Mereka yang Rentan di Ibu Kota Baru
Bertahun-tahun hidup di tengah kepungan hutan, kini akses warga Sepaku mulai terbuka. Tapi, mereka justru khawatir akan tersingkir setelah IKN ditetapkan. Sementara konsep penataan warga IKN belum pernah mereka dapatkan.
Bertahun-tahun setelah melewati beratnya menjadi warga transmigran dari Pacitan, Jawa Timur, Tukinem mengenang tanah yang saat ini ia tinggali, Sepaku. Tanah yang semula baginya antah berantah itu dulu berupa hutan lebat: pohon-pohon tumbuh dengan diameter lebih dari 2 meter, hanya ada jalan setapak, dan masih banyak binatang hutan seperti babi, ular, hingga hewan pengisap darah seperti lintah.
Perempuan 80 tahun itu ingat betul, ia dan almarhum suaminya menyebut tempat bukan dengan nama, melainkan dengan tanda-tanda di sekitarnya, seperti ”di samping sungai”, ”tepi jalan besar”, atau ”di dekat pohon meranti besar”. Saat itu, tahun 1977, ia termasuk kelompok pertama transmigran yang mendiami lahan di sana.
Kini, tempat itu dinamai Kecamatan Sepaku, bagian dari Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Nama Sepaku konon diambil dari tumbuhan paku atau pakis (Polypodiophyta), tumbuhan yang jamak ditemui di sana, saat masih hutan alami. Tumbuhan yang beregenerasi menggunakan spora itu kini sulit ditemui lantaran hutan di sana sudah berubah menjadi kebun, permukiman, serta hutan tanaman industri dengan luas ratusan ribu hektar.
Kini, jalan setapak dalam kenangan Tukinem itu sudah berubah menjadi jalan aspal dan jalan cor, lengkap dengan marka kuning di tengahnya, pertanda jalan dengan lebar 7 meter itu merupakan jalan negara. Jalan itu mulai dipugar jadi mulus pada akhir tahun 2020 setelah ditunjuk Presiden Joko Widodo sebagai titik nol Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.
”Alhamdulillah, sekarang sudah ramai. Semoga rumah sakit dan sekolah semakin bagus di sini,” kata Tukinem yang tinggal di Desa Sukaraja, Kamis (28/7/2022).
Baca juga: Mimpi Nelayan Menebar Jaring di Kawasan Hilir IKN
Ia ingat betul masa-masa awal merintis lahan di sana. Saat itu, ia dan almarhum suaminya diberikan lahan 2 hektar oleh pemerintah untuk digarap. Hanya berbekal peralatan seadanya, seperti golok, kapak, dan pacul, mereka membuka lahan yang masih belukar. Sejumlah pohon tua mereka tebang dan memanfaatkan kayu untuk membuat rumah.
Mereka mula-mula menanam singkong, jagung, dan mulai membuka lahan untuk mencoba menanam padi. Karena akses yang sulit untuk menjual hasil panen ke Kota Balikpapan, kota terdekat yang berjarak sekitar 90 kilometer, hasil panen kerap tak terjual. Alhasil, sebagian dari tanaman itu hanya untuk konsumsi sehari-hari dan sisanya membusuk.
”Padahal kalau mau panen, saya dan suami sampai harus menginap di ladang. Soalnya takut dimakan dan dirusak babi hutan,” kenang Tukinem.
Setelah Kecamatan Sepaku dihidupi oleh para transmigran selama puluhan tahun, kini pemerintah membuat program pemindahan IKN Nusantara. Rumah Tukinem dan beberapa anaknya berada di tepi Jalan Negara, jalan utama menuju Titik Nol IKN. Desas-desus yang beredar, sejumlah lahan milik mereka akan digunakan untuk pelebaran jalan raya menuju IKN. Konon, dari jalan yang ada akan diperlebar 25 meter di kiri dan kanan jalur.
”Kemarin sudah ada yang survei dan ukur tanah ke sini. Kami, ya, mau ndak mau bakal melepas lahan kalau nanti mau dipakai untuk jalan. Enggak mungkin nolak. Kalau menolak pun, lahannya pasti bakal dipakai, seperti di undang-undang itu,” ujar Erwan Budi Susanto (39), cucu Tukinem yang tinggal di samping rumahnya.
Sebagai generasi ketiga transmigran di Sepaku, Erwan masih merasakan getirnya hidup di lokasi yang minim akses pembangunan, terutama jalan. Sampai awal tahun 2000, keluarganya masih harus menggunakan perahu untuk mengarungi teluk Balikpapan guna berbelanja di Kota Balikpapan. Perjalanan paling cepat dua jam.
Sebagai petani dan pekebun, Erwan juga membayar biaya angkut hasil panen yang mahal lantaran akses jalan amat buruk. Belum lagi harga komoditas pertanian yang tak menentu. Sebelum tahun 2006, ia sempat bertani lada. Namun, karena harganya anjlok, ia dan banyak orang di Sepaku akhirnya beralih ke sawit.
