkan merit system atau dipilih secara politik,” kata Wawan.
Sebenarnya, kata Wawan, militer bisa saja masuk ke dalam pemerintahan. Akan tetapi, mereka harus pensiun atau mundur dari kedinasannya di militer. Perwira aktif yang bisa masuk ke ranah kementerian dan lembaga seharusnya sesuai dengan ketugasannya di bidang pertahanan. Misalnya di Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan, Kementerian Pertahanan, hingga Badan Intelijen Negara.
”Tugas pertama dan utama militer itu untuk pertahanan. Kita tetap harus mendorong lahirnya militer yang profesional. Dengan demikian, fungsi utama pertahanan bisa dijaga. Jika tidak seperti itu, fungsi utama militer untuk pertahanan dan keamanan bisa terganggu,” kata Wawan.