Daya Juang Pelaku Usaha Kopi Kepahiang Meraih Kemerdekaan Pasar
Kopi Kepahiang, Bengkulu, telah dibudidayakan sejak zaman Belanda (1908) dan menjadi nadi ekonomi warga hingga saat ini. Namun, pasarnya masih didominasi kopi asalan. Padahal, cita rasa dan aroma kopi ini telah mendunia.
Kopi Kepahiang, Bengkulu, telah dibudidayakan sejak zaman Belanda (1908) dan menjadi nadi ekonomi warga hingga saat ini. Namun, pasarnya masih didominasi kopi asalan. Padahal, cita rasa dan aroma kopi ini telah diakui dunia. Dengan daya juang tinggi, sistem budidaya kopi pun terus dibenahi hulu-hilir.
Buah kopi berwarna merah itu dijemur di sebuah para-para di depan ”markas” Kelompok Tani Bina Karya Desa Weskust, Kepahiang, Kamis (28/7/2022). Buah kopi tersebut sengaja dipilih langsung dari hamparan perkebunan yang dibudidayakan oleh anggota kelompok tani.
Pemilihan buah kopi berwarna merah ini dikenal dengan pola petik merah. Prosesnya dimulai saat masa panen dengan cara hanya memetik buah yang benar-benar matang atau tua. Buah kopi yang berwarna merah ini kemudian disortir demi mendapatkan biji pilihan yang benar-benar berkualitas tinggi.
”Dengan pola petik merah ini, kopi yang diproduksi petani diharapkan memiliki cita rasa terbaik dan mengeluarkan aroma kopi yang sangat kuat,” ujar Sekretaris Kelompok Tani Bina Karya Firdianto.
Baca juga : Mendorong Pertumbuhan Industri Kopi Nusantara
Pola petik merah dikembangkan di sana beberapa tahun belakangan. Pola ini menjadi salah satu jalan untuk meningkatkan kualitas kopi sehingga diharapkan mampu meraih pangsa pasar premium. Dengan memproduksi kopi berkualitas premium, petani akan mendapatkan harga beli yang lebih tinggi.
Ada tiga jenis kopi yang dibudidayakan di Kepahiang, yakni robusta, arabika, dan liberika. Mayoritas petani membudidayakan kopi robusta. Biji kopi atau green bean robusta petik merah dipasarkan Rp 45.000 per kilogram (kg), sedangkan kopi asalan hanya Rp 20.000 hingga Rp 23.000 per kg. Kopi bubuk premium harganya Rp 150.000 per kg, sedangkan kopi asalan hanya Rp 45.000 per kg.
Mayoritas petani kopi di Kepahiang menjual dengan kualitas asalan sehingga harganya rendah. Kopi asalan diproduksi dari biji kopi campuran atau petik pelangi. Saat musim panen, yakni Februari hingga Juni, petani memetik seluruh buah kopinya termasuk yang masih berwarna hijau kemudian mencampurnya dengan buah yang berwarna kuning dan merah.
Produkitivitas petani kopi berkisar 1-1,2 ton per hektar (ha). Saat terjadi anomali cuaca dan serangan hama seperti sekarang ini, produktivitas turun menjadi 800 kg per ha. Dengan asumsi setiap petani memiliki 1 ha kebun kopi yang produktivitasnya 1 ton per ha, rata-rata penghasilan kotor mereka hanya Rp 1,6 juta per bulan apabila dijual dengan kualitas asalan dalam bentuk biji kopi kering.
Ketua Kelompok Tani Bina Karya, Surman, mengatakan, total anggotanya sebanyak 15 petani dengan pengelolaan kebun kopi seluas 17,5 ha. Adapun lahan kopi di Desa Weskust mencapai 80 ha dengan pengelolaan secara swadaya oleh petani atau perkebunan rakyat.
Baca juga : Konsumsi Kopi Setiap Hari Memperpanjang Umur Sains Menjawabnya
”Mayoritas petani fokus pada perawatan tanaman agar produksinya meningkat. Mereka biasanya melakukan perawatan rutin, pemupukan, dan penyemprotan hama penyakit,” kata Surman.
Saat panen, petani memetik buah kopi, kemudian merambangnya atau memilah dengan cara merendam di air. Buah kopi yang bijinya kurang bagus akan mengambang dan dibuang. Buah kopi pilihan itu lantas dijemur hingga kering mengandalkan paparan sinar matahari.
Menurut Surman, mayoritas petani kopi hanya menangani proses petik, rambang, dan jemur. Setelah itu mereka menyetorkan kopinya ke kelompok tani untuk disortasi atau bahkan diolah menjadi bubuk kopi. Kelompok tani juga bertugas memasarkan produk yang sudah jadi tersebut kepada tengkulak, warung kopi, atau konsumen langsung.
Salah satu petani kopi, Rudi Alfian (45), mengatakan, penghasilan petani hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar karena terpotong oleh biaya produksi. Untuk menambah penghasilan, petani menanam tanaman lain di sela-sela tanaman, kopi seperti buah-buahan, sayuran, bahkan cabai.
Melalui kelompok tani, Rudi, Surman, dan Dian berupaya meningkatkan produktivitas tanaman dan kualitas kopi yang dihasilkan agar mereka bisa mendapatkan nilai tambah yang signifikan. Dengan sentuhan edukasi, petani mulai menerapkan pola petik merah meskipun kuantitasnya belum banyak.
