Persoalan ekonomi menjadi faktor dominan yang memicu kekerasan dalam rumah tangga di Banda Aceh, Aceh. Sebagian kasus berakhir pada perceraian. Pandemi Covid-19 membuat banyak orang kehilangan pekerjaan.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Persoalan ekonomi menjadi pemicu utama terjadinya kasus kekerasan dalam rumah tangga di Kota Banda Aceh, Aceh. Untuk menekan angka kekerasan dalam rumah tangga, perbaikan ekonomi keluarga mutlak harus dilakukan.
Kepala Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Banda Aceh, Nurmiati, Selasa (9/8/2022), menuturkan, sepanjang 2022 terjadi 28 kasus kekerasan dalam rumah tangga. Kasus penelantaran paling dominan. Penelantaran istri dan anak dilakukan suami sebagai kepala rumah tangga.
”Dari pengaduan yang masuk ke kami pemicu utama karena persoalan ekonomi,” ujar Nurmiati.
Nurmiati mengatakan, pandemi Covid-19 membuat banyak orang kehilangan pekerjaan atau jumlah pendapatan menyusut, sementara kebutuhan hidup tidak berkurang. Nurmiati menuturkan, walaupun puncak pandemi Covid-19 terjadi rentang 2020-2021, dampak baru terjadi sekarang.
”Barangkali sebelumnya keluarga ini mencoba bertahan dalam kondisi yang sulit dan baru meledak sekarang,” kata Nurmiati.
Masa penelantaran terjadi beragam mulai dari 4 bulan hingga 1 tahun. Sebagian kasus berakhir pada perceraian.
Psikolog dari Biro Konsultasi Psikologi di Banda Aceh, Endang Setyaningsih, mengatakan, persoalan ekonomi menjadi faktor utama KDRT. Menurut Endang, ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup keluarga membuat anggota keluarga frustrasi hingga depresi. Kondisi ini dapat memicu salah satu pasangan melakukan kekerasan terhadap anggota keluarga.
Di sisi lain, kuatnya budaya patriarki membuat perempuan sangat bergantung pada suami. Dampaknya perempuan tidak mandiri dan tidak berdaya secara ekonomi sehingga perempuan kerap menjadi korban.
”Kondisi jamak saat ini suami lebih berkuasa, sementara istri harus banyak bersabar,” kata Endang.
Endang mengatakan, perlu ada hubungan yang seimbang antara suami dan istri. Istri harus diberikan hak untuk terlibat dalam pengambilan keputusan keluarga.
Menurut Endang, KDRT juga terjadi karena rasa frustrasi setelah harapan tidak terpenuhi. Rasa frustrasi tersebut berpotensi ditumpahkan dengan melakukan kekerasan terhadap pasangan yang lemah.
Untuk mencegah kekerasan dalam rumah tangga, setiap individu perlu memperkuat nilai-nilai agama sebagai fondasi berkehidupan. Selain itu, komunikasi antar-pasangan dan antar-anggota keluarga harus terbuka agar dapat saling mendukung.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Islam Negeri Ar Raniry Hafas Furqani mengatakan, pandemi Covid-19 membuat ekonomi warga limbung. Akibatnya, ketahanan keluarga berpotensi menjadi rapuh.
Hafas mengatakan, dalam kondisi seperti itu perlu kehadiran pemerintah untuk menopang ekonomi warga akar rumput agar tidak semakin terpuruk. Kehadiran pemerintah dapat melalui program peningkatan ekonomi di sektor riil.
Di sisi lain, Hafas mengatakan, keluarga harus lebih bijak mengatur keuangan dengan menentukan skala prioritas agar sesuai dengan kemampuan keuangan. Lebih baik menurunkan kebutuhan hidup daripada harus memaksa mencari biaya untuk menutup kebutuhan hidup.
”Ada sebagian orang terpaksa meminjam ke rentenir, pinjaman online, berharap dapat menambah keuangan, justru akhirnya menjadi beban,” kata Hafas.
Hafas mengatakan, suami dan istri harus saling terbuka persoalan keuangan dan bersama-sama menentukan skala prioritas kebutuhan keluarga.