Kalau sampai digusur, ya nanti saya ndak menikmati itu (pembangunan IKN). Belum tentu juga dari uang ganti ruginya bisa buat beli tanah untuk usaha kayak sekarang.
Setelah lebih dari sepuluh tahun bertani sawit, Erwan baru merasakan manisnya harga tandan buah segar di awal tahun 2022 yang angkanya di atas Rp 3.000 per kilogram. Itu masa emasnya sebagai petani sawit. Namun, belum sempat panen berkali-kali, harga sawit merosot. Bahkan, harganya sempat di bawah Rp 1.000 per kilogram tandan buah segar.
Selain mengandalkan kebun sawit di lahan sekitar 1,5 hektar, Erwan kini membuka warung nasi kuning di depan rumahnya. Di bantu istri, ia juga menjual minuman kemasan dan jus. Itu semua ia lakukan agar merdeka finansial di tengah rentannya petani kecil seperti mereka terhadap harga komoditas kebun dan pupuk yang tak bersahabat.
”Hidup merdeka dan nyaman bagi kami petani sawit, ya harga tandan buah segarnya bagus. Setidaknya di atas Rp 1.500 per tandan buah segar,” katanya.
Baca juga: Tanahnya Diakui Negara, Masyarakat Adatnya Tidak
Suku lokal
Raniah, keturunan suku Paser yang sudah hidup turun-temurun di sana, juga merasakan minimnya akses. Warung dan rumah perempuan 57 tahun itu dipatok pemerintah sebagai kawasan inti pusat pemerintahan (KIPP) IKN.
Tanda itu membuatnya khawatir bakal tersingkir dari tempatnya tinggal dan mencari nafkah. Dari warung itu, ia menghidupi cucunya yang yatim. Pembangunan ibu kota, bagi Raniah, adalah angin segar karena kampung dan warungnya bakal semakin ramai. Namun, patok IKN di depan rumahnya itu seolah pertanda ia bakal tergusur.
”Tapi kalau sampai digusur, ya nanti saya ndak menikmati itu (pembangunan IKN). Belum tentu juga dari uang ganti ruginya bisa buat beli tanah untuk usaha kayak sekarang,” ujarnya yang tanahnya tak bersertifikat, hanya alas hak berupa segel dari desa.
Baca juga: Suara Lirih Masyarakat Adat di Tepian IKN
Padahal, selama puluhan tahun tinggal di sana, Raniah membayangkan kampungnya bisa maju dengan fasilitas yang baik, seperti rumah sakit, jalan, dan sekolah. Selama ini, warga Sepaku harus dirujuk ke Kota Balikpapan (berjarak sekitar 90 kilometer) untuk mendapatkan penanganan medis terhadap penyakit yang serius. Mereka menjalani kesulitan itu untuk bisa merdeka dari sulitnya hidup.
Jika kelak tersingkir dari tanahnya saat ini karena pembangunan IKN, orang seperti Raniah mungkin hanya mampu membeli lahan di tempat yang jauh dari pusat keramaian yang juga semakin jauh dari layanan kesehatan dan pendidikan. Mereka memulai kehidupan lagi dari nol. Sebab, harga tanah di sekitar Sepaku yang semula hanya ratusan ribu rupiah per meter persegi kini paling murah Rp 1 juta per meter persegi sejak adanya IKN.
Warga seperti Raniah juga menunggu konsep dari pemerintah mengenai penataan permukiman warga yang sudah menetap lebih dahulu. Selama ini, ia belum mendapat sosialisasi bagaimana desain pembangunan IKN. ”Apakah nanti ada perkampungan khusus untuk kami atau semuanya untuk IKN, kami ndak pernah dikasih tau,” ungkapnya.
Dihubungi terpisah, koordinator Tim Informasi dan Komunikasi Tim Transisi IKN Nusantara, Sidik Pramono, menjelaskan, pemerintah terus melakukan pendataan kepemilikan tanah yang ada di IKN, termasuk data status hukumnya. Menurut dia, semua akan dijalankan sesuai mekanisme yang tertera dalam undang-undang.
”Tentu pemerintah menghargai kepemilikan dan penguasaan tanah yang ada di wilayah IKN Nusantara, terutama di titik pembangunan pertama, yakni KIPP,” katanya.
Dalam berbagai sesi wawancara dengan Kompas, antropolog dari Universitas Mulawarman, Samarinda, Simon Devung, berharap pemerintah melihat persoalan secara komprehensif dan tidak terburu-buru membangun ibu kota di Kaltim. Menurut dia, persoalan masyarakat di sekitarnya perlu dilihat dengan rinci.
Apalagi pemerintah mengusung visi ”Kota Dunia untuk Semua” dalam membangun ibu kota baru. Kata ”semua” bermakna tak terkecuali, termasuk warga lokal yang hidup, menetap, dan berjuang lebih dahulu di tanah itu.
”Seyogianya membangun negeri ini bukan berdasarkan kepentingan rezim, tetapi jangka panjang. Pembenahan hak masyarakat lokal yang lebih dulu bermukim, bukan cuma masyarakat adat, itu penting,” ujar Simon.
Lihat juga: Ritual Besoyong Wafga Suku Paser