Cerita Bahagia Para Penangkap Tuna di Morotai
Saat akses pasar ekspor semakin terbuka, akses nelayan Maluku Utara menjual tangkapan tuna semakin mudah. Kesejahteraan nelayan perlahan semakin terang.
”
Gelap mulai menyelimuti pantai Desa Sangowo, Kecamatan Morotai Timur, Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara, Rabu (27/7/2022). Seperti diburu waktu, tangan cekatan Muhlis Lastori (31) juga bergerak cepat. Semuanya seperti menggambarkan semakin kencangnya perekonomian warga di timur Indonesia yang banyak berharap pada potensi tuna.
Tap..., tap..., tap….
Satu per satu belasan tuna dinaikkan ke bak mobil terbuka yang terparkir di samping penimbangan tuna Arrafif, milik Muhlis.
”Tinggal dua ekor, buat besok,” ujarnya tak lama, kepada Hairul Lastori (23), pengemudi mobil.
Setelah melepas anggukan, Hairul tidak ingin berlama-lama. Setelah mesin mobil menyala, dia melesat menembus malam. Tujuannya, PT Harta Samudera di kawasan Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) Morotai. Letaknya di Desa Daeo Majiko, Kecamatan Morotai Selatan, atau berjarak 10 kilometer dari Sangowo.
Penimbangan Arrafif bukan bangunan besar. Dindingnya papan. Atapnya seng. Fasilitas itu dilengkapi bak penampungan dan air bersih.
Meski sederhana, tempat itu adalah sumber penghidupan Muhlis, setidaknya dua tahun terakhir. Dia adalah penerima tuna tangkapan nelayan setempat. Setidaknya ada 10 perahu yang biasa setor tangkapan kepada dia.
”Tidak semua setor ikan tiap hari. Sekarang hanya lima perahu yang beroperasi,” ucapnya.
Baca juga: Produk Tuna Ramah Lingkungan Indonesia Diakui Dunia
Setoran tuna bergantung musim. Saat bukan waktunya seperti sekarang, Muhlis mengatakan, hanya menerima 15 ekor tuna seberat 300 kilogram.
Saat musim tuna, ia bisa menerima 1.000-2.000 kg per hari. Musim tuna adalah delapan bulan dalam setahun, Januari-April dan Oktober-Desember.
Jumlah itu jelas bukan angka kecil. Apalagi, nelayan Sangowo dan Morotai kerap melaut seharian (one day fishing). Perahunya di bawah 3 GT. Satu perahu dilengkapi dua buah mesin. Mereka juga menggunakan pancingan layangan tradisional.
Nelayan biasanya beraktivitas sebelum subuh. Mereka melaut sejak pukul 03.00-05.00 WIT. Kegiatan melaut diawali mencari ikan kecil, sotong, dan cumi-cumi. Semuanya digunakan sebagai umpan.
Kembali sebentar ke darat menyiapkan alat dan umpan, mereka segera ke laut mencari tuna. Lokasi perburuan masih di perairan Morotai. Lokasinya 11-60 mil laut.
Biasanya, sekali melaut, mereka menghabiskan waktu 10-12 jam. Rata-rata perahu kembali ke pantai sekitar pukul 16.00. Dari kejauhan hasil tangkapan nelayan bisa ditebak orang-orang di darat. Perahu menyembul sedikit di permukaan laut bersama deru berat mesinnya berarti perahu penuh tuna.
”Itu tanda perahu berat karena isi ikan,” kata Mahrum Lastori (55), nelayan lainnya, sambil menunjuk salah satu perahu yang tengah melaju.
Sore itu, Mahrum tidak sendirian. Dia bersama sejumlah nelayan menghabiskan sore di pantai. Celoteh mereka membuat suasana terasa hangat. Tak jarang, mereka bersahutan dengan nelayan yang masih di atas perahu.
”Bagaimana tangkapan hari ini? Ikan segini (menunjukkan lengan sebagai ukuran ikan) apa makan umpan?” tanya Mahrum kepada Firman (24), nelayan lain yang tengah membongkar muatan.
”(Ikan yang seukuran lengan) makan itu umpan, tapi saya tidak mancing itu ikan. Saya fokus menangkap yang besar (tuna) saja. Yang seukuran tangan saya abaikan,” kata Firman, mitra Koperasi Nelayan Tuna Pasifik.
Seperti nelayan lain, tangkapan Firman juga tidak banyak. Hanya lima ikan. Bobotnya 11-19 kg. Biasanya dia bisa mendapat 2-3 kali lipat lebih banyak.
Apabila dihitung, harga tuna Rp 17.000 per kg, Firman sudah mengantongi Rp 1,3 juta. Namun, ada sejumlah pengeluaran yang harus dibiayai, salah satunya bahan bakar minyak, berkisar Rp 450.000-900.000 per sekali melaut.
