Air Bersih yang Memerdekakan Jepitu di Gunungkidul
Kekeringan telah menjadi masalah menahun bagi warga Desa Jepitu, Kecamatan Girisubo, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun, mereka tak hanya berpangku tangan dan menerima nasib begitu saja.
Kekeringan telah menjadi masalah menahun bagi sebagian warga Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, tak terkecuali warga Desa Jepitu di Kecamatan Girisubo. Namun, mereka tak hanya berpangku tangan dan menerima nasib begitu saja. Dengan uluran tangan banyak pihak, warga berjuang membebaskan diri dari persoalan yang membelenggu secara turun-temurun itu.
Rubiyanto (40), warga Desa Jepitu, selalu merasa terenyuh setiap kali mendatangi kawasan Goa Pulejajar. Matanya berkaca-kaca melihat tiga kolam tampungan dipenuhi air yang letaknya hanya beberapa meter dari mulut goa tersebut. Gemercik air yang seolah tak pernah putus terdengar bagaikan sorak pembebasan.
”Pulejajar menjadi kemerdekaan masyarakat Jepitu dari kekeringan. Kami merdeka atas air bersih. Dibantu banyak sukarelawan, masyarakat ikut andil menghadirkan sumber air bersih bersama-sama,” kata Rubiyanto, atau yang karib disapa Rubi, di kawasan Gua Pulejajar, Kamis (14/7/2022) petang.
Upaya menghadirkan air bersih untuk mengatasi kekeringan di sana berawal dari ekspedisi pelacakan sungai bawah tanah yang dilakukan sejumlah mahasiswa pencinta alam Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta pada 2008. Mereka menggandeng Komunitas Merangkul Bumi (Kombi), organisasi pencinta alam di Desa Jepitu, yang dipimpin oleh Rubi. Dalam ekspedisi tersebut, baru diketahui keberadaan sumber air bawah tanah di Goa Pulejajar.
Setelah ekspedisi pertama, banyak pemerhati yang tertarik mempelajari goa tersebut. Mereka datang dari sejumlah universitas dan lembaga studi, seperti Acintyacunyata Speleological Club (ASC) Yogyakarta.
Pada 2013, ide mengangkat air dari dalam goa diusulkan oleh salah seorang dosen dari Universitas Indonesia. Caranya menggunakan metode gravitasi. Sayangnya, rencana itu gagal terwujud karena tak mendapat dukungan dana.
Rubi bersama komunitasnya mencoba agar program pengangkatan air bisa terwujud dengan mengusulkannya ke rapat pemerintah desa. ”Ternyata, program ini disetujui pemerintah desa. Itu dimasukkan ke prioritas pembangunan desa di tahun 2015. Jadilah itu gugur gunung (kerja bakti) di goa pertama kalinya,” tutur Rubi.
Saat itu, anggota Kombi dan warga setempat belum mempunyai pengalaman sama sekali memasang pipa ke dalam goa. Tantangannya pun cukup besar. Ada ancaman keselamatan dengan menyusuri goa berjenis horizontal sepanjang 1,2 kilometer tersebut. Beruntung banyak bantuan datang dari para sukarelawan pegiat susur goa dan mahasiswa pencinta alam. Pemetaan dan pemasangan pipa berlangsung selama lebih kurang empat bulan.
Baca juga: Warga Terdampak Bencana Kekeringan di Lanny Jaya Capai 2.740 Orang
Tanggal 3 Oktober 2015, hari yang dinanti-nanti tiba. Pada pukul 17.45, untuk pertama kali air mengalir dari pipa HDPE yang disambungkan ke dalam goa. Debitnya memang masih kecil. Hanya 1,23 liter per detik. Meski demikian, aliran air dari pipa HDPE tersebut menyemai harapan warga akan berakhirnya belenggu kekeringan di desa tersebut.