Dari total penjualan kelompok yang rata-rata mencapai 50 kg per bulan, kopi premium baru sekitar 15 kg. Belum adanya standardisasi harga kopi premium turut mempengaruhi semangat petani. Selain itu, segmen pasar premium masih sangat terbatas, berbeda dengan segmen pasar kopi asalan yang terbuka lebar karena lebih diterima oleh pabrikan.
Literasi kopi
Upaya mengangkat pamor kopi Kepahiang juga diwujudkan melalui gerakan literasi. Ketua Komunitas Kopi yang juga inisiator Teras Edukasi Kopi Desa Bandung Jaya, Isman, mengatakan, meski dikenal sebagai penghasil kopi terbesar di Bengkulu, Kabupaten Kepahiang belum mumpuni dalam memanfaatkan pengelolaan hasil komoditasnya agar bernilai ekonomi tinggi.
Kopi telah menjadi nadi ekonomi warga Kepahiang. Secara kualitas kopi ini telah diakui cita rasa dan aromanya di pasar dunia. Selain itu telah memiliki Indikasi Geografis (IG). Oleh karena itulah, intervensi terus dilakukan di sektor hulu-hilir agar semakin berkembang. (Hartono)
Mayoritas warga Desa Bandung Jaya adalah petani kopi. Namun, mereka sebatas mengetahui cara menanam dan menjual hasil panen. Petani juga terbiasa berutang kepada tengkulak untuk memenuhi kebutuhan harian dan membayarnya dengan hasil panen. Harga kopi pun ditentukan tengkulak.
Isman yang lahir dari keluarga petani kopi ini lantas membuka Teras Edukasi Kopi pada 3 Desember 2021 lalu untuk meningkatkan pengetahuan petani di sekitarnya. Pengunjung bisa menyeruput secangkir kopi seraya mendengarkan penjelasan tentang jenis kopi, cara budidaya yang baik, hingga pola pemetikan buahnya.
”Setelah diedukasi, petani menjadi tahu tentang pentingnya petik merah untuk mendapatkan kualitas yang bagus dan harga yang lebih mahal di pasaran,” ujarnya.
Sekretaris Daerah Kabupaten Kepahiang Hartono mengatakan, total luas tanaman kopi di wilayahnya mencapai 24.000 ha dan semuanya dikelola oleh petani. Dengan rata-rata produktivitas 800 kg hingga 1 ton per ha, produksi kopi mencapai 24.000 ton setiap tahunnya.
Dengan asumsi rata-rata petani mengelola 1 ha kebun kopi, terdapat 24.000 keluarga yang ekonominya ditopang oleh sektor ini. Apabila setiap keluarga memiliki empat anggota, total ada 92.000 jiwa yang dihidupi. Jumlah itu mencapai 70 persen dari total penduduk Kepahiang sebanyak 150.000 jiwa.
”Kopi telah menjadi nadi ekonomi warga Kepahiang. Secara kualitas kopi ini telah diakui cita rasa dan aromanya di pasar dunia. Selain itu, telah memiliki Indikasi Geografis (IG). Oleh karena tu, intervensi terus dilakukan di sektor hulu-hilir agar semakin berkembang,” ujar Hartono.
Di hulu pembenahan dilakukan dengan meremajakan tanaman kopi yang usianya rata-rata lebih dari 10 tahun agar hasil panennya tetap tinggi. Caranya melalui teknik stek batang dan stek payung. Selain itu memberi bantuan pupuk dan pendampingan budidaya kepada kelompok tani.
Di sektor hilir dilakukan penguatan lembaga UMKM yang bergerak dibidang pengolahan kopi dan intervensi sistem pemasaran melalui pengembangan sistem resi gudang. Pemasaran kopi Kepahiang yang didominasi kopi asalan juga diintervensi dengan memberikan bantuan mesin roaster dan pembuat bubuk kopi agar petani tidak lagi menjual dalam bentuk green bean. Kendalanya banyak petani memiliki ketergantungan besar kepada toke yang meminjami modal tanam mereka.
Hartono mengatakan, pihaknya menggencarkan edukasi sambil berupaya membuka ceruk-ceruk pasar baru termasuk merambah pasar digital. Membangun citra kopi Kepahiang di kancah nasional dan global juga penting agar semakin dikenal. Caranya lewat pameran di luar kota bahkan luar negeri dan menggenjot pemasaran daring melalui marketplace.
Cara lain, menggerakkan pemuda desa untuk menekuni dunia kopi dan mendorong mereka berkecimpung di bidang pemasaran terutama pasar daring yang mengandalkan teknologi informasi. Beberapa desa sudah berhasil ekspor langsung namun kuantitasnya masih kecil.
Hartono sadar pihaknya tak bisa berjuang sendiri apalagi APBD Kepahiang hanya Rp 600 miliar per tahun. Dia berharap ada intervensi dari Pemprov Bengkulu dan pemerintah di tingkat pusat untuk meningkatkan sumber daya petani hingga memperbesar jangkauan pemasaran kopi Kepahiang.
Baca juga : Menjelajah Nikmatnya Kopi Indonesia