”Tetap disyukuri berapa pun hasilnya,” ucap Firman sambil tersenyum, lalu menghidupkan mesin perahu dan pulang ke rumahnya yang berada di sisi pantai yang lain.
Baca juga: Lumbung Ikan Nasional, Jangan Sampai Nelayan Tradisional Terpinggirkan
Penghasilan lebih baik
Firman hanya secuil dari sedikitnya 700 nelayan Sangowo dan sekitarnya dari kurang lebih 3.000 nelayan di Morotai. Kampung nelayan tuna ini adalah yang terbesar di Morotai.
Keberadaan nelayan tuna lainnya tersebar di sisi timur hingga utara Pulau Morotai, seperti Daeo Majiko sampai Bere-bere di Kecamatan Morotai Timur.
Menurut Nahrul (50), nelayan lainnya, tuna lebih disukai karena bernilai ekonomis tinggi. Seorang nelayan bisa mendapatkan penghasilan di atas Rp 10 juta per bulan. Dari sana, Nahrul menyekolahkan dua anaknya, membangun rumah, serta membeli kendaraan bermotor.
Sejak tahun 2018, tuna tidak sulit dijual. Sebagian menjual ke PT Harta Samudera di Morotai. Namun, ada juga yang memilih menjual ke Ternate dan Bitung di Sulawesi Utara demi harga tertinggi.
Kepala Cabang PT Harta Samudera I Made Malihartadana mengatakan, pihaknya beroperasi sejak 2018. Dia punya 14 lokasi pemasok di Morotai. Dari sana, tuna diekspor dalam bentuk loin ke Vietnam melalui Surabaya.
”Setiap tahun ada 25-30 kontainer atau berkisar 300-360 ton loin ke Vietnam,” katanya.
Potensi itu, kata Malihartadana, masih terbuka lebar. Namun, dibutuhkan beragam hal untuk memacunya. Dia menyebut peningkatan ukuran kapal, lama pencarian di laut, hingga luas lokasi pencarian.
”Selain itu, butuh edukasi ke nelayan, misalnya soal waktu pencarian. Kalau waktunya singkat, maka hasil yang didapat kurang banyak. Baru berangkat, terkendala cuaca sedikit saja, langsung pulang lagi,” kata Made.
Made tidak keliru. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan, potensi ikan tangkap Morotai di tiga wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 715, 716, dan 717 mencapai 1,7 juta ton per tahun.
Dari produksi maksimum lestari sebesar 68.566 ton per tahun, yang berpotensi dimanfaatkan SKPT Morotai baru 9,15 persen atau 6.272 ton setahun yang dimanfaatkan.
Penanggung Jawab SKPT Morotai Mahli Aweng mengatakan, potensi tuna Morotai terbilang besar. Namun, pemanfaatannya belum ideal karena ukuran kapal yang relatif kecil.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah armada tangkap pada tahun 2021 di Morotai untuk jenis kapal tanpa motor sebanyak 475 unit, kapal motor tempel (802), dan kapal motor (26). ”Masih kalah dari Bitung karena di sana kapalnya besar-besar. Kalau program Penangkapan Ikan Terukur jalan nantinya, saya yakin produksi tuna di Morotai akan naik,” ucap.
SKPT Morotai yang diresmikan 2019 bertujuan memajukan kegiatan perikanan di pulau terluar itu. Ada sejumlah infrastruktur di dalamnya, termasuk yang dibangun menggunakan dana hibah bantuan JICA Jepang. Melalui SKPT, diharapkan ikut meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sejauh ini, fasilitas di SKPT Morotai, antara lain, baru berupa pangkalan pendaratan ikan, stasiun pengisian bahan bakar, dan Harta Samudera yang merupakan satu-satunya perusahaan pengolahan ikan di Morotai. Ke depan, fasilitas pendukung rencananya akan ditambah, mulai dari tempat pendingin terintegrasi, pabrik es, kios nelayan, hingga kantor pelabuhan.
Sejauh ini, menurut Mahli Aweng, KKP telah memberikan bantuan ratusan perahu kepada nelayan yang menjadi anggota koperasi pada 2017-2018. Sayangnya, pandemi Covid-19 membuat banyak koperasi di desa nelayan limbung dan perannya kini digantikan pemasok.
Salah satu koperasi yang masih berdiri adalah Koperasi Nelayan Tuna Pasifik di Sangowo. Sekretaris Koperasi Tuna Pasifik Irfan Lastori mengatakan dapat bantuan 40 unit perahu. Semua perahu digunakan oleh nelayan.
Koperasi Tuna Pasifik yang berdiri tahun 2016 memiliki beberapa kegiatan, mulai dari pembelian ikan hasil tangkapan anggota, kios nelayan menyediakan kebutuhan peralatan tangkap ikan, hingga simpan pinjam.