”Itu semuanya sorak-sorak. Sampai-sampai, saya dikira seperti paranormal. Ada paranormal di sini yang malah sampai mencium tangan saya. Ha-ha-ha,” kata Rubi.
Meski sudah bisa dikeluarkan dari goa, air belum bisa didistribusikan langsung kepada masyarakat. Warga harus datang ke mulut goa jika butuh mengambil air tersebut.
Rubi dan teman-temannya terus mencari cara agar pemanfaatan air bisa semakin luas. Dukungan dana akhirnya diperoleh dari sebuah lembaga keagamaan dan pemerintah. Mereka memperoleh bantuan sejumlah pipa guna memperbesar debit aliran air.
Kekeringan yang terjadi di Gunungkidul disebabkan oleh karakter tanah kapur.
Lalu, gugur gunung yang kedua diadakan kembali pada 2019. Saat itu, jumlah warga yang terlibat jauh lebih banyak. Ada yang menyumbangkan tenaga, pikiran, harta, hingga hasil bumi. Bapak-bapak ikut memasang pipa, sedangkan ibu-ibu ikut memasak. Lagi-lagi pekerjaan berlangsung siang dan malam. Buah manisnya dirasakan sekarang. Air mengalir dengan debit hingga 6 liter per detik.
”Idealnya memang tersambung ke rumah warga. Namun, jarak dari sumber air ke rumah warga 5,2 kilometer. Energi yang harus dikeluarkan cukup besar. Dikhawatirkan, kalau nanti dipaksakan, kami akan kesulitan untuk pemeliharaan alat,” kata Rubi.
Solusinya, air didistribusikan ke rumah warga menggunakan mobil tangki. Kini, mereka mempunyai mobil tangki berkapasitas 6.000 liter. Warga yang membutuhkan bisa langsung menghubungi komunitas sukarelawan desa tersebut. Harganya dipatok sama dengan pengusaha tangki lainnya, yakni sekitar Rp 100.000 sekali angkutan. Namun, bagi warga setempat yang ikut kerja bakti pengangkatan air bersih, hanya dikenai biaya separuhnya. Untuk sekolah, masjid, dan kegiatan sosial lainnya, air bersih diberikan secara cuma-cuma.
Biaya jasa pengangkutan air digunakan untuk operasionalisasi komunitas. Misalnya untuk pembelian bensin dan pemeliharaan alat. Para sukarelawan tidak memperoleh upah sepeser pun dari mengirimkan air kepada para warga.
Solusi bagi warga
Iswantini (39), warga Desa Jepitu, termasuk sebagai penduduk yang sangat terbantu dengan keberadaan air bersih dari Goa Pulejajar. Ia masih ingat betul tahun-tahun awal menginjakkan kaki di desa tersebut. Air bersih sangat sulit dicari saat kemarau tiba. Terlebih lagi jika berlangsung lebih panjang daripada biasanya. Kebutuhan air bersih hanya bisa dipenuhi dengan dua cara, yakni membeli air dari truk tangki atau mendatangi sumber mata air yang jaraknya 2 km dari desa tersebut.
Baca juga: Warga di Ambang Krisis Air Bersih
”Itu waktu tahun 2003. Saya datang pas kondisi susah-susahnya. Pernah sekali waktu saya datang ke sumber mata air juga sudah kering. Tinggal lumpur saja yang tersisa. Perih.. perih...,” kata Iswantini di teras rumahnya, Jumat (15/7/2022).
Sumber mata air tersebut ialah Sungai Puring. Letaknya di perbatasan antara Desa Balong dan Desa Jepitu. Iswantini bisa memaklumi air cepat habis. Pasalnya, warga dari dua desa yang membutuhkannya. Belum lagi, pengusaha tangki juga mengambil air dari sungai tersebut.
”Beli juga tidak mudah. Kadang-kadang harus antre sampai satu minggu saking banyaknya yang butuh. Setelah ada sumber air di Pulejajar, kami bisa dapat air sewaktu-waktu dibutuhkan, mereka bisa datang,” kata Iswantini yang juga ikut sebagai petugas dapur umum sewaktu gugur gunung pengangkatan air bersih.
Selain itu, Iswantini menyatakan, air dari goa juga bisa diandalkan jika sambungan pipa dari PDAM setempat macet. Sebab, kemacetan air kadang-kadang bisa berlangsung selama tiga hari. Padahal, air dibutuhkan setiap hari.
”Sambungan pipa memang sudah 80 persen menjangkau warga. Namun, sering macetnya itu. Jadi, adanya (sumber air) Pulejajar memang sangat membantu kami,” kata Iswantini.
Alumnus UPN Veteran Yogyakarta, Andi Setiabudi, merasa bersyukur dengan diteruskannya program kegiatannya semasa masih menjadi pencinta alam. Ekspedisi susur goa tersebut diinisiasi olehnya bersama sejumlah temannya. Sejak awal, kegiatan itu didasari oleh keinginan untuk mencari solusi atas kekeringan yang ada di daerah tersebut. Untuk itu, kegiatan yang dilakukan pasti bermanfaat bagi masyarakat setempat.
”Tujuan kami memang itu. Kegiatan bermanfaat bagi kami yang saat itu sebagai mahasiswa, tetapi juga bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Semua tujuan itu tercapai. Kami bangga dan senang,” kata Andi, yang kala itu menjadi koordinator ekspedisi.
Selanjutnya, Andi mengungkapkan, pihaknya juga tak lepas tangan begitu ekspedisi rampung. Data hasil pemetaan goa yang diperoleh langsung diberikan ke lembaga ASC Yogyakarta. Pihaknya menyadari, posisinya sebagai mahasiswa membuat kegiatannya banyak keterbatasan. Terbukti, pemberian data berujung penelitian lanjutan yang sekarang bisa membawa banyak manfaat bagi masyarakat setempat.
Secara terpisah, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Gunungkidul Purwono mengungkapkan, kekeringan yang terjadi di daerah tersebut disebabkan oleh karakter tanah kapur. Menurut data dari tahun sebelumnya, hanya ada tiga kecamatan yang relatif tidak terdampak kekeringan saat kemarau tiba, yakni Kecamatan Karangmojo, Kecamatan Wonosari, dan Kecamatan Playen.
Sebanyak 15 kecamatan lainnya cukup rentan dengan bencana kekeringan. Tahun lalu, BPBD Gunungkidul melakukan pengiriman, atau droping air bersih, sebanyak 2.215 tangki ke belasan kecamatan tersebut. Yang paling banyak membutuhkan air bersih ialah kecamatan-kecamatan yang berada di zona selatan, seperti Kecamatan Girisubo, Rongkop, Tepus, Tanjungsari, Saptosari, Panggang, dan Purwosari.
”Penanganan kekeringan dilakukan secara keroyokan di sini. Mulai dari pengangkatan air melalui sumur bor, penambahan jaringan pemipaan oleh PDAM, sampai pengiriman tangki air jika memang kondisinya sudah darurat. Kami semua bersinergi untuk mengatasi hal tersebut,” kata Purwono.
Dalam jangka panjang, Purwono menyebutkan, yang bisa dilakukan ialah mengoptimalkan sumber daya air berupa sungai bawah tanah. Pengangkatan air dari sungai tersebut bisa didorong lagi. Sebab, potensi dan debitnya begitu besar. Beberapa sungai bawah tanah yang telah terpetakan antara lain Sungai Bribin, Sungai Baron, Sungai Ngobaran, dan Sungai Seropan.
”Dengan praktik yang ada di Jepitu, ini hal yang sangat positif. Masyarakat mengenali alam dan lingkungan setempat, serta potensi wilayahnya. Ini artinya semua pihak terpanggil untuk bersama-sama keluar dari citra kekeringan di Gunungkidul,” kata Purwono.