”Koperasi mengirimkan ikan ke perusahaan di Ternate,” ucapnya.
Baca juga: Mengintip Produksi Tahu Tuna Khas Pacitan
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pulau Morotai Yoppy Jutan menyebut volume produksi ikan antarpulau dalam negeri dan ekspor masih fluktuatif.
Mengacu data BPS, produksi ikan di Morotai dalam tiga tahun terakhir menunjukkan peningkatan. Jika tahun 2019 total produksi ikan 3.811 ton dan 1.985 ton di antaranya tuna, tahun 2020 menjadi 4.094 ton (2.223 ton tuna) dan 2021 sebanyak 4.717 ton (2.612 ton tuna).
”Selain ekspor, ada tuna yang dikirim antarpulau untuk tujuan konsumsi domestik, yakni untuk jenis yang belum masuk ukuran,” katanya.
Meski jumlah tangkapan meningkat, menurut Yoppy, bukan berarti pengembangan tuna di Morotai tidak menghadapi kendala. Sebagai salah satu kepulauan kecil, masalah yang masih dihadapi adalah soal transportasi logistik. Tol laut yang ada dianggap belum memadai.
Dia mencontohkan dari 12 kontainer tuna siap kirim, ternyata hanya 4-5 kontainer yang terangkut. Akibatnya, ikan harus bertahan lebih lama di ruang pendingin (cold storage). Otomatis, hal ini berpengaruh terhadap kualitas ikan.
”Hari ini, misalnya, posisi di cold storage penuh. Seperti di selatan barat closing, tidak bisa terima lagi karena tidak seimbang sistem logistik rantai pasoknya. Begitu ikan masuk kita tampung, kita kirim balik melalui moda transportasi laut, namun tidak mampu optimal,” katanya.
Untuk meningkatkan produksi tuna dan ikan lain, Yoppy mengatakan ada beberapa langkah yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah. Salah satunya memanfaatkan Dana Alokasi Khusus APBD untuk membangun armada tangkap berkapasitas 3-5 GT. Ada 56 unit yang tahun ini akan disebar ke sentra tuna dan ikan lain.
Tiga hari lalu, Pemkab Pulau Morotai juga baru saja menandatangani pranota kesepahaman (MOU) dengan Taiwan dalam rangka pengembangan kawasan ekonomi khusus industri perikanan di Wayabula. Ke depan, akan dibebaskan lahan 100 hektar terbuka untuk pengembangan industri perikanan berkelanjutan.
Pihaknya berharap pengembangan industri perikanan bisa berimbang, baik di sisi timur maupun barat Pulau Morotai. Menurut Yoppy, perikanan dunia, khususnya perikanan tangkap, 30 tahun terakhir stagnan, bahkan tiga tahun terakhir trennya menurun.
Padahal, kebutuhan dunia akan protein ikan semakin tinggi. Ketergantungan dunia pada ikan sebagai sumber protein murah terus meningkat. Morotai sebagai sentra ikan harus mengantisipasi hal itu.
”Semua harus dilakukan untuk kesejahteraan nelayan,” katanya.
Sandra Tjan dari Indonesia Locally Managed Marine Area—lembaga nonpemerintah untuk penguatan masyarakat pesisir di bidang konservasi laut—mengatakan, produktivitas nelayan mesti ditingkatkan. Koperasi-koperasi mati dihidupkan kembali, termasuk badan usaha milik desa (BUMDes) yang banyak tersebar di Morotai.
”BUMDes itu mesti didorong untuk menyedot ikan dari nelayan, bukan hanya tuna, untuk dikelola dan dikembangkan, tetapi juga ikan lain. Sehingga pada akhirnya, kesejahteraan nelayan akan meningkat,” katanya.
Bagi nelayan kecil seperti Muhlis, sejauh ini penghasilan dari tuna lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Jika sedang musim tuna, dia mengatakan, seorang nelayan bisa mengantongi pendapatan bersih di atas Rp 20 juta dalam sepekan, belum termasuk biaya bahan bakar.
”Nelayan Sangowo rata-rata lebih makmur ketimbang petani bahkan pegawai negeri sipil,” katanya.
Akan tetapi, kesejahteraan masyarakat nelayan masih sangat tergantung diri sendiri. Selain keterbatasan armada dan sarana pendukung, literasi keuangan nelayan masih rendah.
Kini, saat akses pasar ekspor semakin terbuka, akses nelayan menjual tangkapan tuna semakin mudah. Kesejahteraan nelayan perlahan semakin terang. Hanya saja, keterbatasan sarana membuat potensi yang ada belum termanfaatkan ideal. Pendidikan literasi keuangan juga dibutuhkan. Semua demi hidup nelayan yang kini terus berharap kian sejahtera.
Baca juga: Sertifikasi Dongkrak Harga Tuna Indonesia